Daurah Qawaid Fikih: Peta Umum Panduan Ber’amal – Sesi 02


…عَلَى رَسُولِنَا الْمُصْطَفَى وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اهْتَدَى. اللَّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، اللَّهُمَّ ارْزُقْنَا الْإِخْلَاصَ فِي أَقْوَالِنَا وَأَعْمَالِنَا يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ.

Ikhwati wa akhwati fillah, a’azzakumullah. Alhamdulillah, pada pagi hari ini Allah Subhanahu wa Ta’ala mudahkan kita dan Allah izinkan kita untuk bisa bermajelis ilmu di salah satu rumah-Nya. Kita duduk di sini untuk mempelajari salah satu cabang ilmu di daurah YPI ini. Daurah ilmiyah kali ini membahas qawa’id al-fiqhiyyah, yaitu ilmu kaidah-kaidah fikih.

Metode kita pada daurah kali ini adalah membaca kitab syarah Manzumah Qawaid Fiqhiyyah. Kitab matannya adalah karya Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah, dan kita akan baca syarahnya dari Syekh Abdus Salam Asy-Syu’air hafidzahullahu ta’ala, karena syarahnya sudah cukup lengkap. Jadi, insyaallah metode kita hanya membaca, menerjemahkan, lalu menyimpulkan, kecuali nanti ada beberapa pembahasan yang mungkin perlu tambahan penjelasan saja.

Kitab syarah ini aslinya adalah transkrip dari kajian Syekh Abdus Salam Asy-Syu’air dalam mensyarah matan Manzumah Qawaid Fiqhiyyah ini. Oleh karenanya, mungkin nanti di beberapa kata akan ada kesalahan. Jadi, tolong nanti antum benarkan, kita coba sama-sama fokus di sini, kita perhatikan katanya satu demi satu.

Maka, ana minta kepada antum semuanya untuk meluruskan niat, jujur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “مَنْ صَدَقَ اللهَ صَدَقَهُ اللهُ” (Siapa yang jujur kepada Allah, maka Allah akan berikan apa yang dia inginkan). Hadirkan rasa bahwasanya kita sekarang ini sedang bermuamalah dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalau seandainya orang di luar sana bisa berjam-jam duduk, bahkan berdiri untuk nonton konser, atau berjam-jam nonton film yang dia sukai, atau berjam-jam duduk main game online, mereka tidak mengantuk. Mereka bisa tahan, bisa sabar, bahkan ada yang tidak tidur malam gara-gara itu. Hal itu kita tahu tidak ada manfaatnya sama sekali. Maka, kita harusnya lebih dari itu. Kita harus bersabar, kita harus bertahan, karena kita tahu bahwasanya apa yang kita lakukan ini, kalau kita ikhlaskan niat kita karena Allah, maka itu akan menjadi sebab kebahagiaan kita kelak ketika kita bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka, tahan-tahan, sabar. Hadirkan niat, hadirkan rasa Allah Subhanahu wa Ta’ala sedang melihat kita. Usahakanlah setiap kali Allah melihat kita, kita sedang berada dalam kondisi yang dicintai oleh-Nya.


Ikhwatal iman a’azzakumullah, kita langsung masuk ke pembahasannya dari mukadimah Syekh Abdus Salam Asy-Syu’air hafidzahullahu ta’ala. Mungkin sedikit perkenalan tentang beliau. Syekh Abdus Salam Asy-Syu’air adalah salah satu ulama kontemporer yang fokus dalam kajian-kajiannya membahas matan-matan Hanabilah (mazhab Hambali). Jadi, kalau antum ingin belajar lebih dalam tentang mazhab Hambali, bisa mendengarkan kajian-kajian beliau di YouTube, banyak juga yang ditranskrip. Beliau termasuk salah satu ulama yang memperhatikan tahrir mazhab Hambali. Ketika beliau mensyarah, beliau katakan, “Ini mazhab, ini pendapat lemah, ini riwayat kedua dari mazhab,” misalnya. Jadi kalau kita ingin paham mazhab Hambali di awal-awal, bisa mendengarkan kajian beliau. Beliau juga banyak membahas tentang tazkiyatun nufus dan memberi nasihat untuk para penuntut ilmu.

