Dr. Abdullah Roy, M.AKajian KitabKitab Lum'atul I'tiqad

Kajian Kitab Lum’atul I’tiqad #6

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا. أَمَّا بَعْدُ.

Alhamdulillah, kita memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebanyak-banyak pujian karena Dialah Yang Maha Sempurna, memiliki nama-nama yang Husna yang kita diperintahkan untuk berdoa dengannya. وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا (“Dan bagi Allah nama-nama yang Husna, maka hendaklah kalian berdoa dengannya”). Kita memuji Allah yang memiliki sifat-sifat yang Maha Tinggi, وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَى (“Dan bagi Allah sifat-sifat yang tinggi”), yang tidak ada kekurangan di dalamnya sedikit pun. Kita memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala karena Dialah yang telah memberikan kepada kita nikmat, mencurahkan kepada kita karunia yang tidak terhitung dan tidak terhingga, sebagaimana firman Allah: وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا (“Seandainya kalian menghitung-hitung nikmat yang Allah berikan kepada kalian, niscaya kalian tidak akan bisa menghitungnya”).

Selawat dan salam semoga senantiasa Allah Subhanahu wa Ta’ala curahkan kepada nabi kita Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang telah diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai utusan yang terakhir, dan dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengeluarkan kita semua dari alam yang gelap gulita. Seseorang tidak tahu ke mana harus berarah, kemudian setelah dia mengenal Islam yang dibawa oleh nabi kita Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, akhirnya dia pun mengetahui di mana dia berada dan ke mana dia akan menuju.

Selawat dan salam atas beliau, keluarga beliau yang kita diperintahkan untuk menghormati mereka, dan juga para sahabat رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمْ yang mereka adalah generasi yang terbaik, yang kita diperintahkan untuk mengikuti mereka, berjalan di belakang mereka, sebagaimana dahulu para sahabat رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمْ berjalan di belakang Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّm. Selawat dan salam juga untuk setiap orang yang mengikuti sunah para sahabat رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمْ dengan baik, sebagaimana firman Allah: وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ (“Dan orang-orang yang mengikuti mereka, yaitu para Muhajirin dan Anshar, dengan baik”), dalam masalah akidah, dalam masalah ibadah, di dalam masalah manhaj, termasuk di antaranya adalah di dalam masalah akhlak dan juga muamalah.

Para ikhwah dan juga para akhwat, رَحِمَنِي وَرَحِمَكُمُ اللهُ. Setelah beberapa hari yang lalu kita berhari raya kemudian melalui hari-hari tasyrik dengan zikrullah, sebagaimana yang diucapkan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرِ اللهِ (“Hari-hari tasyrik, yaitu tanggal 11, 12, dan 13, ini adalah hari-hari makan dan minum,” maksudnya adalah tidak boleh di hari-hari tersebut seorang berpuasa, “dan dia adalah hari yang digunakan untuk memperbanyak mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala”) dengan takbir, dengan ibadah-ibadah yang lain, maka insya Allah kita lanjutkan pembahasan kitab لُمْعَةُ الْاِعْتِقَادِ yang ditulis oleh Ibnu Qudamah al-Maqdisi رَحِمَهُ اللهُ.

Setelah beliau menyampaikan kepada kita bagaimana akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah di dalam masalah sifat-sifat Allah dan bagaimana mereka menyikapi ayat-ayat yang mutasyabihat, maka setelahnya beliau ingin menguatkan apa yang sudah beliau sampaikan sebelumnya dengan ucapan para ulama. Jadi, beliau sampaikan dengan ungkapan beliau, dengan bahasa beliau, setelah itu beliau ingin mendatangkan ucapan para ulama yang menunjukkan bahwasanya apa yang beliau sampaikan tidak berbeda dari apa yang sudah diucapkan oleh para ulama sebelumnya. Karena Ibnu Qudamah, beliau termasuk yang mutaakhir, hidup di abad yang ketujuh. Beliau ingin menegaskan di sini bahwasanya ulama-ulama zaman dahulu sama akidah mereka dengan apa yang beliau sampaikan.

Beliau mulai dengan nukilan dari Al-Imam Ahmad. Al-Imam Ahmad bin Muhammad ibn Hanbal, guru dari Al-Imam Al-Bukhari, guru dari Al-Imam Muslim, dan dinisbahkan kepada beliau mazhab Al-Hambali, meninggal pada abad yang ketiga. Beliau datangkan ucapan Al-Imam Ahmad, kemudian setelahnya beliau datangkan ucapan dari Al-Imam Asy-Syafi’i. Al-Imam Asy-Syafi’i رَحِمَهُ اللهُ lebih dulu daripada Al-Imam Ahmad, bahkan beliau adalah guru dari Al-Imam Ahmad. Biasanya para ulama ketika mereka menukil ucapan beberapa ahlul ilmi, itu diurutkan sesuai dengan tahun wafatnya. Yang lebih dulu wafat biasanya didahulukan, apalagi di dunia kampus ketika mereka menulis tesis atau disertasi atau skripsi, di sana ada aturan-aturan yang hendaknya diikuti. Namun dalam hal ini, beliau رَحِمَهُ اللهُ mendahulukan ucapan atau penukilan dari Al-Imam Ahmad bin Hanbal رَحِمَهُ اللهُ. Sebabnya adalah, wallahu a’lam, karena beliau bermazhab Hambali. Ini biasanya ulama yang bermazhab dengan mazhab tertentu, dia dahulukan ucapan imamnya dalam penyebutan, kemudian setelah itu baru menyebutkan ulama-ulama di mazhab yang lain. Ini bukan sesuatu yang tercela, kemudian dikatakan bahwasanya beliau adalah تَعَصُّب (fanatik mazhabi), tidak. Karena fanatik mazhabi, تَعَصُّب yang tercela adalah ketika seseorang mendahulukan pendapat di dalam mazhabnya di atas dalil yang sahih.

