Kajian Kitab Lum’atul I’tiqad #1
Kajian Kitab Lum'atul I'tiqad
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا. أَمَّا بَعْدُ.
Alhamdulillah, segala puji hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Kita bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah dan diibadahi kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan kita bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba Allah dan juga Rasul-Nya. Selawat dan salam semoga senantiasa Allah Subhanahu wa Ta’ala limpahkan kepada beliau, keluarga beliau, para sahabat beliau, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai akhir zaman.
Para ikhwah dan juga para akhwat yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Alhamdulillah, yang telah memudahkan pertemuan kita di pagi hari ini dalam rangka untuk menuntut ilmu, yang merupakan amal yang saleh, menghilangkan kebodohan dari dirinya dan juga orang lain. Yang dikatakan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barang siapa yang menempuh sebuah jalan dalam rangka untuk mencari ilmu, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memudahkan baginya jalan menuju surga.”
Di antara ilmu yang paling penting di dalam agama ini, bahkan ia adalah yang paling utama, yang paling didahulukan sebelum kita mempelajari ilmu-ilmu yang lain, adalah ilmu akidah. Yang artinya adalah keyakinan, sesuatu yang digunakan untuk mengikat hati seseorang. العَقِيدَة berasal dari kata عَقَدَ يَعْقِدُ yang artinya adalah mengikat. Dinamakan demikian karena akidah atau keyakinan adalah sesuatu yang digunakan untuk mengikat hati. Dan hati atau القَلْبُ, sebagaimana namanya, sering berganti-ganti, sering bolak-balik. Barang siapa yang mengikat hatinya dengan akidah yang benar, maka dia akan menuai dan memanen buah-buah yang indah yang berupa ibadah yang ikhlas sesuai dengan sunah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, dan dia akan berhias dengan akhlak-akhlak yang mulia. Muamalahnya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadi baik, dan muamalahnya kepada manusia juga baik.
Karena apa yang muncul di anggota badan itu sangat erat hubungannya dengan apa yang ada di dalam kalbu seseorang. Keyakinannya benar, akidahnya sahihah, maka akan nampak pengaruh buah dari akidah yang sahihah tersebut pada anggota badannya. Sebaliknya, ketika seseorang mengikat kalbunya dengan akidah yang tidak sahihah, maka akan berpengaruh juga dengan apa yang ada di luar anggota badannya, yaitu berupa anggota badannya. Muamalahnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjadi buruk, demikian pula akhlaknya kepada manusia juga akan menjadi tidak baik.
Contoh misalnya, seseorang yang memiliki akidah yang sahihah, Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang mengetahui segala sesuatu di mana pun seseorang berada. Ini akidah, ini keyakinan. Ketika itu tertancap kuat di dalam diri seseorang, di mana pun dia berada, maka dia akan menjaga hak Allah dan juga hak manusia. Meskipun tidak dilihat oleh orang tua, atasan, atau keluarga, kalau memang di bulan puasa di siang hari dan itu adalah kewajiban bagi seorang muslim dan juga muslimah untuk melakukan puasa, maka dia akan berpuasa di mana pun dia berada, dilihat oleh orang lain atau tidak. Kenapa demikian? Karena di dalam hatinya dia yakin Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui apa yang dia lakukan.
Ketika bermuamalah dengan manusia juga demikian. Dia berjual beli kemudian mendapatkan kembalian ternyata lebih, mungkin lebihnya tidak seberapa, Rp100, Rp200. Tapi ketika dia meyakini secara akidah dan di dalam hatinya dia mengetahui bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ dan bahwasanya di sana akan ada hari pembalasan, maka meskipun mungkin jaraknya jauh, dia akan datang dan mengembalikan uang tersebut. Kemarin ada cerita ketika kita pulang dari sidang Dewan Fatwa, sebagian asatizah mau pulang ke Jember, katanya lewat sebuah danau. Kenapa lewat di situ? Sengaja, karena beberapa tahun yang lalu sempat mampir beli kopi atau yang semisalnya, lupa tidak bayar. Padahal itu sudah beberapa tahun yang lalu, tapi masih ingat sampai sekarang. Baru ada waktu kemarin bisa mampir mencari siapa dulu yang diperkirakan orangnya, tempat dia mampir dan membeli kopi saat itu. Kenapa demikian? Muncul karena kita ada akidah. Kita meyakini bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang Maha Mengetahui segala sesuatu dan kita meyakini di sana ada hari akhir, semuanya akan diperhitungkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala meskipun hanya Rp1.000.
