Dr. Abdullah Roy, M.AKajian KitabKitab Lum'atul I'tiqad

Kajian Kitab Lum’atul I’tiqad #2

Kajian Kitab Lum’atul I’tiqad #2

Puji bagi Allah diambil dari sunah beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Selawat dan salam semoga senantiasa Allah Subhanahu wa Ta’ala limpahkan kepada beliau, keluarga beliau, para sahabat beliau, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai akhir zaman. Para ikhwah dan juga para akhwat, رَحِمَنِي وَرَحِمَكُمُ اللهُ. Ini adalah pertemuan yang kedua membahas kitab لُمْعَةُ الْاِعْتِقَادِ الْهَادِي إِلَى سَبِيلِ الرَّشَادِ yang ditulis oleh Ibnu Qudamah al-Maqdisi رَحِمَهُ اللهُ. Setelah pada pertemuan yang pertama kita mengenal siapa beliau dan kedudukan beliau di dalam ilmu dan di antara para ulama, kemudian juga mengenal secara global apa isi dari kitab yang akan kita pelajari, maka إِنْ شَاءَ اللهُ pada pertemuan yang kedua ini kita akan masuk pada matan kitabnya sesuai dengan yang dimudahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Harapannya tentunya kita bisa memahami apa yang disampaikan oleh beliau رَحِمَهُ اللهُ dari setiap kata, dan إِنْ شَاءَ اللهُ مَنْهَج yang kita gunakan dalam menjelaskan kitab ini adalah penjelasan yang tidak terlalu panjang lebar dan target kita adalah masing-masing dari kita memahami secara global apa yang diinginkan oleh penulis. بَارَكَ اللهُ فِيكُمْ.

Beliau mengatakan رَحِمَهُ اللهُ: بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. Memulai kitabnya dengan basmalah, dan yang demikian adalah mengikuti apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala lakukan di dalam Al-Qur’an, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memulai Al-Qur’an dengan بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. Demikian pula mengikuti apa yang dilakukan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, karena beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ketika menulis atau mengirim surat kepada para raja yang ada di zaman beliau, yang isinya adalah ajakan untuk masuk ke dalam agama Islam, beliau juga memulai surat tersebut dengan بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ.

Para ulama, kita tahu bahwasanya mereka adalah orang-orang yang sangat mengikuti Al-Qur’an dan hadis. Kalau memang bisa melakukan sesuatu berdasarkan dalil, maka mereka melakukannya, bahkan dalam menulis kitab. Dalam menulis kitab, mereka melihat Al-Qur’an dan juga hadis. Ternyata mereka menemukan bahwasanya Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, yang dikatakan oleh Aisyah رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهَا, كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ (akhlak Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah Al-Qur’an) karena beliau sangat mengikuti Al-Qur’an, ternyata ketika menulis, maksudnya adalah memerintahkan orang lain untuk menulis surat kepada para raja, ternyata beliau memerintahkan untuk memulai surat tersebut dengan بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. Kalau memang ada dalilnya, maka para ulama, yang mereka tentunya adalah teladan kita dalam mengikuti sunah, mereka berusaha untuk mengikutinya. Sebagian salaf mengatakan, “Kalau kita bisa menggaruk kepala kita dengan sunah,” maksudnya adalah dengan dalil, kalau memang di sana ada dalilnya, maka kita menggaruk dengan sunah. Kalau memang ada, seandainya di sana ditemukan hadis menggaruk dengan jari, misalnya jari telunjuk atau dengan tiga jari misalnya, atau dengan dua kali tiga kali, kalau memang di sana ada hadis yang menunjukkan tentang disyariatkannya, maka seorang melakukannya dengan sunah. Ini prinsip yang dipegang oleh para salaf, mereka sangat berusaha untuk mengikuti Al-Qur’an dan sunah, termasuk di antaranya adalah dalam menulis kitab, memulai dengan basmalah. Sekadar seseorang mengikuti Al-Qur’an dan hadis, meskipun dia tidak mengetahui mungkin hikmah di balik itu, itu sudah mendapatkan pahala.

Para ulama menjelaskan, di antara hikmah memulai dengan بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ketika menulis kitab, yang pertama adalah meminta pertolongan kepada Allah. Karena ‘ba’ di dalam بِسْمِ اللهِ dinamakan dengan بَاءُ الْاِسْتِعَانَةِ, yang artinya adalah ‘ba’ yang fungsinya, maknanya, untuk meminta pertolongan. Sehingga ketika seseorang mengatakan بِسْمِ اللهِ, meskipun dia tidak mengatakan “saya memohon pertolongan”, tapi ketika menggunakan ‘ba’, mengatakan بِسْمِ اللهِ, itu sudah maknanya dia meminta pertolongan kepada Allah عَزَّ وَجَلَّ. Seseorang dalam menulis kitab dan dalam seluruh perkara, baik urusan agama maupun urusan dunia, kalau tidak ditolong oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia tidak mungkin melakukan perkara tersebut. Tidak mungkin dia bisa menulis meskipun satu huruf atau setengah huruf, kecuali apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan, memberikan قُدْرَة, memberikan kesempatan. Apalagi yang namanya kitab akan dibaca oleh orang banyak, maka dia perlu menyusun kitab yang bisa dipahami oleh orang lain dan dia sangat membutuhkan bagaimana manusia digerakkan hatinya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk membaca dan tertarik dengan kitab tersebut. Itu semua tidak mungkin kecuali apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan, bagaimana supaya manusia memahami apa kata-kata yang dipakai, mana yang didahulukan, mana yang diakhirkan, pembahasan apa saja yang dibawakan dalam kitab tersebut. Kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan تَوْفِيق, memberikan kemudahan, sulit bagi seseorang untuk bisa menulis kitab. Kita butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memerlukan Allah عَزَّ وَجَلَّ dalam setiap yang kita lakukan, termasuk di antaranya adalah dalam menulis kitab. Sehingga seorang yang memulai menulis kitab dengan بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ, semoga dia ditolong oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam menulis kitab tersebut, istikamah, dijadikan kitabnya mudah dipahami oleh orang, dijadikan kitabnya menarik bagi manusia untuk mempelajarinya. Ini faedah yang pertama.