Beliau mengatakan رَحِمَهُ اللهُ: قَالَ الْإِمَامُ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَنْبَلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ… (“Berkata Al-Imam Abu Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal radhiyallahu ‘anhu…”) ketika beliau berkomentar terhadap ucapan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا (“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala turun ke langit dunia”). Di sana ada hadis yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan juga Muslim dan juga yang lain, di dalam hadis tersebut Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengabarkan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala turun ke langit dunia. Langit dunia adalah langit yang paling dekat dengan bumi, karena dia ada tujuh lapis, tujuh tingkat. Langit yang paling dekat dengan bumi dinamakan dengan sama’ud dunya, dan ad-dunya artinya dalam bahasa kita adalah yang paling dekat. Allah Subhanahu wa Ta’ala turun ke langit dunia setiap malam pada sepertiga malam yang terakhir.

Ini kabar dari الصَّادِقُ الْمَصْدُوقُ, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, yang jujur di dalam ucapannya, dan Malaikat Jibril ‘alaihissalam yang menyampaikan kepada beliau juga jujur di dalam ucapannya. Sesama manusia saja beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak pernah berbohong, tidak pernah berdusta, dan ini diakui oleh lawan maupun kawan. Lalu bagaimana beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berani berdusta atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala? Beliaulah orang yang paling tahu tentang diri Allah. Beliau kabarkan di sini Allah Subhanahu wa Ta’ala turun ke langit dunia setiap malam pada sepertiga malam yang terakhir.

Atau hadis yang menunjukkan bahwasanya Allah dilihat di hari kiamat, sebagaimana disebutkan di dalam hadis yang sahih: “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan pada malam bulan purnama.” Hari-hari ini sedang malam bulan purnama. Kita pergi dari desa misalnya melihat bulan, di perjalanan kita melihat bulan, sampai kota kita juga melihat bulan. Masing-masing, baik yang di kampung, di jalan, di kota, mereka melihat bulan. Kalian tidak saling berdesak-desakan di dalam melihatnya, semua orang bisa melihat di tempatnya masing-masing. Maka ahlul jannah di dalam surga, dan mereka berada di tingkatan masing-masing, berada di rumahnya masing-masing, mereka melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Siapa yang mengabarkan? Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Dan hadis-hadis yang serupa dengan hadis-hadis tersebut.

Bagaimana komentar beliau, komentar Al-Imam Ahmad? Beliau adalah guru dari Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, At-Tirmidzi, Abu Daud, dan beliau adalah imam di antara imam-imam Ahlus Sunnah yang dahulu pernah mendapatkan ujian dan cobaan yang berat di saat sebuah aliran yang sesat, yaitu الْمُعْتَزِلَة, mereka mempengaruhi penguasa dengan pemikiran-pemikiran mereka dan mengajak penguasa untuk memaksakan pemikiran-pemikiran tersebut kepada masyarakat dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka berjuang, berusaha mempertahankan akidah yang telah diajarkan oleh Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, termasuk di antaranya adalah Al-Imam Ahmad bin Hanbal sampai beliau dicambuk di penjara. Dengan sabarnya beliau رَحِمَهُ اللهُ, meskipun dipaksa, dalam keadaan tidak bergeming, bersabar, sampai akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan pertolongan-Nya. Ada di antara penguasa tersebut, dan itu melalui beberapa periode, beberapa masa penguasa, sampai akhirnya ada di antara penguasa tersebut yang mendapatkan hidayah kepada sunah dan nampaklah kembali sunah di zaman tersebut. Demikianlah akhir dari orang-orang yang menolong agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ (“Kalau kalian menolong Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menolong kalian”). Yang penting seseorang bersabar dalam berpegang teguh dengan agama dan sunah ini. Sebagaimana ucapan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ (“Sesungguhnya Pertolongan Allah itu bersama kesabaran”). Kalau kita bersabar dalam menjalankan agama ini, mungkin di sana ada omongan yang panas, di sana ada perilaku yang tidak mengenakkan, difitnah, tapi Ahlus Sunnah tetap mereka bersabar di atas tauhid, di atas sunah, berdakwah, belajar, maka akhir dari kesabaran tersebut adalah pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Lihat ucapan beliau di dalam masalah nama dan juga sifat Allah. نُؤْمِنُ بِهَا (“Kita beriman dengannya”). Kata beliau, hadis-hadis tersebut dan yang semisalnya, kita beriman dengannya. Iman secara bahasa adalah mengikrarkan, menyetujui, membenarkan, dalam keadaan hati ini tenang di dalam membenarkan, tidak ada paksaan. Maka hadis-hadis tersebut, نُؤْمِنُ بِهَا, kita beriman dengannya. Kita ikrarkan itu adalah kabar yang sahih, berita yang benar dari الصَّادِقُ الْمَصْدُوقُ, tidak ada kesalahan di dalamnya, tidak ada keraguan di dalamnya. Ini ucapan Al-Imam Ahmad.