Ini tentunya berbeda dengan orang yang memiliki akidah yang tidak sahih. Akan berpengaruh juga pada muamalahnya kepada manusia, muamalahnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beribadah hanya ketika dilihat oleh manusia, mudah menzalimi orang lain, mudah menipu orang lain. Sehingga dari sini kita mengetahui pentingnya mempelajari akidah. Tentunya kita ingin mengisi hati kita dengan akidah yang benar, dan akidah yang benar diambil dari sumber yang benar. Dan sumber yang benar tersebut adalah sumber yang berasal dari Allah, Rabb semesta alam, karena Dialah Allah Subhanahu wa Ta’ala عَالِمُ الغُيُوبِ. Dialah yang mengetahui perkara-perkara yang gaib. Dialah yang mengetahui tentang alam malaikat dengan sedetail-detailnya, mengetahui tentang apa yang akan terjadi di alam kubur, apa yang akan terjadi di hari kiamat. Dialah yang Maha Mengetahui tentang bagaimana para rasul, sejarah mereka, hakikat tentang mereka, tentang al-qada wal qadar, dan seluruh perkara-perkara yang gaib yang harus kita yakini. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan perkara-perkara yang gaib tersebut di dalam الْقُرْآنُ الْكَرِيمُ atau melalui Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ di dalam sunah-sunah beliau dan juga hadis-hadis beliau.
Sehingga tidak mungkin kita bisa memiliki akidah yang sahihah yang membuahkan buah-buah yang indah, kecuali apabila kita mengisi hati kita dengan akidah yang sahihah tersebut yang diambil dari Al-Qur’an dan juga hadis. Dan para ulama, alhamdulillah, semenjak dahulu karena mereka tahu tentang pentingnya ilmu akidah, dari masa ke masa, dari berbagai penjuru, mereka menulis tentang akidah ini. Dan memberi nama kitab-kitab tersebut terkadang dengan nama السُّنَّة, seperti misalnya Al-Khallal memberi nama kitabnya dengan السُّنَّة dan maksudnya adalah akidah. Dan terkadang mereka memberi nama kitabnya dengan الشَّرِيعَة, seperti misalnya Al-Ajurri memiliki kitab الشَّرِيعَة dan isinya adalah tentang masalah akidah. Terkadang memberi nama dengan أُصُول, seperti Al-Lalikai رَحِمَهُ اللهُ memiliki kitab شَرْحُ أُصُولِ اعْتِقَادِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ. Terkadang diberi nama dengan الْفِقْهُ الْأَكْبَر, seperti Al-Imam Abu Hanifah رَحِمَهُ اللهُ. Terkadang diberi nama dengan التَّوْحِيد, seperti Ibnu Khuzaimah dan Al-Imam Al-Bukhari رَحِمَهُ اللهُ di dalam Shahih Al-Bukhari membuat di dalam kitab beliau كِتَابُ التَّوْحِيد, dan di situ beliau menyebutkan tentang permasalahan-permasalahan akidah, hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah akidah.