Kemudian yang kedua adalah mencari keberkahan. Mencari keberkahan dengan memulai kitabnya dengan menyebut nama Allah, karena nama Allah berbarokah, sebagaimana firman Allah عَزَّ وَجَلَّ: تَبَارَكَ اسْمُ رَبِّكَ (“Maha Suci nama Rabb-mu”). Maka diharapkan orang yang memulai menulis kitab dengan menyebut seluruh nama Allah, بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ, maka kitab yang dia tulis menjadi kitab yang penuh dengan kebaikan, penuh dengan keberkahan, manfaat, dan juga faedahnya dirasakan oleh manusia. Banyak orang yang mendapatkan hidayah, mengenal akidah yang sahihah berdasarkan atau karena sebab kitab ini. Ini tentunya yang diinginkan oleh setiap orang yang menulis dan dia menulisnya ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, bagaimana dia menulis dan tulisannya terus dibaca oleh manusia. Kapan beliau meninggal dunia? Sudah semenjak 800 tahun yang lalu, dan mungkin banyak kitab-kitab di zaman tersebut ditulis juga oleh orang lain, tapi sekarang kita sudah tidak mengenal lagi kitab-kitab tersebut. Mungkin dia menghilang sebagaimana penulisnya telah meninggal dunia. Tapi ada sebagian kitab, penulisnya telah meninggal dunia, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kitab tersebut sangat berbarokah, terus dipelajari oleh manusia dan terus manusia mengambil faedah dan manfaat dari kitab tersebut. Padahal kalau dihitung, dia hanya beberapa halaman saja. Di sana ada kitab-kitab yang panjang berjilid-jilid, tapi tidak seperti kitab yang kita pelajari. Kita dapatkan kitab ini adalah kitab yang bermanfaat, berbarokah, banyak orang yang mendapatkan hidayah dengan sebab kitab ini. Tentunya ini adalah فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ, ini adalah karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada siapa yang dikehendaki.

Kemudian setelah beliau memulai kitabnya dengan بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ, maka beliau mengatakan: الْحَمْدُ لِلّٰهِ الْمَحْمُودِ بِكُلِّ لِسَانٍ، فِي كُلِّ زَمَانٍ (“Segala puji bagi Allah yang dipuji dengan setiap lisan, di setiap zaman”). Memulai kitabnya dengan hamdalah setelah basmalah, memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini juga mengikuti apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala lakukan di dalam Al-Qur’an, karena ayat yang kedua setelah بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ adalah الْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. Segala puji bagi Allah, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala dipuji di antaranya adalah karena Dia memiliki nama-nama yang Maha Sempurna, nama-nama yang paling baik, dan memiliki sifat-sifat yang Maha Tinggi. Ketika seseorang mengatakan الْحَمْدُ لِلّٰهِ, segala puji bagi Allah, di antara makna yang terkandung di dalam ucapan ini, ketika dia mengatakan الْحَمْدُ لِلّٰهِ, berarti dia telah memuji Allah dengan seluruh nama-nama yang paling baik yang Allah miliki dan sifat-sifat yang Maha Tinggi yang Allah Subhanahu wa Ta’ala miliki.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki seluruh sifat kesempurnaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan kepada kita sebagian dari nama-nama-Nya dan juga sifat-sifat-Nya, dan ada di antara sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tidak Allah Subhanahu wa Ta’ala beritahukan kepada kita. Tapi ketika seseorang mengatakan الْحَمْدُ لِلّٰهِ, segala puji hanyalah untuk Allah, kenapa kita memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala? Karena Dialah yang memiliki seluruh sifat-sifat kesempurnaan. Sifat yang dimiliki oleh Allah adalah sifat yang sempurna dan mencapai puncak kesempurnaan. Ini yang terkandung di dalam ucapan الْحَمْدُ لِلّٰهِ. Sehingga ketika seseorang berzikir setelah salat misalnya, الْحَمْدُ لِلّٰهِ, الْحَمْدُ لِلّٰهِ, الْحَمْدُ لِلّٰهِ, apa maknanya? Kita sedang beriman, meyakini bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki seluruh sifat kesempurnaan. Allah memiliki sifat ilmu, dan sifat ilmu yang dimiliki oleh Allah adalah yang paling sempurna, tidak ada yang lebih mengetahui ilmunya daripada Allah. Ketika kita menetapkan sifat الْمَغْفِرَة, Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang memiliki sifat mengampuni, maka seorang muslim meyakini bahwasanya sifat magfirah yang Allah miliki adalah sifat yang paling sempurna. Ketika seorang meyakini bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang memiliki sifat mendengar, maka dia meyakini bahwa sifat mendengar yang Allah miliki adalah sifat mendengar yang paling sempurna, tidak ada yang lebih sempurna pendengarannya daripada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan seterusnya. Secara umum, seseorang ketika mengatakan الْحَمْدُ لِلّٰهِ berarti dia memuji Allah dengan seluruh sifat kesempurnaan.