Beliau mengatakan:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ. الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.

ثُمَّ أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّنَا فِي هَذَا الْيَوْمِ بِمَشِيئَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي هَذِهِ السُّوَيْعَاتِ…

(Sesuai dengan kehendak Allah, kita pada hari ini فِي هَذِهِ السُّوَيْعَاتِ). Suwai’at adalah bentuk tasghir (kecil) dari sa’ah (waktu), jadi artinya “dalam waktu yang singkat ini”.

…نَجْتَمِعُ لِقِرَاءَةِ وَمُذَاكَرَةِ نَظْمٍ لَطِيفَةٍ.

(Kita berkumpul untuk membaca dan mempelajari nazam yang berharga). Kitab ilmu itu ada yang berbentuk manzumah (syair/nazham) dan ada yang berbentuk mansurah atau nathr (prosa biasa), seperti Tsalatsatul Ushul atau Lubabut Tahrir. Yang akan kita pelajari ini adalah nazam.

…الَّتِي أَلَّفَهَا الشَّيْخُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ نَاصِرٍ السَّعْدِيُّ.

(Karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah). Kita tahu beliau adalah gurunya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Ada ulama mengatakan, kalaulah Syekh As-Sa’di ini tidak punya kelebihan kecuali punya murid seperti Syekh Ibnu Utsaimin, itu sudah cukup.

…وَالَّتِي لَا تَتَجَاوَزُ خَمْسِينَ بَيْتًا.

(Yang mana bait syairnya tidak lebih dari 50 bait, hanya 49).

…وَقَدْ حَوَتْ مَعَ مُقَدِّمَتِهَا نَحْوًا مِنْ أَرْبَعِينَ قَاعِدَةً. الْأَغْلَبُ عَلَى هَذِهِ الْقَوَاعِدِ أَنَّهَا قَوَاعِدُ فِقْهِيَّةٌ.

(Dalam syair ini, beliau membawakan kira-kira 40 kaidah, yang mana mayoritasnya adalah kaidah fikih). Berarti tidak semuanya kaidah fikih. Manzumah ini bagus sekali karena mengumpulkan kaidah-kaidah yang sangat penting. Tapi beliau tidak memasukkan semua kaidah, karena para ulama mengatakan kaidah fikih itu banyak sekali, bahkan ada yang mengatakan unlimited.

Karena kaidah fikih ini, jika engkau ingin mengetahui maksudnya, engkau harus tahu bagian-bagiannya. Karena mengetahui bagian-bagian dan macam-macam dari sesuatu akan membuatmu menguasai semua gambaran masalahnya. Cara yang paling detail untuk bisa mendapatkan gambaran dari satu permasalahan adalah dengan mengetahui bentuk-bentuk dan jenis-jenisnya. Ini adalah metodenya para ulama fikih (fuqaha). Syekh Taqiyuddin (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) menjelaskan bahwa cara fuqaha ini lebih detail dan lebih jelas daripada metodenya ahli mantik (ahlul mantiq). Ahli mantik mendefinisikan sesuatu dengan definisi (ta’rif). Manusia menurut mereka adalah “حَيَوَانٌ نَاطِقٌ” (makhluk hidup yang berakal), mereka fokus pada definisi.

Sehingga dalam hidupmu, ketika engkau ingin mengetahui suatu masalah dengan baik, berusahalah untuk memahami segala jenis dan turunannya. Bertambahnya ilmu kita dengan pembagian-pembagian dan jenis-jenis dari sesuatu, akan membuat kita lebih mengerti pembahasan itu dengan lebih simpel. Contohnya, “Apa itu salat?” Mending langsung ditunjukkan cara salat, selesai. Orang akan lebih paham daripada didefinisikan.