Demikian dari masa ke masa, generasi ke generasi para ulama. Kalau kita kumpulkan, kita akan dapatkan mereka menulis kitab-kitab akidah dan kitab-kitab tersebut ada yang panjang, ada yang pendek, ada yang ringkas, ada yang agak luas disebutkan di sana plus dalil-dalilnya. Di antara kitab-kitab tersebut adalah kitab لُمْعَةُ الْاِعْتِقَادِ الْهَادِي إِلَى سَبِيلِ الرَّشَادِ yang ditulis oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi yang meninggal dunia pada tahun 620 Hijriah, berarti meninggal kurang lebih 800 tahun yang lalu. Dan kitab ini, insyaallah pada pertemuan yang pertama ini, supaya kita lebih mengenal bagaimana kedudukan kitab ini dilihat dari siapa yang menulisnya, maka akan kita sebutkan biografi dari Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dan kita akan sebutkan juga sedikit tentang apa isi dari kitab لُمْعَةُ الْاِعْتِقَادِ dan kenapa dinamakan demikian.
Kita mulai dengan biografi dari penulis. Beliau adalah Ibnu Qudamah Al-Maqdisi. Kita lihat bagaimana beliau dan bagaimana kedudukan beliau di antara para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Beliau adalah مُوَفَّقُ الدِّينِ, ini adalah gelar beliau. Sehingga terkadang disebutkan dalam sebagian kitab, “Berkata الْمُوَفَّق,” dan maksudnya adalah Ibnu Qudamah. Kunyah beliau adalah أَبُو مُحَمَّد, nama beliau adalah عَبْدُ اللهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ قُدَامَةَ بْنِ مِقْدَامٍ الْمَقْدِسِيُّ. Al-Maqdisi ini dinisbahkan kepada بَيْتُ الْمَقْدِس, yaitu الْمَسْجِدُ الْأَقْصَى, dan beliau adalah Al-Jammain, nama sebuah desa di Palestina tempat beliau lahir. ثُمَّ الدِّمَشْقِيُّ, dinisbahkan kepada Damaskus karena beliau sempat, setelah 10 tahun, hijrah bersama keluarganya menuju ke Damaskus. Sehingga beliau adalah الْجَمَّاعِيلِيُّ الْمَقْدِسِيُّ الْجَمَّاعِيلِيُّ الدِّمَشْقِيُّ, dan beliau adalah Hambali, nisbah kepada mazhab. Lahir pada tahun 541 Hijriah, kemudian ketika beliau berumur 10 tahun, itu pada tahun 551 Hijriah, bersama keluarganya menuju ke Damaskus. Di situlah beliau mulai menuntut ilmu, menghafal Al-Qur’an, dan menghafal Mukhtasar Al-Khiraqi yang nanti akan beliau syarah di dalam kitab beliau, الْمُغْنِي. Belajar dari para masyaikh dan ahli ilmu fikih dan beliau dikenal sebagai seorang yang cerdas.
Pada tahun 561, umurnya berapa? 20 tahun. Beliau melakukan rihlah dalam rangka untuk menuntut ilmu agama bersama dengan anak dari paman beliau yang bernama Abdul Ghani Ibnu Abdul Wahid Al-Maqdisi, menjadi seorang ulama. Jadi bersama dia dan juga anak pamannya, sepupunya ini, melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu dan umur keduanya hampir sama, saling menemani atau bersama dalam menghadiri majelis ilmu. Masing-masing ternyata memiliki kecenderungan. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi beliau cenderung kepada ilmu fikih, adapun sepupunya, Abdul Ghani Ibnu Abdul Wahid Al-Maqdisi, beliau cenderung kepada ilmu hadis, dan masing-masing saling mengambil faedah satu dengan yang lain.
