الْحَمْدُ لِلَّهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى خَيْرِ خَلْقِ اللهِ، مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ.
Ikhwati wa akhwati fillah a’azzakumullah warahimakum. Kita lanjutkan kajian kaidah fikih kita pada sesi yang ketiga di hari yang kedua. Tadi kita berhenti pada kaidah “لَا مُحَرَّمَ مَعَ اضْطِرَارٍ“. Kita ulangi dari makna idtirar atau darurah.
Syekh Abdus Salam Asy-Syu’air hafidzahullah mengatakan, idtirar adalah adanya suatu kondisi yang mendesak (amrun qahirun), yang bukan karena perbuatan orang lain. Karena jika kondisi mendesak itu disebabkan oleh orang lain, maka namanya ikrah (paksaan), bukan darurah. Walaupun dalam banyak hukum, hukum idtirar dan ikrah itu sama, namun tidak dalam semua hukum.
Kondisi mendesak adalah suatu kondisi yang membuat seseorang tidak bisa melakukan perintah syariat atau tidak bisa meninggalkan apa yang dilarang. Kondisi darurat inilah yang membolehkan semua yang diharamkan. Allah berfirman, “إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ” (Kecuali yang kalian terdesak padanya). Maka ini adalah pengecualian (istitsna’) yang ada di dalam Al-Qur’an, sehingga kaidah ini diambil dari Al-Qur’an.
Contoh:
- Siapa yang terdesak harus memakan bangkai, maka boleh baginya memakannya.
- Siapa yang dalam kondisi darurat harus menggunakan najis, maka boleh baginya menggunakannya.
- Siapa yang dalam kondisi darurat harus minum khamar, maka boleh baginya meminumnya.
Akan tetapi, para ulama mengatakan bahwa kondisi darurat yang membolehkan minum khamar itu hanya ketika untuk mendorong makanan yang tersangkut di tenggorokan (ghussah), bukan karena haus (‘atsy). Kenapa? Karena khamar tidak bisa menghilangkan dahaga, bahkan menambah haus.
Namun, ada pengecualian yang disebutkan oleh para ulama, di mana sesuatu yang haram tetap tidak boleh dilakukan meskipun dalam kondisi darurat. Di antaranya:
- Amalan Hati (Keimanan): Seseorang yang dipaksa untuk kufur, boleh ia mengucapkan kata kufur dengan syarat hatinya tetap tenang dalam keimanan, sebagaimana firman Allah: “إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ“. Ini boleh, tapi tidak wajib, seperti yang dicontohkan oleh Bilal bin Rabah yang tetap teguh.
- Zina: Jumhur ulama berpendapat zina tidak dibolehkan walaupun dalam kondisi darurat atau dipaksa. Siapapun yang melakukannya akan ditegakkan hukuman had.
- Membunuh: Tidak boleh membunuh orang lain meskipun diancam akan dibunuh. Apa yang membuat nyawa kita lebih berharga dari nyawa orang lain?
Para ulama juga memberikan syarat kapan kondisi darurat itu menghalalkan yang haram:
- Mudaratnya Pasti Terjadi (Tahaqquq ad-dharar): Bukan hanya kekhawatiran, tapi sudah pasti di depan mata.
- Perkara Haram Itu Bisa Menghilangkan Mudarat: Seperti khamar yang tidak bisa menghilangkan haus, maka tidak boleh diminum saat kehausan.
- Tidak Ada Pilihan Lain yang Halal: Perkara haram itu menjadi satu-satunya pilihan.
Syarah Bait Kelima Belas (Kaidah Pengikat)
Syekh As-Sa’di rahimahullah berkata:
وَكُلُّ مَحْظُورٍ مَعَ الضَّرُورَةِ … بِقَدْرِ مَا تَحْتَاجُهُ الضَّرُورَةُ
(Dan setiap yang terlarang bersamaan dengan kondisi darurat, diukur sesuai kadar yang dibutuhkan oleh darurat tersebut).
Kaidah ini menjadi pengikat atau syarat untuk kaidah sebelumnya (لَا مُحَرَّمَ مَعَ اضْطِرَارٍ). Artinya, kebolehan melakukan yang haram saat darurat itu dibatasi sesuai dengan kadar kebutuhannya saja (تُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا), tidak boleh berlebihan.