Pembagian Kaidah Fikih

Beliau mengatakan, kaidah fikih itu terbagi menjadi dua bagian:

Pembagian Pertama: Ditinjau dari Sisi Pengambilannya

  1. Diambil Langsung dari Teks Syariat: Kaidah yang diambil langsung dari teks Al-Qur’an atau Sunnah. Kebanyakannya diambil dari hadis, contohnya: “إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ“. Sebagian ulama menjadikannya langsung sebagai kaidah. Sebagian lain menyimpulkan hukumnya menjadi kaidah, seperti “الْأُمُورُ بِمَقَاصِدِهَا“. Contoh lain adalah “الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ” dan “لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ“.
  2. Diambil Berdasarkan Istiqra’ (Penelitian/Penelaahan): Kaidah yang disimpulkan setelah menelaah banyak hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah. Para ulama mengumpulkan masalah-masalah yang sebab hukumnya (manath al-hukm) sama, lalu membuat sebuah kaidah. Contohnya: “الْيَقِينُ لَا يَزُولُ بِالشَّكِّ“. Tidak ada teks hadis yang persis seperti ini, tapi banyak hukum (seperti dalam masalah wudu dan jumlah rakaat salat) yang menunjukkan makna ini. Istiqra’ adalah salah satu bentuk dalil.

Pembagian Kedua: Ditinjau dari Sisi Cakupannya

  1. Kaidah Syamilah (Mencakup Seluruh Bab Fikih): Ini adalah Al-Qawa’id Al-Kubra (Kaidah-kaidah Besar) yang berhubungan dengan semua bab fikih. Jumlahnya diperselisihkan, ada yang mengatakan empat, lima, atau enam. Lima yang masyhur adalah:
    • الْأُمُورُ بِمَقَاصِدِهَا
    • الْيَقِينُ لَا يَزُولُ بِالشَّكِّ
    • الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيرَ
    • الضَّرَرُ يُزَالُ
    • الْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
  2. Kaidah Juz’iyyah (Berkaitan dengan Satu Bab atau Beberapa Bab Saja): Kaidah yang lebih khusus. Jika kaidah juz’iyyah ini bertentangan dengan kaidah umum, maka kaidah juz’iyyah lebih didahulukan.

Peringatan Penting

Syekh mengingatkan, jangan sampai ada yang mengira bahwa dengan memahami lima kaidah besar saja sudah bisa berfatwa. Beliau mengatakan ini adalah puncak kebodohan. Bahkan para ulama menyatakan, orang yang sudah menguasai ushul fiqh dan qawa’id fiqhiyyah pun tidak boleh berfatwa sampai ia mengerti rincian-rincian masalah fikih (furu’) dan dalil-dalilnya. Kaidah fikih adalah salah satu dalil, tapi tidak bisa berdiri sendiri. Mempelajari fikih sama pentingnya, bahkan bisa jadi lebih penting, daripada mempelajari kaidah fikih saja.

Beliau juga menjelaskan bahwa kaidah fikih sudah ada sejak zaman sahabat, meskipun belum dituliskan secara sistematis. Buktinya bisa ditemukan dalam kitab-kitab fikih klasik. Kaidah fikih ini sangat banyak, jauh lebih banyak dari yang ada di kitab ini, dan kebanyakannya bersifat aghlabiyyah (berlaku untuk mayoritas kasus), sehingga sering ada pengecualiannya.


Tentang Kitab Manzumah

Qasidah atau manzumah yang ada di hadapan kita ini dikarang oleh Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di pada tahun 1331 Hijriah, ketika beliau berumur 24 tahun. Di tahun yang sama, beliau juga menulis syarah (penjelasan) untuk manzumah tersebut. Beliau sendiri mengakui bahwa karena manzumah ini ditulis di awal-awal masa kepenulisannya, mungkin terdapat beberapa kekeliruan. Hal ini menunjukkan pentingnya bagi setiap orang untuk terus memurajaah kembali apa yang pernah ia tulis, karena seiring bertambahnya umur, bertambah pula pengalaman dan ilmu. Ini juga mengajarkan kita bahwa setiap orang perkataannya bisa diterima dan bisa ditolak, kecuali Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik dan Imam Ahmad.