وَنُصَدِّقُ بِهَا (“Dan kita membenarkannya”). Jangan kita kufuri dan jangan kita dustakan. Jangan mengatakan bahwasanya hadis-hadis ini adalah bohong atau tidak benar. Allah tidak turun, Allah tidak dilihat di hari kiamat, ini adalah hadis yang tidak benar. Ini bukan sikap seorang ahlus sunnah, apalagi seorang ulama di antara ulama-ulama ahlus sunnah.

بِلَا كَيْفٍ وَلَا مَعْنًى (“Tanpa (membagaimanakan) dan tanpa (memaknai secara keliru)”). Kita benarkan, kita imani, tetapi tanpa kaif, tanpa kita membagaimanakan sifat tersebut. Jadi bukan berarti beriman bahwasanya Allah turun, kemudian kita membagaimanakan dan mengatakan bahwasanya turunnya Allah sebagaimana turunnya Fulan, turunnya Allah adalah seperti ini, kemudian dia praktikkan bagaimana dia turun dari mimbar misalnya. Beliau mengatakan بِلَا كَيْفٍ, tanpa kita membagaimanakan. Kita imani bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala turun, Allah dilihat oleh orang-orang yang beriman di dalam surga. Adapun bagaimananya, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberitahukan kepada kita tentang caranya. Tapi ada caranya atau tidak? Ada. Tapi cara tersebut, kaifiahnya, tidak diberitahukan kepada kita. Sebagaimana kita percaya sekarang Allah itu ada, tetapi kita tidak tahu bagaimana zat Allah. Kita yakin bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang mencipta, Dialah yang memberi rezeki, Dialah yang memudahkan urusan kita, tapi bagaimana zat Allah kita tidak tahu. Sehingga di sana ada kaidah: al-qaulu fis shifat kal qauli fidz dzat. Akidah kita, ucapan kita di dalam masalah sifat sama dengan akidah kita dan ucapan kita di dalam masalah zat. Kalau kita meyakini adanya zat yang mencipta dan kita tidak tahu bagaimananya, maka demikianlah kita di dalam masalah sifat. Kita meyakini Allah memiliki sifat, tetapi kita tidak tahu bagaimana sifat Allah tersebut.

Ini ucapan Al-Imam Ahmad bin Hanbal, imam yang sudah diakui oleh para ulama tentang keimamahannya. وَلَا مَعْنًى, dan tanpa memaknai (secara keliru). Maksud ucapan beliau “tanpa memaknai” adalah tanpa mendatangkan di sana makna yang bertentangan dengan yang diinginkan oleh Allah dan juga Rasul-Nya. Makna apa tersebut? Makna yang dibawakan oleh ahlut takwil. Mereka mendatangkan makna yang kalau ditelusuri, itu bukan yang diinginkan oleh Allah dan juga Rasul-Nya, bahkan bertentangan dengan makna yang ada di dalam bahasa Arab. Nah, sudah berkali-kali kita sebutkan contohnya. Kalau berkaitan dengan hadis yang dibawakan di sini, turun ke dunia. Tadi kita sebutkan harus beriman, membenarkan, tanpa menyebutkan kaifiah. Ada yang mengatakan, “Baik, saya mengimani, saya membenarkan bahwasanya Allah turun ke langit dunia, akan tetapi makna dari turun ke dunia adalah يَنْزِلُ الْمَلَائِكَةُ (malaikat-malaikatnya), atau mengatakan bahwasanya yang turun ke dunia adalah يَنْزِلُ أَمْرُهُ (perintahnya).” Dia beriman dengan hadis tersebut, tidak mengkufuri, membenarkan, tidak mendustakan, tetapi dia mendatangkan makna yang baru yang tidak dipahami oleh para sahabat رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمْ. Maka Al-Imam Ahmad di sini mengingatkan bahwasanya kita sebagai ahlus sunnah bukan demikian sikapnya. Kita imani, kita benarkan, dan kita maknai sebagaimana Allah dan Rasul-Nya menginginkan. Kembali kepada bahasa Arab, apa yang dimaksud dengan turun? Apa yang dimaksud dengan istiwa? Apa yang dimaksud dengan yad? Kembali ke sana. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwasanya Allah menurunkan Al-Qur’an ini dengan bahasa Arab yang jelas, بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ. Jadi kalau ingin mengetahui maknanya dengan baik, kembali kepada bahasa Arab. Kalau ingin mengetahui maknanya dengan baik, pahami dalil-dalil tersebut dengan pemahaman yang dimiliki oleh para sahabat رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمْ. وَلَا مَعْنًى, maksudnya adalah tanpa mentakwil dengan takwil-takwil yang tidak sahih.