الْمَحْمُودِ, yang Dia, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala, dipuji dengan seluruh atau berbagai bahasa. Sekarang kita sedang memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan bahasa Arab dengan mengatakan الْحَمْدُ لِلّٰهِ. Ketika kita terjemahkan dan mengatakan kita memuji Allah, berarti kita memuji Allah dengan bahasa Indonesia, dengan bahasa kita. Di sana ada orang yang berbahasa Inggris menerjemahkan الْحَمْدُ لِلّٰهِ dan memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan bahasa Inggrisnya, dan seterusnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang dipuji dengan seluruh bahasa atau semua bahasa. Hamba-hamba Allah, Allah ciptakan untuk mereka berbagai bahasa. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan mereka dan menciptakan untuk mereka bahasa, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala ingatkan di dalam Al-Qur’anul Karim bahwasanya perbedaan bahasa di antara kita ini merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana firman Allah: وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ (“dan perbedaan bahasa-bahasa kalian”). Maka ini adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menciptakan dan ini adalah di antara tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalau dihitung, berapa bahasa yang dimiliki oleh manusia? Tidak usah jauh-jauh, kita berada di Jawa. Kalau dihitung berapa bahasa yang ada di Pulau Jawa? Di Sunda saja ada Sunda halus, ada Sunda kasar. Di Jawa juga demikian, ada Jawa Jogja dengan Jawa Jawa Timur, ini sudah berbeda lagi bahasanya, padahal itu sama-sama bahasa Jawa. Melayu juga demikian, padahal mereka sama-sama orang Melayu, tapi ketika yang berbicara dari daerah tertentu, mereka belum tentu memahami apa yang diucapkan. Ini kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang menciptakan seluruh bahasa tadi, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang dipuji dengan berbagai bahasa karena hamba-hamba Allah dari berbagai suku dan mereka memiliki bahasa yang berbeda-beda. Di antara faedah yang bisa kita ambil bahwasanya seseorang tidak merasa sombong dan dia sadar bahwasanya hamba-hamba Allah itu sangat banyak. Seandainya seorang tidak taat kepada Allah, maka itu tidak memudarati Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengambil manfaat dari ketaatan seorang hamba, tapi hamba tersebut dialah yang mengambil manfaat dari ketaatan dia kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia sadar bahwasanya dia hanyalah satu di antara sekian banyak hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memuji Allah عَزَّ وَجَلَّ dengan berbagai bahasa, termasuk di antaranya adalah hewan. Binatang, mereka adalah hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala dan masing-masing dari mereka bertasbih. وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لَا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ (“Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka”). Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menciptakan segala sesuatu mengabarkan kepada kita bahwasanya segala sesuatu bertasbih, termasuk di antaranya adalah hewan-hewan, mereka bertasbih untuk Allah عَزَّ وَجَلَّ, akan tetapi kalian tidak memahami bagaimana cara mereka bertasbih. Bahkan sebagian ulama mengatakan, termasuk benda-benda yang tidak bergerak, benda-benda yang mati di sekitar kita, mereka semuanya bertasbih untuk Allah عَزَّ وَجَلَّ. Ini menjadikan tentunya seorang muslim, seorang hamba Allah, malu dan tidak sombong, dan merasa dirinya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan makhluk-makhluk Allah yang ada di sekitarnya. Pohon bertasbih, tembok bertasbih, segala sesuatu yang ada di sekitarnya bertasbih untuk Allah, sementara dia dalam keadaan lalai, dalam keadaan dia bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

الْمَحْمُودِ بِكُلِّ لِسَانٍ, Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah yang dipuji oleh makhluk-makhluk-Nya dengan seluruh bahasa. فِي كُلِّ زَمَانٍ, di dalam setiap waktu. Di dalam setiap waktu, ada saja di sana hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala. Disebutkan di dalam naskah yang lain: الْمَعْبُودِ فِي كُلِّ زَمَانٍ (“yang disembah di setiap waktu”). Dari setiap waktu yang berlalu di dunia ini, ada saja di sana hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menyembah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik dari kalangan manusia, ataupun dari kalangan jin, ataupun dari kalangan malaikat, atau dari makhluk-makhluk yang lain. Tadi sudah disebutkan bahwasanya mereka bertasbih, dan tasbih adalah bagian dari ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian pula para malaikat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan dari cahaya, yang mereka senantiasa mentaati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak bermaksiat kepada-Nya. لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ (“mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka”). Disebutkan di dalam hadis bahwasanya di langit sana tidak ada satu jengkal pun di langit kecuali di situ ada malaikat yang sedang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ada di antara mereka dalam keadaan bersujud, ada di antara mereka yang dalam keadaan rukuk. Ini menunjukkan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang disembah di setiap zaman, di setiap waktu. Ada saja di sana di antara hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini juga sama, di antara faedah yang bisa kita ambil, menunjukkan tentang kebesaran Allah, Rabb semesta alam, dan bahwasanya kita adalah satu di antara sekian banyak hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang bertasbih kepada-Nya, yang memuji-Nya, dan juga beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kemudian beliau mengatakan: الَّذِي لَا يَخْلُو مِنْ عِلْمِهِ مَكَانٌ (“Yang tidak ada satu tempat pun yang luput dari ilmu-Nya”). Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang tidak ada tempat yang lepas dari ilmu Allah, tidak ada tempat yang kosong dari ilmu Allah. Kembali di sini beliau ingin mengenalkan kita dengan Allah عَزَّ وَجَلَّ dengan cara mengenalkan kepada kita di antara sifat-sifat Allah. Maka kita perhatikan, di awal kitab ini, yang beliau lakukan pertama kali adalah menjelaskan kepada kita akidah, keyakinan seorang muslim terhadap Allah, Rabb semesta alam. Karena keyakinan ada yang berkaitan dengan Allah, ada keyakinan (kepercayaan) yang berkaitan dengan malaikat, berkaitan dengan rasul, berkaitan dengan hari akhir, berkaitan dengan takdir, yang kita kenal dengan rukun iman. Mana yang paling pokok di antara rukun-rukun iman tersebut? Tentunya rukun iman yang pertama, yaitu beriman kepada Allah. Maka beliau, Ibnu Qudamah al-Maqdisi, memulai kitabnya dengan iman kepada Allah. Kalau kita perhatikan, sebelum beliau membahas tentang masalah hari akhir, masalah sahabat, masalah ahlul bait, beliau dahulukan tentang masalah iman kepada Allah. Beliau kenalkan kita dengan Allah, Rabb semesta alam, dengan menyebutkan beberapa di antara sifat-sifat Allah عَزَّ وَجَلَّ. Ini adalah cara yang dilakukan oleh para ulama rabbaniyin yang mereka mengetahui agama ini dan mengetahui mana yang paling penting di dalam agama ini dan mana yang didahulukan untuk dipelajari.

Beliau mengatakan: الَّذِي لَا يَخْلُو مِنْ عِلْمِهِ مَكَانٌ. Di antara keyakinan yang harus kita yakini yang berkaitan dengan diri Allah, bahwasanya tidak ada di dunia ini satu tempat pun yang kosong dari ilmu Allah. Artinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui segalanya, baik tempat yang ada di bawah ini, yaitu di bumi, ataupun tempat yang ada di atas, yaitu di langit, ataupun yang ada di antara langit dan juga bumi. Maka tidak ada sebuah tempat kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahuinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah yang mengatakan: وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (“Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”). Dialah yang mengatakan: يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ (“Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka”). أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۖ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَىٰ ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَىٰ مِنْ ذَٰلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا1 (“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia2 bersama mereka di mana pun mereka berada”).