Contohnya, makan bangkai hanya sebatas untuk menghilangkan lapar dan bisa bertahan hidup, bukan sampai kenyang. Contoh lain, menurut pendapat masyhur di kalangan Hanabilah, orang yang terpaksa salat di tempat najis (misalnya dikurung di kamar mandi yang najis), ia hanya boleh salat fardu saja, tidak boleh salat sunah. Karena daruratnya adalah untuk salat wajib. Namun, ada riwayat lain dalam mazhab Ahmad yang membolehkannya salat sunah juga, berdalil dengan “فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ” (Bertakwalah kepada Allah semampu kalian).
Syarah Bait Keenam Belas (Kaidah Keyakinan)
Syekh An-Nazhim rahimahullah berkata:
وَتَرْجِعُ الْأَحْكَامُ لِلْيَقِينِ … فَلَا يُزِيلُ الشَّكُّ لِلْيَقِينِ
(Dan hukum-hukum itu dikembalikan kepada keyakinan, maka keraguan tidak bisa menghilangkan keyakinan).
Ini adalah salah satu kaidah yang sangat penting, yaitu “الْيَقِينُ لَا يَزُولُ بِالشَّكِّ” (Sesuatu yang kita yakini tidak bisa hilang karena keraguan). Kaidah ini diambil dari hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang orang yang was-was saat salat, “فَلَا يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا” (Janganlah ia batalkan salatnya sampai ia mendengar suara atau mencium aroma).
Dari hadis ini, puluhan kasus bisa diselesaikan. Contohnya, wudu tidak batal bagi orang yang ragu apakah keluar kencing darinya atau tidak, sampai ia yakin. Kaidah ini adalah kaidah umum yang mencakup semua bab fikih. Para ulama fikih mengatakan ini adalah dalil asal (dalilun ushuliyyun) yang juga disebut dengan istishab, yaitu berpegang pada hukum asal sampai ada dalil yang memindahkannya.
Apa yang bisa menghilangkan keyakinan?
Para ulama berbeda pendapat.
- Pendapat Jumhur (Mayoritas): Yang bisa menghilangkan keyakinan (yaqin – 100%) hanyalah keyakinan yang semisalnya. Keraguan (syakk) dalam konteks ini mencakup zhann (dugaan), ghalabatuz-zhan (dugaan kuat), dan syakk murni (50:50). Semuanya tidak bisa menghilangkan keyakinan.
- Pendapat Kedua (dipilih Ibnu Taimiyah): Keyakinan bisa hilang dengan keyakinan yang serupa atau dengan ghalabatuz-zhan (praduga kuat, 70-90%). Dalilnya adalah hadis lain tentang orang yang ragu dalam salat, di mana Nabi bersabda, “فَلْيَتَحَرَّ” (hendaknya ia berusaha mencari tahu mana yang paling mendekati kebenaran) dan membangun salatnya di atas praduga kuatnya.
Syarah Bait Ketujuh Belas (Cabang dari Kaidah Keyakinan)
وَالْأَصْلُ فِي مِيَاهِنَا الطَّهَارَةُ … وَالْأَرْضِ وَالثِّيَابِ وَالْحِجَارَةِ
(Dan hukum asal pada air kita adalah kesucian, juga pada tanah, pakaian, dan bebatuan).
Ini adalah cabang dari kaidah “الْيَقِينُ لَا يَزُولُ بِالشَّكِّ“, yang membahas tentang hukum asal.
- Hukum Asal Air adalah Suci: Kaidah ini diambil dari hadis tentang sumur Bida’ah, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “إِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ” (Sesungguhnya air itu suci dan menyucikan, tidak ada sesuatu pun yang menajiskannya). Hadis ini dikuatkan oleh ijma’ ulama bahwa air baru menjadi najis “إِلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ أَوْ طَعْمِهِ أَوْ لَوْنِهِ” (kecuali jika najis itu mengubah aroma, rasa, atau warnanya). Maka, hukum asal air adalah suci sampai kita yakin ia berubah menjadi najis.
- Hukum Asal Tanah adalah Suci: Kita membutuhkan kesucian tanah dalam satu ibadah, yaitu salat. Tempat yang wajib dipastikan suci adalah bagian yang menyentuh badan atau pakaian kita saat salat. Jika ada najis di tanah tapi tidak mengenai kita, salat tetap sah. Hukum asal tanah adalah suci sampai kita yakin ada najis di atasnya, baik dengan melihatnya, bekasnya, atau mencium baunya.
(Pembahasan hukum asal pakaian dan bebatuan akan dibahas besok, insyaallah).