Bukanlah makna وَلَا مَعْنًى di sini “tidak ada makna”. Jangan diartikan tidak mengetahui maknanya kecuali Allah. Bukan. Sudah berlalu pada kesempatan yang lalu perbedaan antara akidah ahlus sunnah dengan akidah Al-Mufawwidhah. Al-Mufawwidhah mereka meyakini bahwasanya kita tidak tahu maknanya, yang tahu maknanya hanyalah Allah. Kalau ditanya, “Apa istiwa?” “Saya tidak tahu, yang tahu hanya Allah.” “Apa makna nuzul (turun)?” “Saya tidak tahu, yang tahu hanya Allah.” Itu mazhabnya Al-Mufawwidhah dan itu bukan mazhab akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sekali lagi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang mereka serahkan kepada Allah hanyalah kaifiahnya. Caranya. Adapun maknanya, maka mereka mengetahui makna istiwa, nuzul, al-yadayn, al-qadam, al-ashabi’. Dari mana mereka tahu? Kembali kepada bahasa Arab. Jadi tidak mungkin Al-Imam Ahmad bin Hanbal beliau memiliki akidah Al-Mufawwidhah. Sudah dikenal bahwasanya beliau adalah bermanhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah di dalam seluruh perkara, termasuk di antaranya adalah di dalam masalah sifat-sifat Allah.

وَلَا نَرُدُّ شَيْئًا مِنْهَا (“Dan tidak boleh kita menolak sesuatu pun darinya”). Darinya kembali kepada dalil-dalil tentang sifat. Mengimani seluruh dalil-dalil, tapi ada satu dalil tentang masalah misalnya Allah memiliki dua tangan, dia tolak. Adapun nuzul, istiwa, dan lain-lain, dia terima. وَلَا نَرُدُّ شَيْئًا مِنْهَا, satu pun dari dalil-dalil tersebut tidak boleh kita menolaknya, harus dalam keadaan menerima apa yang datang dari Allah dan juga Rasul-Nya. وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ (“Tidak pantas bagi seorang yang mengaku dia beriman, baik laki-laki maupun wanita, apabila Allah sudah menentukan sebuah perkara kemudian dia memiliki pilihan yang lain”). Allah sudah pilihkan, Allah sudah tentukan, Allah sudah kabarkan, kemudian dia mencari pilihan yang lain. وَلَا نَرُدُّ شَيْئًا مِنْهَا. Jangan seperti ahlul kalam atau ahlul filsafat yang mereka menolak dalil dengan sebab bertentangan dengan akal lemah yang mereka miliki. Atau seperti sebagian orang yang memilih-milah, kalau hadisnya adalah hadis yang mutawatir diterima, kalau hadisnya adalah hadis yang Ahad yang bukan mutawatir maka ditolak. Terkadang sebuah hadis yang jelas-jelas sahih di dalam Bukhari atau bahkan di dalam Bukhari dan juga Muslim, mereka tolak gara-gara bertentangan dengan akal mereka. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ (“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan juga Rasul-Nya”). Di antara maknanya adalah mendahulukan akal di atas dalil.

Sudah berlalu bahasanya ahlul bid’ah secara umum, mereka berkeyakinan terlebih dahulu baru mencari dalil. Dari mana keyakinannya? Kadang dari perasaan, mimpi, dari akal. Kelihatannya cocok, kelihatannya bagus, diyakini, baru setelah itu kalau ada dalil yang kira-kira bisa diambil, nah ini dijadikan dalil bahwasanya keyakinan yang dia miliki adalah benar. Adapun Ahlus Sunnah, maka mereka melihat kepada Al-Qur’an dan hadis, dikumpulkan, baru setelah itu disimpulkan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala demikian dan demikian.

Kemudian beliau mengatakan: وَنَعْلَمُ أَنَّ مَا جَاءَ بِهِ الرَّسُولُ حَقٌّ (“Dan kita meyakini, berakidah, bahwasanya apa yang dibawa oleh Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah benar”). Kalau memang itu berasal dari beliau, hadisnya adalah sahih atau hasan, baik yang ada dalam Shahih Bukhari, Muslim, ataupun kitab-kitab hadis yang lain. Kalau itu adalah sahih, baik mutawatir maupun ahad, maka itu adalah benar adanya. وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ (“Tidaklah beliau berbicara dari hawa nafsunya. Tidaklah apa yang disampaikan oleh beliau kecuali wahyu yang diwahyukan kepada beliau”). Itu adalah wahyu Allah yang mewahyukan kepada Nabi kita Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tentang sifat-sifat-Nya. Jangan sampai kita menolaknya.

