Kajian Kitab Umdatul Ahkam – 33, Dr. Emha Hasan Ayatullah, M.A


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَبِهِ نَسْتَعِينُ عَلَى أُمُورِ الدُّنْيَا وَالدِّينِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِينَ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً، وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ، إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ، وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.

Amma ba’du.

Ikhwah sekalian, semoga Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan kita orang-orang yang ikhlas, menerima amal ibadah kita, dan memperbaikinya. Beberapa pelajaran yang bisa kita rasakan dari bulan Ramadan adalah ketika di bulan itu kita ternyata bisa salat dengan bacaan yang panjang, salat yang lebih khusyuk, dan kita bisa berpuasa. Kadang-kadang, kita akan menjalani aktivitas harian dengan bayang-bayang Ramadan, “Bisa apa enggak?” Ternyata bisa. Kemudian, bisa juga membaca Al-Qur’an, bahkan sesuatu yang menghantui malam-malam kita setelah buka bersama adalah tarawihnya. Maka, terasa sekali ketika hari raya, kadang-kadang kita mau makan banyak tidak takut, tidak apa-apa, tidak ada tarawihnya.

Seseorang akan terlihat dari ibadahnya, apakah ibadah itu bisa istiqamah atau tidak. Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “بِئْسَ الْقَوْمُ لَا يَعْرِفُونَ رَبَّهُمْ إِلَّا فِي رَمَضَانَ” (Orang yang paling jelek adalah orang yang tidak kenal Allah kecuali di bulan Ramadan). Allah ‘Azza wa Jalla memberikan kesempatan pahala, pengampunan dosa, dan amal ibadah yang tidak khusus Ramadan. Kalau seandainya di bulan suci kita bisa salat 11 rakaat, maka setidaknya di luar bulan Ramadan kita juga bisa mengerjakannya, toh tidak terlalu berat, terutama kalau kita mencari yang kilat.

Kita sering mengatakan bahwa salat Witir sebelum tidur pun sah, dan para ulama mengatakan bukan hanya Witir, bahkan salat malamnya sebelum tidur pun sah. Bahkan seandainya kita akan kerjakan sekarang, kalau kita safar lalu kita jamak antara Magrib dan Isya, lalu kita salat malam langsung, bisa, tidak ada masalah. Hanya saja, itu semua dipengaruhi taufik dari Allah. Kadang, selesai dari bulan Ramadan, balik lagi terlambat-terlambatnya, cari masjid yang pendek meskipun harus jalan jauh, tidak masalah yang penting pendek dan cepat. Semoga kita mendapat keistiqamahan, ini yang paling penting.

Kita juga akan membahas masalah salat, dan kita merasakan bahwa ketidaktahuan kaum muslimin terhadap salat ini masih banyak. Termasuk di antaranya akan kita bahas, ketika seseorang menilai itu adalah hal yang biasa padahal ada ancamannya. Kita akan membahas, insyaallah, tiga hadis berkaitan dengan masalah imamah, atau adanya syariat menjadikan imam. Berarti kalau imam ini ada, maka yang lain menjadi makmum.

Saya pernah datang ke sini awal-awal, bukan di sini tapi di sekitar sini, saya cari masjid kok tidak ada orangnya. Mau jalan ke sini terlalu jauh karena tidak ada motor, akhirnya salat di rumah. Jadi yang kita sebutkan ada masjid tutup itu bukan cerita omong kosong, memang betul ada. Kalau sudah tidak Ramadan, biasanya masjid menjadi kosong, ada yang tutup terutama waktu Zuhur dan Asar. Sehingga kita bersyukur kalau kita masih mendapatkan masjid yang bisa menerapkan sunah. Ini mahal, harus dipertahankan, dan sesuatu yang perlu barangkali kita saling menguatkan. Masjid kita ini menjadi syiar untuk sebuah markas thabul ilm (penuntut ilmu). Sebagaimana kita bangga sekali dengan masjid Jami’ah di Jami’ah Islamiyah. Ada masjid kampus, masjid dekat asrama, masjid dekat asrama dosen, dan dulu ada masjid yang paling lama dinamakan dengan Masjid bin Baz, yang menjadi imam adalah mahasiswa dari fakultas Al-Qur’an, bacaannya diseleksi, dan panjang. Kita merasa alhamdulillah di masjid ini bacaannya panjang, iqamahnya juga tidak segera, ini menjadi keistimewaan tersendiri.