Disebutkan dalam biografi beliau bahwasanya keduanya, karena fokus dalam belajar, sehingga mereka sangat sedikit berinteraksi dengan teman-temannya. Berbeda dengan teman-temannya yang lain yang mungkin masih banyak yang senang bermain, tapi keduanya dilihat oleh orang-orang yang ada di sekitarnya, ini orang yang fokus di dalam belajar agama sehingga mereka pun mencintai keduanya. Dan masing-masing mendapatkan ilmu yang luar biasa. Tinggal di kota Baghdad karena itu adalah tempat rihlah mereka yang pertama kali selama 4 tahun, dan mereka keluar dari Damaskus umur berapa tadi? Umur 20 tahun. Ketika di Baghdad bertemu dengan guru mereka yaitu Syekh Abdul Qadir Ibnu Abdillah Al-Jailani Al-Hambali dan sempat belajar dengan beliau, cuma قَدَّرَ اللهُ hanya sebentar. Setelah kedatangan keduanya, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani ini meninggal dunia. Kemudian mereka melanjutkan kepada Nashihuddin Abil Fath Hibatullah Ibnu Hasan Ad-Daqqaq dan juga ulama-ulama yang lain.
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, pengarang kitab لُمْعَةُ الْاِعْتِقَادِ ini, adalah alimnya negeri Syam di zamannya. Setelah beliau menuntut ilmu dan mencapai derajat yang tinggi di dalam keilmuan, dikenal beliau sebagai alimnya negeri Syam di zaman beliau. Bukan hanya dikenal dengan keilmuannya, tapi juga dikenal dengan waraknya, zuhudnya, ketakwaannya. Beliau memiliki sifat حِلْم, yaitu mudah memaafkan, tidak mudah marah. Waktu beliau semuanya digunakan untuk ilmu dan juga amalan. Dikenal Ibnu Qudamah Al-Maqdisi رَحِمَهُ اللهُ orang yang memiliki hujah yang kuat, sehingga ketika beliau berbicara dengan orang, berbicara tentang masalah fikih yang di situ terdapat khilaf, maka hampir-hampir beliau mengalahkan lawan bicaranya. Namun, itu semua disertai dengan adab. Diceritakan oleh murid beliau, Adh-Dhiya’ Al-Maqdisi, Muhammad bin Abdul Wahid, “Dahulu Al-Muwaffaq لَا يُنَاظِرُ أَحَدًا إِلَّا وَهُوَ يَتَبَسَّمُ.” Dahulu Al-Muwaffaq, yaitu Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, tidaklah beliau berbicara dengan seseorang, berdebat dengan seseorang, kecuali beliau tersenyum. Tidaklah berdebat kecuali beliau tersenyum. Ini adalah tentunya sesuatu yang sangat jarang. Biasanya orang kalau berdebat, berengut, ya, gimana dia menunjukkan hujahnya dan lain-lain untuk mungkin menutupi kelemahannya. Tapi kalau Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, beliau berdebat dan dia dalam keadaan tersenyum, menunjukkan bagaimana siapnya beliau, menunjukkan bagaimana beliau menguasai apa yang akan dibicarakan di dalam pertemuan tersebut.
Sampai ada seorang yang bernama Ibnu Fadlan Asy-Syafi’i dan dia dikenal sebagai orang yang tidak terkalahkan di dalam berdebat. Disebutkan bahwasanya Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, beliau sempat bermunazarah, berdebat dengan Ibnu Fadlan Asy-Syafi’i. Maksudnya di sini adalah bukan perdebatan antara ahlul bid’ah dengan ahlus sunnah, bukan. Maksudnya adalah mudzakarah satu dengan yang lain yang dikenal sebagai orang yang pandai di dalam bermunazarah. Ternyata di majelis tersebut, Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah berhasil memutuskan hujahnya, artinya tampak kebenaran dari lisan Ibnu Qudamah Al-Maqdisi.