وَلَا نَرُدُّ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (“Dan kita tidak menolak atas Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ“). Karena kita mengaku sebagai umat beliau dan yakin bahwasanya beliau adalah seorang Rasul yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbagai perkara. Kalau memang kita yakin beliau adalah Rasulullah, utusan Allah, maka apa yang beliau kabarkan berupa sifat-sifat Allah harus kita benarkan, jangan kita tolak. Seandainya beliau di depan kita kemudian mengatakan, “Ya Fulan, Allah Subhanahu wa Ta’ala turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang terakhir setiap malam,” apakah berani seseorang mengatakan, “Enggak ya Rasulullah, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak turun ke langit dunia, tapi turunnya di sini adalah maksudnya adalah turunnya malaikat atau turunnya perintah”? Tidak ada di antara kita yang berani membantah ucapan yang telah diucapkan oleh Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

وَلَا نَصِفُ اللَّهَ بِأَكْثَرَ مِمَّا وَصَفَ بِهِ نَفْسَهُ (“Dan jangan sampai kita mensifati Allah lebih dari apa yang Allah sifatkan untuk diri-Nya”). Ini masih ucapan Al-Imam Ahmad. Beriman dengan apa yang ada di dalam Al-Qur’an, dengan apa yang ada dalam hadis, tapi jangan sampai berlebihan. Meyakini bahwasanya Allah misalnya, Dialah yang memiliki wajah, وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ, dan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah yang memiliki ashabi’ (jari-jari), sebagaimana sabda Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ قُلُوبَ بَنِي آدَمَ بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَٰنِ. Dan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah yang memiliki qadam, sebagaimana disebutkan di dalam hadis bahwasanya Jahanam senantiasa mengatakan هَلْ مِنْ مَزِيدٍ sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala meletakkan telapak kaki-Nya. Kita beriman sebagaimana yang datang di dalam dalil-dalil tersebut. Jangan kemudian mengambil kesimpulan sendiri, “Berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki ini, berarti Allah memiliki ini, Allah memiliki ini.” Tidak boleh kita mensifati Allah lebih dari apa yang ada di dalam Al-Qur’an dan juga hadis. Perkara nama dan juga sifat Allah ini adalah tauqifiyyah, kita terima jadi. Apa yang ditunjukkan oleh dalil, maka itulah yang kita imani. Yang tidak ditunjukkan oleh dalil, maka jangan kita mengambil kesimpulan sendiri.

بِلَا حَدٍّ وَلَا غَايَةٍ (“Tanpa pembatasan, tanpa ujung”). Jangan sampai kita membatas-batasi tanpa adanya dalil. وَلَا غَايَةٍ demikian pula, tanpa ada di sana ujungnya, yaitu membatasi nama dan juga sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maksud beliau رَحِمَهُ اللهُ di sini adalah jangan sampai kita meng-kaifiah-kan, menentukan kaifiah, cara dari sifat-sifat Allah tersebut dengan mengatakan, “Demikian batasannya, caranya adalah seperti ini, bentuknya adalah seperti ini.” Ini namanya menentukan haddun dan juga ghayah.

Kemudian beliau رَحِمَهُ اللهُ mendatangkan dalilnya: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ. Dalilnya adalah firman Allah di dalam Surah Asy-Syura, “Tidak ada yang serupa dengan Allah sedikit pun.” Ini yang mengabarkan Allah. Tidak ada yang serupa sedikit pun dengan Allah di dalam zat-Nya, di dalam sifat-Nya, di dalam nama-nama-Nya. Dari ayat ini, makanya kita ingkari tadi orang yang membagaimanakan sifat Allah, menyamakan Allah dengan makhluk. Karena di sini Allah mengatakan لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ, tidak ada sedikit pun yang serupa dengan Allah, termasuk di antaranya adalah dalam sifat-Nya: wajah-Nya, jari-jari-Nya, tangan-Nya, turun-Nya Allah, istiwa-Nya Allah, tidak ada yang serupa dengan Allah. Tapi Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki itu semuanya. وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ, dan Dialah Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Melihatnya Allah tidak sama dengan melihatnya makhluk. Mendengarnya Allah tidak sama dengan mendengarnya makhluk.

Ayat ini adalah ayat yang merupakan sandaran Ahlus Sunnah di dalam berakidah di dalam masalah nama dan juga sifat Allah. Ayat yang pendek, akan tetapi dari situlah Ahlus Sunnah berpijak di dalam masalah nama dan juga sifat Allah. Kalau kita bisa memahami ayat ini dengan baik, maka kita dengan mudah memahami akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah di dalam masalah sifat. Sebagian orang mungkin membayangkan belajar nama dan juga sifat Allah ini berat. Tidak. Kenapa dia merasa berat? Karena sudah mungkin mendengar dari ahlul kalam, ahlul filsafat, yang mereka memberat-beratkan diri mereka sendiri dengan kaidah-kaidah kalamiahnya atau kaidah-kaidah filsafatnya. Menakut-nakuti, “Kalau kita semakin belajar agama maka kita akan semakin bingung, belajar agama lebih dalam maka kita akan gila.” Itu karena melihat cara yang dilakukan oleh orang-orang yang mereka bukan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, alhamdulillah, ketika seseorang kembali kepada dalil, maka dia akan mendapatkan di depannya jalan yang terang benderang, sesuatu yang jelas, tidak ada kesulitan di dalamnya. Orang awam sekalipun mereka bisa memahami nama dan juga sifat Allah.