Orang kadang-kadang terlambat karena capek atau butuh ini-itu, terutama pagi hari. Ketika ada masjid yang cepat, rata-rata habis azan tidak lama tahu-tahu iqamah, itu kan rasanya, “Waduh.” Sudah putus asa dia bangun dengar azan, ditambah lagi salatnya cepat sekali. Kita bersyukur ada masjid yang ada jeda antara azan dan iqamah. Meskipun kita katakan itu kembali kepada taufik, kadang orang mengatakan, “Oh, salat itu nanti masih 25 menit lagi,” dia santai. Tapi yang jelas, setelah kita ada kesempatan berangkat, ada salat sunah, kemudian sampai sini salatnya juga dipanjangkan, ini adalah sunah yang ditinggalkan oleh kebanyakan kaum muslimin. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam salat Subuh sampai membaca 100 ayat, dan memang itu identik dengan salat yang panjang. Kalau kita tidak bisa meniru 100%, maka setidaknya kita bisa tidak meninggalkan sama sekali.

Ikhwah sekalian, kita membahas Babul Imamah (pembahasan tentang imam). Rupanya hadis yang disebutkan oleh Al-Musannif rahimahullah pertama, kedua, dan ketiga, berkaitan dengan posisi imam yang harus dihormati oleh makmum. Kalau sudah menetapkan ini imamnya, jangan kita ingin menjadi imam berikutnya, tidak boleh rebutan juga. Sampai Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah menjadikan salah satu judul dalam Sahih-nya: “بَابٌ: إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ” (Pembahasan tentang Imam itu dijadikan sebagai pimpinan untuk diikuti). Ini lafaz hadis yang akan kita bahas. Sehingga penting sekali seorang makmum betul-betul memperhatikan imam, untuk betul-betul menerapkan bagaimana makmum berimam, tidak mendahului atau menyamai. Kita akan bahas bahwa menyamai itu merupakan pilihan sebagian mazhab, tapi itu marjuh (lemah). Yang rajih (kuat) adalah seorang makmum betul-betul memperhatikan imam. Begitu imam bergerak, dia sudah bisa siap-siap, tapi belum sampai imam selesai dari gerakannya, baru makmum bergerak setelahnya. Ini akan masuk dalam pembahasan hadis yang keempat, insyaallah.

Ini ada ancaman untuk orang yang tidak menjaga posisi imam, alias dia ingin membalap imamnya. Antum lihat, banyak sekali seperti ini. Antum jadi imam, “Allahu Akbar,” tahu-tahu makmum sudah rukuk. Kita baru saja, “Allahu…” dia sudah rukuk, cepat. Apalagi kalau imamnya tua, suaranya panjang, “Allaaa…” ini alamat sudah dibalap sama makmum-makmumnya. Ini tidak boleh. Ada hadisnya yang mengatakan: “لَمْ يَضَعْ أَحَدُنَا جَبْهَتَهُ حَتَّى يَقَعَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَاجِدًا، ثُمَّ نَقَعُ سُجُودًا بَعْدَهُ” (Kita tidak langsung meletakkan dahi sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selesai dari gerakan untuk sujud, baru kita sujud). Ini tidak sama dengan orang yang begitu imam bergerak, “Allahu…” langsung ikut. Ini banyak sekali.

Hadis Pertama

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “أَمَا يَخْشَى أَحَدُكُمْ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ قَبْلَ الإِمَامِ، أَنْ يُحَوِّلَ اللهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَارٍ، أَوْ يَجْعَلَ اللهُ صُورَتَهُ صُورَةَ حِمَارٍ؟” (Kenapa orang yang suka mengangkat kepalanya sebelum imam tidak takut kepada Allah? Nanti Allah akan mengubah kepalanya dengan kepala keledai, atau bentuk/mukanya diubah seperti bentuk keledai).