Di semua tempat, di masjid, tidak lepas dari ilmu Allah. Di depan sitar, tidak lepas dari ilmu Allah. Di belakang hijab, tidak lepas dari ilmu Allah. Di rumah, di dalam kamar, juga tidak lepas dari ilmu Allah. Tidak ada di dunia ini, di atas maupun di bawah, yang kosong dari ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga inilah makna firman Allah عَزَّ وَجَلَّ, إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ (“melainkan Dia bersama mereka di manapun mereka berada”). Tentunya yang demikian apabila diyakini oleh seorang muslim, menjadikan dia berhati-hati di dalam berucap, berhati-hati di dalam bertindak, menjadikan dia melaksanakan kewajiban di dalam agama ini karena Allah, meskipun tidak dilihat oleh manusia, meskipun tidak dilihat oleh orang tua, tidak dilihat oleh guru atau pengawas. Demikian pula menjadikan seorang muslim takut untuk melakukan apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala karena dia tahu ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui perbuatan tersebut, di sana ada konsekuensinya, di sana ada dosa yang ditulis, ada kejelekan yang ditulis, dan di sana akan ada perhitungan, ada timbangan, dan di sana ada hukuman, siksaan bagi orang yang meninggalkan kewajiban ataupun melakukan apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka faedah yang bisa kita ambil dari ucapan beliau الَّذِي لَا يَخْلُو مِنْ عِلْمِهِ مَكَانٌ (tidak ada tempat yang kosong dari ilmu Allah) menjadikan seorang muslim senantiasa merasa diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di mana pun dia berada.

Kemudian beliau mengatakan: وَلَا يَشْغَلُهُ شَأْنٌ عَنْ شَأْنٍ (“Dan tidaklah suatu urusan menyibukkan-Nya dari urusan yang lain”). Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidaklah sesuatu menyibukkan Allah dari sesuatu yang lain. Yang dilakukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat-sangat banyak sekali. Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang mencipta, bukan hanya menciptakan zat, akan tetapi juga menciptakan pekerjaan-pekerjaan zat tersebut. Detik ini saja atau jam ini saja, berapa anak yang lahir di dunia ini? Itu baru manusianya. Hewan, baik yang kelihatan maupun yang tidak terlihat oleh manusia, baik yang datang atau diciptakan dengan dilahirkan ataupun dengan telur, menetas dari telurnya, semuanya yang menciptakan adalah Allah عَزَّ وَجَلَّ. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak disibukkan oleh satu perkara dari perkara yang lain, semuanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menciptakan, meskipun terjadi dalam waktu yang sama. Itu baru zat, lalu bagaimana dengan pekerjaan-pekerjaan mereka yang itu semuanya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menciptakan? Yang menjadikan jantung saya berdetak adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, itu Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menciptakan. Kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki, Allah bisa hentikan sewaktu-waktu. Dan jantung kita masing-masing demikian pula, Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menciptakan, menggerakkan. Kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki, akan dihentikan dalam setiap waktu yang diinginkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka begitu banyaknya pekerjaan-pekerjaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala tersibukkan dengan sesuatu dan lalai dengan sesuatu yang lain. Itu baru masalah penciptaan, lalu bagaimana dengan pekerjaan yang lain? Mematikan, mengangkat derajat sebagian, merendahkan sebagian yang lain, memiskinkan sebagian, menjadikan yang lain kaya.

جَلَّ عَنِ الْأَشْبَاهِ وَالْأَنْدَادِ (“Maha Agung Dia dari segala yang serupa dan segala yang menandingi”). Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang Maha Besar dari segala sesuatu yang menyerupai dan segala sesuatu yang menandingi. Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang Maha Besar. Di antara kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak ada yang serupa dengan Allah. Tidak ada yang serupa di dalam zat-Nya, tidak ada yang serupa di dalam sifat-sifat-Nya, karena sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sifat-sifat yang Maha Sempurna. Tidak ada yang serupa dengan Allah di dalam nama-nama-Nya, karena nama-nama Allah mengandung sifat-sifat yang Maha Sempurna. Ini semua menunjukkan kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun makhluk, maka banyak yang serupa dengan mereka. Berapa orang yang pandai di dalam bahasa Arab? Banyak. Orang yang pandai di dalam IT? Banyak. Orang yang tampan? Banyak. Yang serupa dengan seseorang di dalam sifatnya. Ini adalah keadaan makhluk. Adapun Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang Maha Besar, tidak ada sesuatu yang serupa dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. جَلَّ عَنِ الْأَشْبَاهِ, tidak ada yang serupa dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, وَالْأَنْدَادِ, dan tidak ada yang menandingi Allah. Mencipta sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala mencipta, tidak ada. Memberikan rezeki sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan rezeki, juga tidak ada. Dia yang menciptakan segala sesuatu; sesuatu selain Allah adalah makhluk. Dialah yang memberikan rezeki dan tidak ada yang memberikan rezeki selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga ketika seseorang menyadari bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak ada yang serupa dengan Dia, ketika seseorang meyakini tidak ada yang menandingi Allah, menyaingi Allah, maka konsekuensinya adalah dia tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ (“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia”). Dialah yang mengatakan: هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا (“Apakah engkau mengetahui ada sesuatu yang sebanding dengan-Nya?”). Pertanyaan yang maknanya adalah pengingkaran; tidak ada yang sebanding dengan Allah. Kalau demikian, sembahlah Allah saja. Dialah yang mengatakan: فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (“Maka janganlah kamu mengadakan bagi Allah tandingan-tandingan, padahal kamu mengetahui”). Mengetahui bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mencipta, memberikan rezeki, maka janganlah kalian menjadikan di sana tandingan-tandingan bagi Allah yang disembah selain Allah عَزَّ وَجَلَّ. Maka beliau ingin mengenalkan kepada kita di sini bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang Maha Sempurna, tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Allah Subhanahu wa Ta’ala atau menandingi Allah عَزَّ وَجَلَّ.