Kenapa di sini disebutkan pendengaran dan juga penglihatan? Karena rata-rata makhluk (hewan, manusia, jin), mereka memiliki sifat ini, dengan mata yang berbeda-beda bentuknya, dengan telinga yang berbeda-beda bentuknya, kemampuannya. Tapi rata-rata mereka memiliki dua sifat ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah السَّمِيعُ الْبَصِيرُ. Didahului dengan firman-Nya لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ. Jadi, Dia Maha Mendengar dan kita mendengar, pendengaran Allah tidak sama dengan pendengaran yang kita miliki. Dialah Yang Maha Melihat dan kita juga melihat, dan penglihatan Allah tidak sama dengan penglihatan yang kita miliki. Penglihatan dan pendengaran Allah adalah Maha Sempurna, tidak ada kekurangan sedikit pun, berbeda dengan pendengaran dan penglihatan yang dimiliki oleh manusia.

Sebenarnya di sini saja kaidahnya. Zaman dahulu para sahabat رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمْ ketika mereka membaca Al-Qur’an dari awal sampai akhir dan di situ mereka bertemu dengan ayat-ayat tentang sifat, mereka mendengar langsung dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ hadis-hadis yang berkaitan dengan sifat, tidak isykal bagi mereka, tidak masalah bagi mereka. Mereka dengar, mereka imani, mereka yakini. Kenapa demikian? Karena mereka sudah terpatri di dalam diri mereka kaidah ini: Allah tidak ada yang serupa dengan-Nya sedikit pun. Sehingga meskipun dikabarkan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dengan berbagai hadis yang berkaitan dengan sifat, tidak ada di antara mereka yang bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana Allah beristiwa?”, “Ya Rasulullah, bagaimana Allah turun?”, “Bagaimana tangan Allah?”, “Bagaimana jari Allah?”. Tidak ada di antara mereka yang bertanya kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu karena mereka tahu kaidahnya: tangan Allah tidak sama dengan tangan makhluk, tapi sesuai dengan keagungan-Nya.

وَنَقُولُ كَمَا قَالَ وَنَصِفُهُ بِمَا وَصَفَ بِهِ نَفْسَهُ (“Dan kita mengucapkan sebagaimana yang Dia ucapkan dan kita mensifati-Nya sebagaimana Dia mensifati diri-Nya”). Kita ucapkan sebagaimana yang diucapkan oleh Rasulullah. Jangan merubah-rubah lafaz. Beliau mengatakan يَنْزِلُ رَبُّنَا, yang turun adalah Rabb kita, diganti dengan يَنْزِلُ الْمَلَائِكَةُ, enggak boleh yang seperti itu. Atau diganti يَنْزِلُ أَمْرُهُ, yang turun adalah urusan Allah, bukan Allah. نَقُولُ كَمَا قَالَ. Kita berucap sebagaimana diucapkan oleh Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

وَلَا نَتَعَدَّىٰ ذَلِكَ (“Dan kita tidak boleh melebihi batas”). Jangan sampai kita mendatangkan makna-makna yang baru. وَلَا يَبْلُغُهُ وَصْفُ الْوَاصِفِينَ (“Dan tidak akan sampai pensifatan orang yang mensifati”). Bagaimanapun seseorang berusaha untuk mensifati Allah Subhanahu wa Ta’ala, memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia tidak akan mungkin bisa mencapai kesempurnaan di dalam memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah Yang Maha Sempurna dan sifat-sifat Allah tidak hanya yang ada di dalam Al-Qur’an dan juga sunah, di sana ada sifat-sifat Allah yang Allah simpan di dalam ilmu gaib, dan itu adalah merupakan kesempurnaan Allah. Sampai Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengatakan dalam sebuah hadis: لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ (“Aku tidak mungkin bisa menyempurnakan, meliputi, pujian untuk diri-Mu”). Beliau merasa bahwasanya bagaimanapun beliau mengatakan, “Ya Rahman, ya Rahim, ya Malik, ya Quddus,” Allah Subhanahu wa Ta’ala jauh lebih sempurna dari apa yang diucapkan oleh seseorang. Beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengatakan: أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ (“Engkau ya Allah, sebagaimana Engkau memuji diri-Mu sendiri”).

نُؤْمِنُ بِالْقُرْآنِ كُلِّهِ، مُحْكَمِهِ وَمُتَشَابِهِهِ (“Kita beriman dengan Al-Qur’an seluruhnya, yang muhkam maupun yang mutasyabih”). Kita beriman dengan Al-Qur’an semuanya, dari awal Al-Fatihah sampai ujung dari Surah An-Nas. Kita Ahlus Sunnah beriman dengan seluruh apa yang ada di dalam Al-Qur’an, yang muhkam (yang jelas maknanya) maupun yang samar maknanya. Sudah berlalu pada kesempatan yang sebelumnya makna dari ayat yang muhkam dan ayat yang mutasyabihat. Kita beriman dengan semuanya, yakin bahwasanya apa yang ada di dalam ayat yang samar maknanya tidak mungkin bertentangan dengan ayat yang jelas maknanya karena semuanya berasal dari Allah. أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا (“Apakah mereka tidak mentadaburi Al-Qur’an? Seandainya itu berasal dari selain Allah, niscaya mereka akan mendapatkan pertentangan yang banyak di dalam Al-Qur’an”).