Diceritakan di dalam biografi beliau bahwasanya Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, beliau duduk di hari Jumat itu setelah Jumat, beliau khususkan untuk munazarah. Di situlah berkumpul para fuqaha yang mereka datang dengan berbagai permasalahannya, berbagai hujahnya, maka beliau sediakan diri beliau setelah salat Jumat. Beliau sangat tawadhu, orang yang sangat penyayang kepada murid-muridnya. Terkadang sebagian guru mungkin karena ingin mentakdib, ingin memberikan pelajaran tentang adab dan seterusnya, beliau sering mengajak mereka ke rumah dan memakan apa yang beliau makan. Itu sering beliau lakukan. Pulang dari salat Isya, beliau ajak sebagian orang-orang fakir yang beliau lihat mereka adalah orang-orang yang membutuhkan, dan tentunya orang-orang seperti itu yang mungkin jarang makan yang enak atau mungkin ada di antara mereka yang saat itu belum makan, maka beliau ajak mereka sesuai dengan keadaan saat itu, kemudian makan bersama beliau di rumahnya. Jadi, beliau seorang ulama, memiliki ilmu, akan tetapi juga Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada beliau taufik untuk memiliki perhatian yang besar kepada orang lain.
Disebutkan oleh Adh-Dhiya’ Al-Maqdisi bahwasanya beliau adalah orang yang baik akhlaknya, tidaklah beliau melihat seseorang kecuali dalam keadaan tersenyum, menceritakan sebuah cerita, dan terkadang beliau juga bercanda dengan orang lain. Pernah suatu saat beliau dalam keadaan membaca atau dibacakan kepada beliau, diceritakan oleh sebagian muridnya, “Beliau bercanda kepada kami dan tersenyum.” Kemudian suatu saat pernah beliau berbicara atau mereka yang ada di sekitar beliau berbicara kepada beliau tentang anak-anak yang mereka bermain atau mengganggu orang lain di dalam pelajaran beliau, maka beliau mengatakan, هُمْ صِبْيَانٌ وَلَا بُدَّ لَهُمْ مِنَ اللَّغْوِ، وَأَنْتُمْ كُنْتُمْ مِثْلَهُمْ. Dengan sabarnya beliau mengatakan, “Mereka anak-anak, dan memang mereka suka bermain, dan kalian dulu juga seperti mereka.” Beliau juga seorang yang dermawan, akan tetapi beliau mendahulukan orang lain. Mungkin beliau lebih butuh daripada orang lain, tapi beliau lebih mendahulukan orang lain.
Disebutkan juga bahwasanya beliau ketika salat dalam keadaan khusyuk sekali, dan hampir-hampir beliau tidaklah melakukan salat sunah fajar dan salat sunah setelah magrib dan juga setelah isya kecuali di rumahnya. Kenapa demikian? Karena mengikuti sunah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Karena dahulu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melakukan salat-salat sunah rawatib di rumah beliau. Beliau tidak menyukai orang yang ingin mempelajari akidah dengan cara terlebih dahulu mempelajari ilmu kalam atau ilmu filsafat. Beliau tidak suka yang demikian karena memang yang namanya akidah itu diambil dari Al-Qur’an dan juga hadis, bukan dari ilmu filsafat atau ilmu kalam. Beliau di atas akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah di dalam masalah nama dan juga sifat Allah dan permasalahan-permasalahan akidah yang lain.
Beliau رَحِمَهُ اللهُ menikah dengan putri dari paman beliau. Darinya lahir Isa, Muhammad, Yahya, Sofiah, dan Fatimah. Beliau juga sempat memiliki seorang budak wanita, sebagaimana yang tadi disebutkan, yang dia mengganggu dan menyakiti beliau, akan tetapi tidak pernah beliau menyakiti budak wanita tersebut. Ada beberapa anak-anak beliau yang meninggal dunia ketika beliau masih hidup, seperti Muhammad, Yahya, dan juga Isa. Beliau meninggal dunia رَحِمَهُ اللهُ di hari Sabtu ketika hari raya Idul Fitri pada tahun 620 Hijriah. Saat itu, yang menghadiri jenazah beliau sangat banyak.