Kemudian beliau mengatakan: وَتَنَزَّهَ عَنِ الصَّاحِبَةِ وَالْأَوْلَادِ (“Dan Maha Suci Dia dari istri dan juga anak-anak”). Artinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memiliki istri dan tidak memiliki anak. Kenapa demikian? Karena itu adalah sifat makhluk yang membutuhkan. Seorang laki-laki membutuhkan istri, orang tua membutuhkan anak untuk meneruskan perjuangannya, meneruskan usahanya, membantu dia. Itu adalah keadaan makhluk. Anak biasanya menyerupai orang tuanya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah الْغَنِيُّ, Dialah yang Maha Kaya, Dialah yang tidak membutuhkan yang lain. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan untuk diri-Nya istri dan juga anak, karena Dialah yang الْغَنِيُّ, Yang Maha Kaya, yang tidak membutuhkan yang lain. Adapun manusia, maka mereka membutuhkan orang lain. Seorang suami membutuhkan istri, seorang wanita membutuhkan suami, ayah ibu membutuhkan anak, dan anak juga demikian, butuh kepada orang tuanya. يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ (“Wahai manusia, kamulah yang sangat butuh kepada Allah; dan Allah, Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji”).

Lalu bagaimana ada sebagian manusia yang berani mengatakan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki anak? Orang Yahudi mengatakan bahwasanya Uzair adalah anak Allah, orang-orang Nasrani mengatakan Al-Masih adalah anak Allah, dan orang-orang musyrikin Quraisy dahulu mengatakan bahwasanya malaikat adalah anak-anak perempuan Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan: لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (“Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan”). أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صَاحِبَةٌ (“Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri?”). Maka beliau kembali di sini ingin menunjukkan kepada kita tentang kebesaran Allah dan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dia tidak membutuhkan manusia, Dialah الْغَنِيُّ, dan kitalah yang membutuhkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membutuhkan ibadah kita, tapi kitalah yang membutuhkan ibadah tersebut. Seandainya seluruh manusia dan juga jin dari awal sampai akhir mereka kufur kepada Allah, dan kekufuran mereka adalah kekufuran yang paling besar, niscaya yang demikian tidak akan mengurangi sedikit pun dari kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebaliknya, seandainya seluruh manusia dan juga jin dari awal sampai akhir, mereka semuanya memiliki hati yang paling bertakwa, semuanya memiliki iman seperti imannya Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ atau imannya Jibril atau imannya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam khalilullah, niscaya demikian tidak akan menambah kekuasaan Allah sedikit pun, tidak akan menambah kebesaran Allah sedikit pun. Oleh karena itu, amal saleh dan iman yang kita miliki adalah untuk diri kita sendiri. Sebaliknya, kemaksiatan yang dilakukan oleh seseorang, akibatnya, mudaratnya adalah kembali kepada dirinya sendiri. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengambil manfaat dari ketaatan yang kita lakukan dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak termudarati dengan sebab maksiat yang kita lakukan. Allah Ta’ala berfirman: مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا (“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat, maka (dosanya) atas dirinya sendiri”). Dia yang akan bahagia di dunia dan dialah yang akan merasakan kebahagiaan dan juga kenikmatan di akhirat. Kalau dia berbuat jelek, berbuat maksiat, kufur, syirik, maka itu adalah atas dirinya sendiri. Dia yang akan merasakan kesengsaraan, musibah, bencana di dunia, dan dialah yang akan merasakan akibat siksaan dan juga hukuman di akhirat. Maka ini juga termasuk akidah yang harus kita pegang bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang Maha Besar, tidak ada yang serupa dengan Allah, dan Dialah yang Maha Besar, yang Maha Sempurna, tidak memiliki anak dan juga tidak memiliki istri.

وَنَفَذَ حُكْمُهُ فِي جَمِيعِ الْعِبَادِ (“Dan hukum-Nya berlaku pada seluruh hamba”). Di antara yang ingin beliau kenalkan di sini adalah di antara sifat-sifat Allah, bahwasanya hukum Allah itu terlaksana pada seluruh hamba-hamba-Nya. Apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala memutuskan sesuatu, menetapkan sesuatu, menginginkan sesuatu, maka akan terlaksana. Tidak ada yang bisa menolak keputusan Allah tersebut. Meskipun seorang hamba terkadang tidak menginginkan, tidak menghendaki perkara tersebut, tapi kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah menetapkan fulan tersesat, maka tidak ada yang bisa memberikan hidayah kepada orang tersebut. Meskipun kita sebagai orang tua menginginkan tentunya anak kita mendapatkan hidayah, meskipun kita sebagai anak menginginkan orang tua mendapatkan hidayah, kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah menetapkan fulan tersesat, fulan tidak mendapatkan hidayah, maka itu akan terlaksana. نَفَذَ حُكْمُهُ فِي جَمِيعِ الْعِبَادِ, keputusan Allah, hukum Allah, akan terlaksana di seluruh hamba-hamba-Nya. Demikian pula orang yang mendapatkan hidayah, meskipun dia berada di pedalaman, di sekitarnya banyak orang yang sesat, tapi kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki si fulan mendapatkan hidayah, pasti di sana ada cara, sebab, sehingga orang tersebut mendapatkan hidayah. Ada caranya, hukum Allah berlaku dan terlaksana bagi seluruh hamba-Nya.

Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki si fulan miskin, si fulan bangkrut, rugi di dalam perdagangan, di dalam bisnisnya, maka akan terjadi sebagaimana yang Allah inginkan, meskipun si fulan tersebut dia tidak menghendaki kebangkrutan, kerugian tersebut. Tapi kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah menghendaki rugi, maka akan terjadilah apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala inginkan. Maka hukum Allah, keputusan Allah, untuk seluruh hamba yang berkaitan dengan hidayah, berkaitan dengan kesesatan, keimanan, kekufuran, kemiskinan, kekayaan, kematian, kehidupan, semuanya akan terlaksana. Tidak ada di antara makhluk ini yang bisa menahan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala inginkan. إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (“Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ‘Jadilah!’ Maka jadilah ia”). Tidak ada yang bisa menghalangi apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala inginkan.