Kita beriman dengan ayat yang muhkamat maupun ayat-ayat yang mutasyabihat. Semuanya berasal dari Allah. Sebagaimana firman Allah ketika menyebutkan sifat orang-orang yang dalam ilmunya: “كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا” (“Masing-masing adalah berasal dari Rabb kami”). Jangan seperti ahlul bid’ah, hanya beriman pada ayat-ayat yang muhkamat, adapun ayat-ayat yang mutasyabihat, maka mereka takwil, yang mereka jadikan di sana fitnah, kesempatan bagi mereka untuk mengotak-atik maknanya. Ini adalah sikap bukan sikap orang yang kuat ilmunya, ini adalah sikap sebagaimana yang disebutkan oleh Allah فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ (“Ini adalah sikap orang yang di dalam hatinya ada penyakit”).

Bukan hanya di dalam Al-Qur’an dan juga hadis, ahlul bid’ah juga melakukan ini di dalam ucapan-ucapan para ulama ahlus sunnah. Mereka cari ucapan-ucapan mereka yang mutasyabihat, kalau ketemu mereka kumpulkan, kemudian mereka gandeng-gandengkan. Seandainya kita katakan bahwasanya Ibnu Taimiyah mengatakan di dalam buku yang lain atau di dalam perkataan beliau demikian dan demikian, kemudian kita katakan seandainya ini adalah benar dari beliau, maka kita diajarkan bukan taklid kepada seorang alim, tapi kita diajarkan untuk mengikuti dalil. Ya, seorang alim mungkin dia salah, mungkin dia benar. Kalau dia benar, kita ambil ucapannya, kalau dia salah, maka tidak boleh kita ikuti ucapan beliau.

وَلَا نُزِيلُ عَنْهُ صِفَةً مِنْ صِفَاتِهِ لِشَنَاعَةِ شَانِعٍ (“Dan tidak boleh kita menghilangkan dari Allah sebuah sifat di antara sifat-sifat-Nya hanya karena ucapan seseorang yang menjelek-jelekkan”). “Kalau kamu demikian berarti kamu telah menyerupakan Allah dengan makhluk.” Kemudian setelah itu seorang, “Oh, berarti Allah tidak memiliki sifat ini,” kemudian dia mencabut kembali keyakinannya. Ini semua adalah kalau seseorang tidak memiliki ilmu yang dalam di dalam masalah nama dan juga sifat Allah, sehingga mudah sekali dia tergelincir, menarik kembali ucapannya.

وَلَا نَتَجَاوَزُ الْقُرْآنَ وَالْحَدِيثَ (“Dan kita tidak melebihi batas dari apa yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan hadis”). Diulang kembali oleh beliau, dan demikian para ulama, tidak bosan mereka untuk mengulang menjelaskan karena mungkin saja di awal belum paham.

وَنَعْلَمُ كَيْفَ ذَلِكَ إِلَّا بِتَصْدِيقِ الرَّسُولِ… وَتَثْبِيتِ الْقُرْآنِ (“Dan kita tidak mengetahui bagaimananya… kecuali dengan cara kita membenarkan Rasulullah saja”). Benar apa yang beliau sampaikan, benar apa yang beliau ucapkan, itu saja. Bagaimananya kita tidak tahu. Dan juga penetapan Al-Qur’an. Apa yang sudah ditetapkan oleh Al-Qur’an kita tetapkan, apa yang telah digabarkan oleh Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ maka kita benarkan. Ini ucapan dari Al-Imam Ahmad bin Hanbal رَحِمَهُ اللهُ.

Kita lihat ucapan Al-Imam Asy-Syafi’i, dan dengannya kita menutup kajian kali ini. قَالَ الْإِمَامُ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ إِدْرِيسَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ… (“Berkata Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Idris Asy-Syafi’i semoga Allah merahmati beliau”). Beliau adalah guru dari Al-Imam Ahmad, murid dari Al-Imam Malik. Kita lihat bagaimana beliau beriman di dalam masalah nama dan juga sifat Allah. Apakah sama dengan yang disampaikan oleh Al-Imam Ahmad, akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, atau akidah beliau adalah akidah Asy’ariyah atau Maturidiyah atau Mu’tazilah atau Jahmiyah? Semua mengenal tentang keimaman beliau رَحِمَهُ اللهُ.

آمَنْتُ بِاللَّهِ وَبِمَا جَاءَ عَنِ اللَّهِ عَلَى مُرَادِ اللَّهِ (“Aku beriman kepada Allah dan beriman dengan yang berasal dari Allah, yaitu apa? Al-Qur’an, …sesuai dengan kehendak Allah”). Allah menurunkan Al-Qur’an dengan bahasa Arab. Ketika Allah mengatakan الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ, ya kita maknai istiwa Allah dengan bahasa Arab. Apa yang dimaksud dengan tangan? Kembali kita di dalam memaknai Al-Qur’an kembali kepada bahasa Arab.

وَآمَنْتُ بِرَسُولِ اللَّهِ وَبِمَا جَاءَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ عَلَى مُرَادِ رَسُولِ اللَّهِ (“Dan aku beriman dengan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan dengan apa yang berasal dari Rasulullah, yaitu apa? Hadis-hadis Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ…, sesuai dengan maksud dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ“).