Beliau رَحِمَهُ اللهُ telah menimba ilmu dari banyak ulama, di antaranya adalah seperti tadi Abdul Qadir Al-Jailani, kemudian sebelumnya adalah bapak beliau, Ahmad ibn Muhammad, ini juga termasuk guru beliau, kemudian juga Ibnul Jauzi. Beliau telah meninggalkan banyak karangan yang sangat bermanfaat sampai hari ini, baik dalam masalah fikih, kemudian akidah, maupun أَنْسَاب. Termasuk di antaranya adalah الْمُغْنِي Syarah Mukhtasar Al-Khiraqi, yang sampai sekarang menjadi rujukan bagi para ulama dalam masalah fikih karena di situ beliau رَحِمَهُ اللهُ menyebutkan permasalahan dan disebutkan di situ khilaf para ulama. Ini adalah mazhab Hambali, ini mazhab Syafi’i, mazhab Maliki, disebutkan pendapat mereka dan juga dalil-dalil serta alasan mereka. Kemudian juga رَوْضَةُ النَّاظِرِ وَجَنَّةُ الْمَنَاظِرِ dalam masalah أُصُولُ الْفِقْهِ, yang juga menjadi kurikulum di berbagai lembaga, berbagai sekolah, bahkan di Jami’ah Islamiyah di Madinah, ini juga menggunakan kitab ini untuk pelajaran ushul fiqh. الْكَافِي الْمُقْنِعُ juga di dalam masalah fikih. Beliau juga memiliki kitab ذَمُّ التَّأْوِيلِ ini masalah akidah, celaan mentakwil. Kemudian juga celaan orang-orang tasawuf di mana mereka menggunakan nyanyian dan juga tarian untuk beribadah kepada Allah. Kemudian juga mengarang kitab ذَمُّ الْوَسْوَاسِ, kemudian مَسْأَلَةُ الْعُلُوِّ, dan juga لُمْعَةُ الْاِعْتِقَادِ yang insyaallah akan kita pelajari bersama. Itu adalah peninggalan-peninggalan beliau رَحِمَهُ اللهُ, dan kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan kita untuk mempelajari kitab beliau ini. Dari sini kita tahu bahwa ini adalah kitab yang agung, kitab yang sangat bermanfaat, ditulis bukan sembarang orang. Ini ditulis oleh seorang ulama di antara ulama-ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tentunya berbeda ya, kita mempelajari sebuah kitab yang ditulis oleh seorang ulama besar, imam yang besar, dengan seseorang yang tidak kita kenal atau mungkin ustaz yang ada di sekitar kita.
Sebelum kita membahas kitab ini, kita ingin menyebutkan terlebih dahulu tentang لُمْعَةُ الْاِعْتِقَادِ. Kenapa dinamakan dengan لُمْعَةُ الْاِعْتِقَادِ dan apa yang akan disampaikan oleh beliau di dalam kitab ini? Lum’ah itu artinya adalah kilatan, kilatan cahaya. Al-i’tiqad artinya adalah akidah. Berarti لُمْعَةُ الْاِعْتِقَادِ artinya adalah kilatan cahaya akidah. Kenapa dinamakan demikian? Karena akidah ini memberikan pencerahan, dia menerangi karena dia diambil dari sumber yang benar. Berbeda dengan akidah yang diambil dari sumber yang tidak sahih, maka tentunya itu justru akan menjadikan gelap kehidupan seseorang, menjadikan gelap nasib seseorang. Beliau namakan kitabnya dengan لُمْعَةُ الْاِعْتِقَادِ karena inilah, yaitu akidah yang sahihah, inilah yang akan menerangi, inilah yang akan memberikan cahaya bagi kehidupan seseorang. الْهَادِي إِلَى سَبِيلِ الرَّشَادِ, akidah tersebut itulah yang akan memberikan petunjuk kepada jalan yang lurus. Karena akidah yang sahihah itulah yang akan menunjukkan seseorang kepada jalan yang lurus, jalan yang setiap hari kita meminta kepada Allah di dalam salat kita, اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (“Tunjukilah, ya Allah, kami jalan yang lurus”). Dan tidak mungkin seseorang bisa mendapatkan jalan yang lurus tadi kecuali apabila dia mempelajari akidah yang lurus. Nabi Isa ‘alaihissalam ketika beliau berdakwah kepada kaumnya, Bani Israil, mengatakan:
إِنَّ اللَّهَ هُوَ رَبِّي وَرَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ، هَذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ
“Sesungguhnya Allah, Dia adalah Rabb-ku dan Rabb kalian, maka hendaklah kalian menyembah hanya kepada Allah.” Mengajak mereka untuk bertauhid, dan tauhid ini adalah inti dari akidah. “Ini adalah jalan yang lurus.” Artinya, seseorang yang ingin mengenal jalan yang lurus, ingin mendapatkan hidayah kepada jalan yang lurus, maka hendaklah dia mengenal akidah yang sahihah. Maka beliau memberi judul kitab ini dengan لُمْعَةُ الْاِعْتِقَادِ, kilatan cahaya akidah yang bisa menunjukkan seseorang kepada jalan yang lurus. Semoga kita benar-benar bisa mengambil faedah dari kitab ini yang menjadi sebab kita mengenal الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ, menjadikan kita mengenal jalan yang lurus yang membawa kita kepada Allah dan juga kepada surga-Nya.
Apa isi dari kitab ini? Pertama, yang ingin beliau sampaikan adalah tentang kewajiban beriman dengan seluruh apa yang ada di dalam Al-Qur’an dan apa yang sahih di dalam hadis-hadis Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berupa sifat-sifat Allah. Poinnya yang pertama adalah beliau ingin sampaikan wajibnya kita beriman dengan seluruh apa yang ada di dalam Al-Qur’an maupun hadis yang berupa sifat-sifat Allah. Beliau akan datangkan ucapan Al-Imam Ahmad, ucapan Al-Imam Asy-Syafi’i, ucapan Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Al-Auza’i. Kemudian beliau akan menyebutkan di antara sifat-sifat tersebut dan beliau sebutkan dalilnya dari Al-Qur’an maupun hadis Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Karena masalah sifat-sifat Allah ini berkaitan dengan beriman kepada Allah. Bapak Ibu sekalian yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, inti dari akidah kita, akidah Islamiah, itu pada rukun iman yang enam. Intinya adalah pada rukun iman yang enam. Maka akan kita dapatkan di dalam kitab-kitab akidah, pembahasannya tidak keluar dari rukun iman yang enam tersebut, pasti ada hubungannya dengan rukun iman yang enam. Dan biasanya mereka mulai dengan membahas keyakinan-keyakinan yang berkaitan dengan rukun iman yang pertama, yaitu rukun iman kepada Allah. Makanya beliau sebutkan di sini yang pertama kali sebelum yang lain adalah berkaitan dengan sifat-sifat Allah, dan kewajiban kita adalah menetapkan sifat-sifat Allah baik yang ada di dalam Al-Qur’an maupun dalam hadis-hadis yang sahih.
Beliau juga akan menyebutkan bahwasanya di antara sifat Allah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara, dan bahwasanya Al-Qur’an adalah termasuk ucapan Allah. Beliau akan sebutkan bahwasanya Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini orang-orang yang beriman di hari kiamat akan melihat Allah ‘Azza wa Jalla. Juga akan beliau sebutkan tentang bagaimana akidah ahlus sunnah di dalam masalah takdir, di dalam masalah iman, bahwasanya iman adalah ucapan dan juga perbuatan. Beliau akan sebutkan juga bahwasanya di antara akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah meyakini Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sebagai penutup para nabi. Jadi, kalau kita lihat di dalam kitab beliau ini, ini adalah kitab yang singkat akan tetapi di dalamnya disebutkan permasalahan-permasalahan yang penting, akidah yang membedakan antara Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan selain mereka. Beliau juga menyebutkan di sini tentang bagaimana keyakinan ahlus sunnah terhadap para sahabat Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, tentang para Khulafaur Rasyidin. Ini semua masuk di dalam pembahasan bahwasanya Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah penutup para nabi. Insyaallah akan kita pelajari biiznillah secara pelan-pelan dan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan kita.