Hadis ini sahih. Dikatakan kepala atau muka atau gambarannya yang dirubah oleh Allah. Al-Hafiz Ibnu Hajar mengatakan yang ragu ini adalah perawi. Namun dalam riwayat-riwayat lain tidak ada keraguan. Dalam riwayat Ibnu Hibban, disebutkan “رَأْسَهُ” (kepalanya). Yang lain mengatakan “وَجْهَهُ” (wajahnya). Yunus bin Ubaid rahimahullah meriwayatkan lafaz “صُورَتَهُ” (penampilannya). Sebenarnya ini bisa jadi riwayat dengan makna, karena penampilan yang paling kelihatan ada di muka, dan muka ada di kepala. Kebanyakan riwayat menggunakan lafaz “kepala”. Intinya, ini jelas tidak dibolehkan seseorang untuk mendahului imam.

Apakah Allah akan merubah kepala orang ini dengan tampilan apa adanya atau ini ancaman yang sifatnya maknawi? Artinya, orang ini menjadi berperangai seperti keledai, karena keledai itu sifatnya baladah (susah berpikir). Kata Al-Hafiz Ibnu Hajar, bukankah orang yang mengerjakan tindakan tadi sudah bodoh karena harusnya dia mengikuti, bukan membalap imam? Maka, lebih pantas memaknainya apa adanya. Maskh (diubah wujud) itu akan terjadi di umat ini. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah menyebutkan dalam Sahih-nya bahwa di akhir zaman betul-betul Allah akan menghukum sebagian orang dengan diubah menjadi kera dan babi. Tidak adanya kejadian itu sekarang, bisa jadi karena belum waktunya. Ini cukup menunjukkan bahwa larangan ini keras. Maka, sebagian ulama mengatakan haram hukumnya seorang mendahului imamnya. Bahkan ada riwayat yang menyebutkan Allah akan merubah kepala orang yang mendahului imamnya menjadi kepala anjing. Jika riwayat anjing, ini tidak pas dengan tafsiran maknawi (bodoh), ini menunjukkan bahwa hadis ini ditafsiri apa adanya, sehingga ancamannya lebih tegas.

Dalam kondisi salat, makmum harus mengikuti imam dengan mutaba’ah. Jika imam “Allahu Akbar,” lalu makmum “Allahu Akbar” setelahnya, itu namanya mutaba’ah. Kalau bareng, namanya muqaranah, dan ini yang dipilih oleh Mazhab Hanafi. Mazhab Malikiyah mengatakan ini tidak boleh, terutama saat Takbiratul Ihram.

Sebagian mazhab mengatakan hanya tidak boleh mendahului saat Takbiratul Ihram. Sisanya, para ulama mengatakan haram tapi tidak mengganggu keabsahan salat; artinya salatnya tetap sah tapi dosa. Namun, Al-Hafiz Ibnu Hajar menukil dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa salat orang yang mendahului imamnya tidak sah, mirip dengan pendapat Zhahiriyah. Mereka mengatakan, “Salat tapi diancam? Ini tidak main-main, salat ini bermasalah.”

Al-‘Iraqi rahimahullah menukil dari salah seorang ulama Mazhab Malikiyah, apa sebenarnya yang membuat makmum ingin cepat-cepat sampai membalap imam? Mereka ingin agar cepat selesai. Ulama Malikiyah itu mengatakan, dia harus sadar, secepat-cepat dia membalap imam, dia tidak akan salam sebelum imamnya. Jadi, sabar saja.

Hadis ini berkaitan dengan mengangkat kepala. Ini pertanyaan yang tidak butuh jawaban, tapi untuk menegur. Dalam beberapa riwayat, maksudnya adalah ketika imam sedang sujud, jangan kamu mengangkat kepalamu. Sebagian sahabat mengatakan, jika makmum terburu-buru mengangkat kepala sebelum imamnya, hendaklah dia balik sujud lagi. Setelah imamnya mengangkat kepala, jangan cepat-cepat mengangkat kepala, tapi akhirkan kepalamu kira-kira sama dengan ukuran waktu kamu mendahului imam tadi. Ini seperti hukuman untuknya. Ini perlu dilatih sejak kecil. Kalau sudah besar masih seperti ini, repot.

Ini merupakan kasih sayang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau khawatir umat ini akan salah, maka beliau mengingatkan.