Ini menunjukkan bahwasanya Al-Imam Asy-Syafi’i sama dengan Al-Imam Ahmad bin Hanbal رَحِمَهُ اللهُ di dalam masalah nama dan juga sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikianlah semua a’immah (imam-imam) Ahlus Sunnah, mereka memiliki akidah yang sama. Telah berlalu juga ucapan Al-Imam Malik. Jadi tidak ada istilah, “Kami di dalam masalah sifat Allah mengikuti Asy’ariyah, tapi dalam masalah fikih kami mengikuti Imam Syafi’i, di dalam masalah suluk kami mengikuti sufi.” Ucapan seperti ini, kalau ditelusuri lebih dalam, maka di dalamnya ada طَعْن (perendahan, penghinaan) kepada imam tersebut. Ketika dia mengatakan, “Dalam masalah fikih kami mengikuti Imam Syafi’i, tapi dalam masalah akidah kami Asy’ari, dalam masalah tazkiyatun nufus kami mengikuti sufi,” apa yang dipahami oleh orang? Dipahami dari ucapan ini bahwasanya Imam Syafi’i di dalam masalah akidah menyimpang sehingga tidak diambil akidahnya. Maunya mengagungkan Imam Syafi’i, tapi justru malah terbalik. Adapun kita, kita yakini bahwa Imam Syafi’i adalah imam di antara imam-imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, contoh di dalam masalah keilmuan fikih, di dalam masalah akidah, di dalam masalah tazkiyatun nufus.


Tanya Jawab

Pertanyaan: Ana diajak saudara rihlah ke Puncak naik bus, tidak biasanya karena kami biasa naik kendaraan sendiri. Ana agak takut naik bis karena banyak kejadian yang tidak diinginkan, padahal hati meyakini semua takdir Allah. Apakah perasaan takut Ana tersebut salah?

Jawaban: Perasaan seperti itu adalah suatu yang lumrah terjadi pada diri seseorang. Seorang muslim yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meyakini bahwasanya segala sesuatu telah ditakdirkan dan tidak ada yang selamanya di dunia ini. Bagaimanapun seorang berusaha untuk lari dari kematian, yang namanya kematian pasti akan mendatanginya. أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ. قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيكُمْ. Yang penting seseorang berusaha mengambil sebab keselamatan. Dia memakai sabuk pengaman, memeriksa dahulu kendaraan yang akan dia tumpangi, mencari jalan yang kira-kira aman, berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan dia mencari sebab-sebab keselamatan. Setelah itu, dia bertawakal kepada Allah, menyerahkan semuanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun kemudian menjadi waswas, kemudian sangat takut sekali, sehingga dia tidak mau beraktivitas, akhirnya dia mengurung diri di dalam kamarnya, ini tidak menyelesaikan masalah.


Pertanyaan: Bagaimana cara menghilangkan penyakit hati seperti riya, hasad, dan lain-lain? Apa ada doa khususnya?

Jawaban: Pertama, hendaklah kita sadari bahwa penyakit-penyakit tersebut adalah penyakit yang sangat berbahaya. Bagaimana caranya? Membiasakan diri untuk menyembunyikan amalan. Riya melakukan amalan supaya dipuji oleh manusia. Untuk menutup itu semuanya, maka caranya adalah bagaimana supaya amalan kita tidak didengar, tidak dilihat oleh manusia, siapa pun dia. Dahulu para Salaf, mereka berusaha untuk menyembunyikan amalan mereka sebagaimana salah seorang di antara kita menyembunyikan dosa-dosanya. Ini tentunya perlu pembiasaan. Adapun doanya, maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengajarkan sebuah doa: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ (“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan diri-Mu sedangkan saya tahu, dan aku memohon ampun kepada-Mu di dalam sesuatu yang tidak aku tahu”). Karena Syirik kecil atau riya, kadang orang menyadari, kadang orang tidak sadar. Sebagaimana ucapan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, bahwasanya الشِّرْكُ فِيكُمْ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ (“Syirik yang ada di dalam diri kalian itu lebih samar daripada (jalannya) seekor semut”).


Pertanyaan: Suatu perkara yang tidak ditetapkan oleh Allah dan juga Rasul-Nya, kita tidak boleh mengingkarinya atau tidak setuju. Apakah ini juga berlaku untuk perkara dalam kehidupan kita sehari-hari?

Jawaban: Kalau itu sudah ditetapkan aturannya di dalam Al-Qur’an dan juga sunah berkaitan dengan syariat, suatu kewajiban, suatu yang disunahkan, maka tentunya kita sebagai seorang muslim tidak boleh mengingkari, mencari petunjuk yang lain. Tapi kalau dalam masalah dunia yang kita diberikan keluasan di dalamnya, yang asalnya adalah sesuatu yang diperbolehkan seperti makanan, minuman, maka tentunya kita juga menganggap di dalamnya ada keluasan. Seperti misalnya keahlian di dalam masalah pertanian, tidak ada di sana nas bagaimana cara menanam padi. Asalnya di dalam perkara-perkara tersebut adalah sesuatu yang mubah. Sebagaimana ucapan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمُورِ دُنْيَاكُمْ (“Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian”).


Itulah yang bisa kita sampaikan. بَارَكَ اللهُ فِيكُمْ.

صَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ.

وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.

Related Articles

Back to top button