Sebelum kita tutup, mungkin ada pertanyaan dari para ikhwan dan juga para akhwat sekalian berkaitan dengan apa yang sudah kita sampaikan. Ya, silakan yang mau bertanya bisa menulis dan dikirimkan ke depan. Untuk pertanyaan pertama, bisa disampaikan dengan lisan sambil menunggu yang lain.
Tanya Jawab
Penanya: بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.
Ustadz: وَعَلَيْكُمُ السَّلَامُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.
Penanya: جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا kepada Ustaz untuk ilmunya. Izin bertanya, Ustaz. Tadi disebutkan bahwasanya Ibnu Qudamah ini kan merupakan fokus takhasus di fikih, Ustaz. Namun, beliau juga menulis kitab tentang akidah. Mungkin bisa dijelaskan, Ustaz, seperti apa kelebihan dari fuqaha atau ahli fikih dalam menulis kitab akidah, Ustaz? Mungkin dalam kitab ini ada corak atau ciri seperti apa yang membedakan dengan memang orang yang fokus pada ushuluddin, Ustaz? بَارَكَ اللهُ فِيكُمْ.
Ustadz: Ya, بَارَكَ اللهُ فِيكُمْ ayyuhal ikhwah. Beliau رَحِمَهُ اللهُ adalah seorang ahli fikih. Namun, jangan kita pahami bahwasanya ketika seorang imam dikenal sebagai ahli fikih atau ahli tafsir atau ahli hadis, kemudian dia tidak memahami atau tidak menjelaskan tentang masalah akidah. Masalah akidah, semua imam kita itu sudah mereka pelajari sebelum mereka memperluas keilmuan mereka di dalam bidang yang lain, sama dengan yang kita lakukan sekarang, mereka terlebih dahulu belajar tentang masalah akidah. Jadi, masing-masing mereka bisa menjelaskan tentang akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tapi terkadang mereka memiliki kelebihan dalam satu cabang ilmu sehingga dikenal dengan cabang ilmu tersebut.
Seperti di zaman sekarang, kita mengenal sebagian asatizah kita itu ahli dalam bidang muamalah, ada sebagian yang lain dalam ushul fikih, sebagian yang lain dalam kekeluargaan, sebagian yang lain dalam fikih, dan seterusnya. Jangan kita menyangka bahwasanya mereka tidak bisa mengajar akidah. Semuanya bisa sebenarnya, ya, cuma terkadang mereka punya kecenderungan dalam satu bidang ilmu dan terkadang dari pihak murid-muridnya inginnya beliau berbicara, inginnya beliau menjelaskan tentang permasalahan atau bidang yang selama ini mereka kenal beliau ahli di dalam bidang tersebut. Sehingga hampir muhadharah-muhadharah beliau ya dalam keahlian tadi, padahal sebenarnya beliau pun juga bisa mengajar akidah, juga bisa mengajar bidang yang lain. Nah, ini yang perlu kita pahami. Dan وَاللهُ أَعْلَمُ, kita tidak melihat di dalam kitab beliau, لُمْعَةُ الْاِعْتِقَادِ ini, ada corak yang khusus karena dikarang oleh seorang ahli fikih kemudian berbeda dengan yang lain. وَاللهُ أَعْلَمُ, saya tidak melihat yang demikian.
Baik, cukup. بَارَكَ اللهُ فِيكُمْ. Insyaallah kita lanjutkan pada kesempatan yang akan datang. Dan kita berharap tentunya antum bisa datang pada kesempatan yang setelahnya dengan membawa kitab, ya, entah yang terjemahan atau yang berbahasa Arab, atau minimal membawa buku tulis untuk mencatat.
بَارَكَ اللهُ فِيكُمْ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ.
وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.