Hadis Kedua dan Ketiga

Keduanya hampir sama. Hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu: “إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَلاَ تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا، وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا، وَإِذَا قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، فَقُولُوا: رَبَّنَا لَكَ الحَمْدُ، وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا، وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ” (Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya. Apabila ia takbir, maka bertakbirlah. Apabila ia rukuk, maka rukuklah. Apabila ia mengucapkan ‘Sami’allahu liman hamidah’, maka ucapkanlah ‘Rabbana lakal hamd’. Apabila ia sujud, maka sujudlah. Dan apabila ia salat sambil duduk, maka salatlah kalian semua sambil duduk).

Riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha juga maknanya sama.

Suatu saat, kata Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam salat di rumahnya dalam keadaan sakit, maka beliau salat sambil duduk. Beliau sakit karena jatuh dari kuda, sampai terluka betis kanannya. Kulitnya sampai terkelupas. Pelajarannya, istihbab (anjuran) untuk naik kuda. Kedua, ketika Nabi jatuh, ini menunjukkan beliau adalah manusia biasa dan ini tidak mengurangi kenabiannya, bahkan bisa jadi ini cara Allah mengangkat derajat beliau. Ada beberapa sahabat yang salat di belakang beliau sambil berdiri. Di antaranya Anas bin Malik, Abu Bakar, dan Umar. Peristiwa ini terjadi dua kali. Pertama, para sahabat bermakmum salat sunah. Berikutnya, saat salat fardu. Di kesempatan pertama, Nabi salat sambil duduk dan sahabat berdiri. Yang kedua, Nabi salat dan di belakangnya sahabat berdiri, kemudian disuruh duduk. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan isyarat kepada mereka, “Duduklah.” Beliau mengatakan, “Kalian hampir saja melakukan perbuatan orang Romawi dan Persia ketika memperlakukan raja mereka, kalian berdiri sementara rajanya duduk. Aku tidak ingin seperti itu. Kalau aku duduk, kalian duduk.”

Sebagian ulama mengkompromikan dua riwayat ini: jika imam salat sambil duduk sejak awal, maka makmum ikut duduk. Tetapi jika dari awal imamnya berdiri, lalu sakit dan duduk, maka makmum tetap berdiri, tidak ada masalah. Dalilnya adalah saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelang wafat. Abu Bakar menjadi imam. Ketika Nabi keluar, Abu Bakar mundur, tapi Nabi menyuruhnya tetap di tempatnya. Nabi didudukkan di sebelah kiri Abu Bakar, beliau tetap menjadi imam, dan Abu Bakar mengeraskan suaranya. Para sahabat tetap berdiri. Ini menunjukkan, jika dari awal imam berdiri lalu duduk, makmum bisa tetap berdiri. Ini juga menunjukkan orang sakit boleh menjadi imam sambil duduk. Tapi untuk yang lebih afdal, jika ada imam sakit, wakilkanlah kepada yang lain.

Intinya, dalam dua riwayat ini, Nabi sempat memerintahkan para sahabatnya untuk duduk. Setelah selesai salat, beliau mengatakan, “Imam itu untuk diikuti…”

Pelajaran Tambahan:

  • Yang diperintahkan untuk diikuti adalah perbuatan (af’al) dan perkataan (aqwal) yang terlihat, tetapi niat tidak harus sama. Contohnya Mu’ad radhiyallahu ‘anhu salat Isya bersama Nabi (salat fardu baginya), lalu pulang ke kampungnya menjadi imam salat Isya (salat sunah baginya). Ini boleh.
  • Jika imam sadar ada najis di pakaiannya, ia harus membatalkan salat. Jika tidak, salatnya batal. Tapi jika ia tidak memberitahu makmum, salat makmumnya sah. Jika makmum tahu, ia tidak boleh diam saja, salatnya bisa tidak sah.
  • Makmum masbuk tidak harus mengikuti sujud sahwi imam yang dilakukan setelah salam.
  • Perintah mengikuti imam berlaku untuk semua makmum, bukan fardu kifayah.

#Prolog

Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ’anhu. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara langsung dengan melenyapkan ilmu itu dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan orang berilmu lagi, orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.’” (HR. Bukhari)

Sumber: https://muslim.or.id/93486-malapetaka-akhir-zaman.html
Copyright © 2025 muslim.or.id