Sehingga seorang muslim, seorang hamba, dia berusaha untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat baginya, sebagaimana sabda Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ (“Semangatlah untuk melakukan apa yang bermanfaat bagimu”), baik masalah dunia maupun masalah agama. Kita berdakwah, kita mengajar, kita mengajak, kita bekerja. احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ, semangatlah untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirimu, وَاسْتَعِنْ بِاللهِ (“dan jangan lupa engkau meminta pertolongan kepada Allah”). Kemudian apabila terjadi sesuatu setelah itu, ketika terjadi sesuatu yang tidak dia inginkan, dia bersemangat untuk mendakwahi orang tuanya, mendakwahi anaknya, mentarbiah, mengajak orang lain. Dia bersemangat keluar dari rumahnya bekerja, mencari nafkah, membuka toko, tapi ternyata terjadi sesuatu yang tidak dia inginkan, padahal dia sudah berusaha, maka hendaklah dia mengatakan: قَدَّرَ اللهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ (“Ini adalah takdir Allah, dan apa yang Allah kehendaki akan Dia lakukan”). Ini adalah takdir Allah, Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menghendaki dan apa yang Allah kehendaki pasti akan terjadi. Bukan ranah kita, bukan kekuasaan kita. Hidayah, rezeki, Allah Subhanahu wa Ta’ala yang membagi. Mungkin kita sudah berusaha semaksimal mungkin sementara orang lain tidak seperti kita, tapi ternyata dia mendapatkan rezeki yang lebih daripada kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang membagi-bagi rezeki. Kita katakan قَدَّرَ اللهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ. Kalau diucapkan oleh seseorang, maka إِنْ شَاءَ اللهُ akan tenang hatinya, akan dingin hatinya, akan sejuk, tidak gelisah, tidak resah dalam melakukan berbagai perkara. Dia katakan, ini adalah takdir Allah dan apa yang Allah kehendaki terjadi. Dan jangan dia mengatakan, jangan dia mengatakan, “Seandainya, seandainya aku kemarin tidak keluar dari rumah, seandainya aku kemarin tidak bisnis dengan fulan, niscaya tidak akan demikian dan demikian.” Ini tidak boleh karena sesungguhnya ucapan لَوْ (seandainya) ini membuka pintu setan. Kenapa demikian? Menjadikan seseorang akhirnya tidak sabar dengan takdir Allah, menjadikan seseorang tidak rida dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala takdirkan. Sehingga seseorang tidak boleh mengatakan, “Seandainya kemarin saya tidak keluar, seandainya saya tidak mengenal si fulan, seandainya saya tidak berbisnis.”

Seseorang bersemangat untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat baginya. Kalau memang itu halal, setelah kita bermusyawarah dan melihat bahwasanya tidak ada di situ sesuatu yang diharamkan dan itu sesuai dengan kemampuan kita dan kita lihat ini adalah bisnis yang sangat berpeluang, bismillah kita mulai usaha tersebut, mungkin di sini pintu rezekinya. Seandainya terjadi sesuatu, قَدَّرَ اللهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ, dan jangan dia mengatakan seandainya demikian dan demikian, niscaya akan demikian dan demikian. Inilah keadaan kita manusia, kita tidak mengetahui apa yang terjadi di masa yang akan datang. Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang mengetahui, dan kehendak kita di bawah kehendak Allah. Sehingga para ulama menjelaskan ketika kita akan membuka usaha atau dalam seluruh perkara, disyariatkan kita untuk istikharah, meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala petunjuk pilihan. Di dalam doa istikharah kita mengatakan: “Ya Allah, aku meminta pilihan kepada-Mu dengan ilmu-Mu, karena Engkau yang mengetahui apa yang terbaik bagi diriku. Dan aku memohon kepada-Mu qudrah, memohon kepada-Mu kemampuan, dan aku memohon kepada-Mu dari karunia-Mu yang besar. Karena sesungguhnya Engkaulah yang mampu, sementara aku adalah hamba yang tidak mampu. Dan Engkaulah yang mengetahui sementara aku tidak mengetahui.” Ana hanya berusaha bermusyawarah, melihat menurut saya kok baik, tapi yang mengetahui hakikat semuanya ini adalah Allah عَزَّ وَجَلَّ. “Dan Engkau, ya Allah, adalah Zat yang mengetahui perkara-perkara yang gaib.” Termasuk di antaranya adalah apa yang terbaik bagi manusia di masa yang akan datang. Kita tahunya bisnis ini yang paling baik bagi dirinya, tapi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang mengetahui apa yang terbaik bagi manusia. Mungkin Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah siapkan di sana bisnis yang lebih berbarokah, yang lebih tidak menyita waktu, yang lebih membawa kebaikan bagi dia dan juga keluarga dan juga yang lain. Kita tidak tahu. Inilah yang bisa kita ambil dari ucapan beliau: وَنَفَذَ حُكْمُهُ فِي جَمِيعِ الْعِبَادِ (“Dan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala terlaksana kepada seluruh hamba”).

Tidak ada yang bisa keluar dari hukum Allah, dan ketahuilah bahwasanya ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memutuskan menyesatkan, memberikan hidayah, menjadikan miskin, menjadikan kaya, memudahkan, menyulitkan, maka itu semuanya adalah dengan hikmah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ (“melakukan apa yang Dia kehendaki”). Dialah yang mengatakan: وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ (“dan Dialah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”). Ketika Allah memutuskan, maka Dia memutuskan dengan hikmah. Tidak mungkin Allah Subhanahu wa Ta’ala zalim. إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ (“Sesungguhnya Allah tidak menzalimi (seseorang) walaupun seberat zarah”). وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ (“Dan tidaklah Rabb-mu menzalimi hamba-hamba-Nya”). Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hidayah, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hidayah dengan karunia-Nya. Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menyesatkan sebagian orang, maka Allah menyesatkan dengan keadilan-Nya, dan tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala menzalimi para hamba-Nya. Di dalam hadis qudsi, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan: يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا (“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku, dan Aku mengharamkan kezaliman tersebut di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi satu dengan yang lain”). Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan kezaliman atas diri-Nya, sehingga seorang muslim dan juga muslimah meyakini bahwasanya Allah, Rabb semesta alam, tidak melakukan kezaliman meskipun setitik atau lebih kecil daripada sebuah titik. Kalau Allah menyesatkan, maka itu adalah dengan keadilan Allah. Kalau Allah menurunkan musibah, menyiksa, maka itu adalah dengan keadilan Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menzalimi hamba-hamba-Nya.