Syarah Bait Pertama

الْحَمْدُ لِلَّهِ الْعَلِيِّ الْأَرْفَقِ … وَجَامِعِ الْأَشْيَاءِ وَالْمُفَرِّقِ

ذِي النِّعَمِ الْوَاسِعَةِ الْغَزِيرَةِ … وَالْحِكَمِ الْبَاهِرَةِ الْكَثِيرَةِ

Syekh As-Sa’di memulai dengan tahmid (pujian kepada Allah), dan ini adalah sunah dalam menulis. Beliau membawakan dua nama Allah: الْعَلِيِّ dan الْأَرْفَقِ.

  • Al-‘Ali (Maha Tinggi): Allah sendiri yang menamakan diri-Nya dengan nama ini. Ketinggian Allah mencakup ketinggian qadar (kemuliaan), qahar (kekuasaan), dan dzat (zat-Nya di atas seluruh makhluk). Nama ini menjadi isyarat bahwa orang yang mempelajari ilmu, derajatnya akan diangkat oleh Allah.
  • Al-Arfaq: Ini adalah sifat Allah, yaitu rifq (kelembutan). Para ulama berbeda pendapat apakah boleh mengambil nama Allah dari sifat-Nya. Yang lebih hati-hati adalah tidak melakukannya, karena nama-nama Allah bersifat tauqifiyyah (berdasarkan dalil).

Perkataan Syekh, “وَجَامِعِ الْأَشْيَاءِ وَالْمُفَرِّقِ” (Yang mengumpulkan segala sesuatu dan memisahkannya) adalah sebuah bara’atul istihlal, yaitu isyarat di mukadimah tentang apa yang akan dibahas. Inilah hakikat kaidah fikih: mengumpulkan hal-hal yang serupa (al-asybah wan nadhair) dan membedakan hal-hal yang berbeda. Dalam syariat tidak ada pertentangan. Ciri khas syariat kita adalah hukum-hukum yang sama diikat dengan sebab hukum (manath) yang sama. Kesempurnaan syariat adalah menyamakan hal yang sama dan membedakan hal yang berbeda.

Contohnya, syariat menjadikan sepertiga (⅓) sebagai batasan antara sedikit dan banyak dalam banyak masalah, seperti dalam wasiat. Adapun seperempat (¼), seperti yang digunakan Mazhab Hanafi dalam beberapa masalah (seperti mengusap kepala saat wudu), tidak menjadi kebiasaan syariat dalam menakar.

Jadi, جَامِعِ الْأَشْيَاءِ (mengumpulkan sesuatu) maksudnya adalah mengumpulkan masalah-masalah dalam satu sebab hukum yang sama, dan itulah yang menjadi kaidah. Sedangkan الْمُفَرِّقِ (memisahkan) maksudnya adalah membedakan antara hukum-hukum. Pembedaan ini ada dua:

  1. Beda karena Beda Manath (Sebab Hukum): Sebagian orang mungkin merasa dua masalah itu mirip, padahal sebab hukumnya berbeda. Contohnya, hukum salat sunah (boleh di atas kendaraan) tidak bisa disamakan dengan salat wajib, karena manath-nya berbeda. Begitu pula ibadah fisik (badaniyyah) tidak bisa diwakilkan, berbeda dengan ibadah harta (maliyyah).
  2. Beda karena Istitsna’ (Pengecualian): Sebuah kasus dikecualikan dari kaidah umumnya karena ada dalil khusus. Inilah yang disebut istihsan yang dibolehkan, yaitu istihsan yang berlandaskan dalil. Imam Syafi’i dan Ahmad mencela istihsan tanpa dalil, tetapi mengamalkan istihsan yang memiliki dalil. Contohnya, orang yang hadir di majelis ilmu tanpa niat belajar tetap diampuni dosanya, ini adalah pengecualian dari kaidah “الْأُمُورُ بِمَقَاصِدِهَا” berdasarkan dalil khusus.

Kita istirahat dulu, nanti kita lanjutkan di sesi berikutnya.


#Prolog

Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ’anhu. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara langsung dengan melenyapkan ilmu itu dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan orang berilmu lagi, orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.’” (HR. Bukhari)

Sumber: https://muslim.or.id/93486-malapetaka-akhir-zaman.html
Copyright © 2025 muslim.or.id