Baik, إِنْ شَاءَ اللهُ sampai di situ dulu, ditandai, dan kita lanjutkan إِنْ شَاءَ اللهُ pada pertemuan yang selanjutnya.


Tanya Jawab

Pertanyaan: Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Suci dari istri dan anak. Apakah Allah adalah seorang laki-laki?

Jawaban: سُبْحَانَ اللهِ! سُبْحَانَ اللهِ! سُبْحَانَ اللهِ! Maha Suci Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah الْخَالِق (Sang Pencipta), dan Dialah yang menciptakan manusia, baik laki-laki maupun wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak disifati dengan الذُّكُورِيَّة (kelaki-lakian), tidak disifati dengan laki-laki atau tidak disifati dengan wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah Rabb semesta alam. Maha Suci Allah Subhanahu wa Ta’ala dari apa yang dikatakan oleh orang-orang musyrikun yang mereka mengatakan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki anak, atau dikatakan sebagian Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki istri. Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan.


Pertanyaan: Jika seorang hamba diuji, misal dengan anaknya, apakah itu yang terbaik buat kita? Karena bisa jadi apa yang kita tidak suka itu yang terbaik buat Allah.

Jawaban: Seseorang diuji dengan hartanya, diuji dengan istrinya, dengan suaminya, diuji dengan anaknya, tetangganya. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan: وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً (“Dan Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan”). Nabi Nuh ‘alaihissalam diuji dengan istri dan juga anaknya, sehingga beliau seorang nabi berdakwah selama 950 tahun, ternyata istrinya termasuk yang tidak beriman dengan beliau, anaknya termasuk di antara yang tidak beriman dengan beliau. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam diuji dengan bapaknya. Beliau adalah khalilullah, mendakwahi raja yang ada di zaman beliau, mendakwahi kaumnya, mendakwahi bapaknya, hanya saja bapaknya termasuk yang tidak beriman dengan beliau.

Maka masing-masing dari kita diuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kembali kita berpegang pada hadis tadi yang disebutkan: احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ (“Hendaklah engkau bersemangat untuk melakukan apa yang bermanfaat bagi dirimu dan mintalah pertolongan kepada Allah”). Termasuk di antaranya adalah mentarbiah anak-anak kita, maka itu adalah sesuatu yang bermanfaat bagi orang tua. Selain itu adalah memang tanggung jawab kita sebagai orang tua. Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan rezeki kepada kita anak dan juga keturunan, maka kelak di hari kiamat Allah Subhanahu wa Ta’ala akan bertanya kepada kita tentang nikmat anak keturunan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah titipkan kepada kita. كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (“Masing-masing dari kalian adalah pemimpin dan masing-masing kalian akan ditanya tentang amanah tersebut”). Termasuk di antaranya adalah ayah, dia akan ditanya tentang amanah anak-anaknya.

Maka seseorang bersemangat untuk melaksanakan amanah ini. Dia bertanggung jawab dari sisi nafkah, demikian pula dia berusaha untuk mengenalkan mereka, mendekatkan mereka kepada agama Allah, bagaimana mereka mengenal Allah, Rabb semesta alam. Itu tanggung jawab orang tua. Mengenalkan mereka dengan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Ini nabi yang telah diutus kepada kita, kamu harus tahu tentang kedudukan beliau, bagaimana sikap kita ketika mendengar hadis-hadis beliau. Mengenalkan mereka tentang agama Islam. Ini adalah sesuatu yang bermanfaat bagi orang tua. Kalau dia menjadi anak yang saleh, taat, mengenal Allah, mengenal Rasul-Nya, maka tentunya ini adalah kebahagiaan tersendiri bagi orang tua di dunia, dan dia juga akan mendapatkan kesenangan, kebahagiaan ketika di akhirat dari kesalehan anak-anaknya, istigfar yang diucapkan oleh anak-anaknya untuk kedua orang tua.

Maka seseorang bersemangat untuk melakukan apa yang bermanfaat yang berkaitan dengan تَرْبِيَةُ الْأَوْلَادِ. Setelah berusaha semaksimal mungkin dengan doa, dengan usaha, dengan kesabaran, dengan keteladanan, kalau misalnya terjadi sesuatu yang tidak dia inginkan seperti yang terjadi pada Nabi Nuh, seperti yang terjadi pada Nabi Ibrahim, Nabi Luth, ada keluarganya yang tidak mendapatkan hidayah, padahal dia sudah berusaha, sebagaimana Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berusaha untuk mendakwahi paman beliau, Abu Thalib, dan semangat untuk mendakwahi beliau sampai ketika dalam keadaan sakit Abu Thalib, maka datang Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjenguk dan di situ ada dua orang musyrikin teman dari Abu Thalib. Di akhir sebelum Abu Thalib meninggal dunia, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ masih bersemangat untuk mendakwahi pamannya masuk ke dalam agama Islam. Ini yang bisa kita lakukan. Adapun setelah itu ternyata tidak seperti yang kita inginkan, maka kita kembali kepada Allah, Rabb semesta alam. Dialah yang mentakdirkan, Dialah yang menghendaki, Dialah yang berkuasa, dan yakin bahwasanya di balik itu semua pasti di sana ada hikmah. Yang penting kita sebagai orang tua sudah berusaha.


Pertanyaan: Apa hikmahnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan malaikat? Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah Yang Maha Mengatur?

Jawaban: Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak ditanya tentang apa yang Dia kerjakan, dan merekalah yang akan ditanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan apa yang Dia kehendaki dan Dialah yang memilih. لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ (“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai”). Benar, Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang يُدَبِّرُ الْأَمْرَ (mengatur segalanya), Dialah yang الْقَوِيُّ (Maha Kuat), Dialah الْقَدِيرُ (Maha Mampu) untuk melakukan segala sesuatu. Tidak ada yang membantu Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam mencipta, memberikan rezeki. Dialah الرَّزَّاقُ, Dialah الْخَالِق, Dialah الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ, Dialah Yang Maha Esa dan Dialah yang Berkuasa.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan para malaikat tentunya dengan hikmah yang besar, dengan hikmah yang banyak. Di antaranya adalah menunjukkan bagaimana banyaknya hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala selain manusia, yang mereka keadaannya adalah senantiasa taat kepada Allah dan tidak pernah berbuat maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, berbeda dengan manusia, penuh dengan kemaksiatan dan setiap harinya dia melakukan dosa. Adapun para malaikat tersebut, selain jumlah mereka yang tidak mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka adalah hamba-hamba Allah yang tidak pernah berbuat maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin menunjukkan betapa besarnya kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bahwasanya hamba-hamba Allah selain kita ini banyak. Sehingga seorang muslim di saat dia dalam keadaan taat, maka dia ingat bahwasanya dia itu hanya satu di antara sekian banyak hamba-hamba Allah, menjadikan dia tidak sombong. Di sana ada malaikat yang tidak pernah berbuat maksiat, yang beribadah kepada Allah siang dan malam dan tidak pernah bosan. Sementara kita, meskipun dia melakukan salat malam, melakukan salat lima waktu, dari 24 jam yang kita miliki setiap hari, berapa persen yang kita gunakan untuk beribadah kepada Allah? Malaikat siang dan malam mereka beribadah kepada Allah, tidak pernah mereka bosan dalam beribadah kepada Allah. Demikian pula ketika dia berada dalam keadaan yang susah, dikucilkan menjadi orang yang taat, berpegang teguh dengan agama dan dikucilkan oleh manusia, maka dia ingat bahwasanya di atas sana banyak hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang jumlahnya tidak mengetahuinya kecuali Allah, yang dia sama-sama dengan kita berniat untuk taat kepada Allah, Rabb semesta alam. Dia merasa tidak sendiri sebagai seorang hamba Allah yang berpegang teguh dengan sunah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Tentunya banyak di sana hikmah-hikmah yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan malaikat-malaikat tersebut dan masing-masing diberikan tugas, diberikan amalan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ada yang bertugas untuk menyampaikan wahyu dari Allah kepada para nabi, ada di antara mereka yang ditugaskan untuk mencabut nyawa, ada di antara mereka yang ditugaskan untuk menjaga gunung, menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman. Mereka tidak melakukan itu semuanya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menciptakan perbuatan-perbuatan mereka. Malaikat tidak mungkin mereka memikul Arsy kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kekuatan kepada malaikat tersebut. Mereka diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan amalan-amalan tertentu dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membutuhkan mereka, bahkan mereka, merekalah yang membutuhkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah yang menciptakan mereka, memberikan kekuatan kepada mereka.


Pertanyaan: Bagaimana menjawab seorang yang mengatakan kita sebagai muslim menyembah berhala Ka’bah saat salat?

Jawaban: Tentunya ini adalah ucapan seorang yang jahil tentang hakikat dari kata menyembah dan juga beribadah. Beribadah secara bahasa adalah merendahkan diri disertai dengan مَحَبَّة (kecintaan). Seorang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan merendahkan dirinya serendah-rendahnya disertai dengan kecintaan yang sebesar-besarnya kepada Allah, Rabb semesta alam. Sehingga dia pun salat, dia pun tinggalkan seluruh aktivitasnya, merendahkan dirinya kepada Allah dan mengatakan اللهُ أَكْبَرُ. Kenapa kita menghadap ke arah Ka’bah? Allah, Rabb semesta alam, Dialah yang memerintahkan kita untuk mengarahkan diri kita ketika salat ke arah Ka’bah. Maka ini adalah bentuk ibadah kita kepada Allah, bentuk ketundukan kita kepada Allah. Termasuk di antaranya adalah arah dalam melakukan salat, kiblatnya ke mana, Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memerintahkan kita ketika salat itu menghadap ke Masjidil Haram. Tidak ada di antara kita yang sujud di dalam salatnya kemudian niatnya adalah tunduk dan cinta, merendahkan dirinya kepada Ka’bah. Kita (menghadap) kepada Allah Rabb semesta alam, menghadapkan diri kita ke Ka’bah karena mengikuti perintah Allah, Rabb semesta alam. Kita sampaikan seperti itu. Kalau dia menerima, alhamdulillah. Kalau dia tidak menerima, ya hidayah di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena sebagian orang hanya sekadar ingin melemparkan syubhat, ingin melemparkan penyakit bagaimana supaya seorang muslim itu ragu-ragu tentang agamanya. Kita sampaikan, setelah itu kita serahkan semuanya kepada Allah, Rabb semesta alam. Sebagian orang kafir, kalau memang Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki dia sesat, tidak menerima hidayah, apa pun yang kita bawakan tidak akan mereka mendapatkan hidayah. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, berapa mukjizat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada beliau? Terbelah bulan di zaman Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan orang-orang kafir melihat bulan terbelah menjadi dua. Tapi kalau memang Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menghendaki hidayah kepada orang tersebut, ya tidak akan mendapatkan hidayah.


Pertanyaan: Bolehkah ummahat rihlah dengan rombongan ummahat yang berkeluarga tetapi ada umahat yang ikut tanpa mahram? Rihlahnya tidak safar tetapi menginap dua malam.

Jawaban: Kalau memang bukan safar, berada di daerahnya, maka tidak masalah. Karena mahram ini disyaratkan ketika seorang wanita dalam keadaan safar. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengatakan: لَا تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ (“Tidak boleh seorang wanita melakukan safar kecuali bersama mahramnya”). Berarti mahram disyaratkan ketika safar. Adapun ketika dalam keadaan tidak safar, meskipun dia bermalam, maka dia tidak disyaratkan memiliki mahram. Cuma perlu dilihat kaidah-kaidah yang lain. Pertama, dilihat dari izin dari wali, ya, seorang suami atau orang tua, maka dia harus mendapatkan izin dari walinya. Kemudian yang kedua adalah jangan sampai terjadi fitnah, jangan sampai terjadi mudarat yang besar bagi wanita tersebut. Kalau memang terpenuhi syarat-syarat yang lain, maka tidak masalah seorang wanita mengikuti acara tersebut.


Baik, بَارَكَ اللهُ فِيكُمْ. جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا atas perhatian antum semuanya.

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ.

وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.


Related Articles

Back to top button