Bersama:
๐๏ธ Ustadz Muhammad Ihsan, S.Ud., M.H.
๐ Kitab: Syarh Manzhumah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah karya Syaikh Abdussalam Asy-Syuwai’ir
ุงููุญูู ูุฏู ููููู ุฑูุจูู ุงููุนูุงููู ูููููุ ููุงูุตููููุงุฉู ููุงูุณููููุงู ู ุงููุฃูุชูู ููุงูู ุงููุฃูููู ูููุงูู ุนูููู ุงููู ูุจูุนูููุซู ุฑูุญูู ูุฉู ููููุนูุงููู ูููููุ ููุนูููู ุขูููู ููุตูุญูุจููู ุฃูุฌูู ูุนูููููุ ููู ููู ุณูุงุฑู ุนูููู ููููุฌููู ููุงููุชูููู ุฃูุซูุฑููู ุฅูููู ููููู ู ุงูุฏููููููุ ุฃูู ููุง ุจูุนูุฏู.
Ikhwati wa akhawati fillah a’azzakumullah. Alhamdulillah, pada pagi hari ini Allah Subhanahu wa Ta’ala izinkan kita untuk bisa kembali bertemu dan duduk di majelis ilmu ini dalam daurah Mahad Ilmi, membahas salah satu cabang ilmu fikih yaitu qawaid fikhiyah, kaidah-kaidah fikih. Membahas kitab syarah dari Manzumah, ya, sebuah nazam dalam qawaid fikhiyah dari Syekh Abdurrahman bin Nasir as-Sa’di rahimahullahu ta’ala. Dan kita membaca syarah atau transkrip, ya, dari syarahnya Syekh Abdus Salam asy-Syu’ayir hafidahullahu ta’ala.
Berapa bait yang sudah kita pelajari? Tujuh. Thayyib. Kemarin sudah tujuh bait ya yang kita pelajari. Dari perkataan: ุงููุญูู ูุฏู ููููู ุงููุนูููููู ุงููุฃูุฑูููููุ ููุฌูุงู ูุนู ุงููุฃูุดูููุงุกู ููุงููู ูููุฑููููุ ุฐูู ุงููููุนูู ู ุงููููุงุณูุนูุฉู ุงููุบูุฒูููุฑูุฉูุ ููุงููุญูููู ู ุงููุจูุงููุฑูุฉู ุงููููุซูููุฑูุฉูุ ุซูู ูู ุงูุตููููุงุฉู ู ูุนู ุณูููุงู ู ุฏูุงุฆูู ูู. Ini kemarin kayaknya gak ada di syarahnya Syekh Abdus Salam ya, yaitu selawat kepada Nabi ๏ทบ. ุงูุตููููุงุฉู ู ูุนู ุณูููุงู ู ุฏูุงุฆูู ูู, kemudian selawat beserta salam yang senantiasa terus-menerus, ya, untuk siapa? ุนูููู ุงูุฑููุณููููู ุงููููุฑูุดูููู ุงููุฎูุงุชูู ู, untuk seorang rasul, ya, al-Qurasyi, ya, dari bangsa Quraisy, kabilah Arab terbaik. ุงููุฎูุงุชูู ู, yaitu penutup para nabi, yaitu nabi kita Muhammad ๏ทบ. ููุขูููู ููุตูุญูุจููู ุงููุฃูุจูุฑูุงุฑู dan juga untuk keluarga beliau, wa shahbihi untuk sahabatnya, al-abrar yang baik, yang saleh. ุงููุญูุงุฆูุฒููู ู ูุฑูุงุชูุจู ุงููููุฎูุงุฑู, yang telah mendapatkan tingkatan yang membanggakan. Na’am, thayyib.
Dan ini yang kita bahas kemarin bahwasanya puji-pujian, kemudian selawat kepada Nabi dan Rasul, begitu pula selawat kepada keluarga dan sahabat baginda Nabi ๏ทบ, ini adalah salah satu bagian dari adab ketika menulis, ya. Itu sudah kita bahas ya sampai sana ya. Pembahasan dari pembahasan ููุงุญูุฑูุตู ุนูููู ููููู ููู ููููููููุงุนูุฏูุ ุฌูุงู ูุนูุฉู ุงููู ูุณูุงุฆููู ุงูุดููููุงุฑูุฏู. Itu sampai situ. Beliau di terakhir pembahasan kita memberikan kita wasiat agar apa? Bisa semangat untuk memahami kaidah-kaidah, ya. Karena kaidah itu fungsinya atau manfaatnya adalah untuk mengumpulkan masalah-masalah yang berserakan, ya. Masalah-masalah yang banyak berserakan, gak susah kita menghafalnya, maka ikatlah itu dengan kaidah. Thayyib.
Bait Kedelapan: Motivasi dan Adab dalam Menuntut Ilmu
Sekarang kita akan masuk ke bait yang kedelapan. Qala rahimahullahu ta’ala:
ููุชูุฑูุชููููู ููู ุงููุนูููู
ู ู
ูุฑูุชููููุ ููุชูููุชููููู ุณูุจููู ุงูููุฐููู ููุฏู ููููููู
Qala asy-Syarih, ููู Syekh Abdus Salam asy-Syu’ayir hafidahullahu ta’ala wa ra’ah, yakulu al-mushanif: ููุชูุฑูุชููููู ููู ุงููุนูููู ู ู ูุฑูุชูููู. Ya. Kemarin nasihatnya adalah bersemangatlah untuk memahami kaidah, yang mana kaidah itu manfaatnya adalah untuk mengikat masalah-masalah yang berserakan. Agar apa? Kata beliau, agar kalian bisa meningkat ya dalam perjalanan menuju meraih ilmu, agar keilmuan kalian meningkat, gitu. Ini menjelaskan kepada kita bahwasanya perhatian kepada ilmu-ilmu syar’i itu sesuai dengan jenis-jenisnya. Karena ilmu itu banyak cabang, ya. Setiap-setiap cabang ini antum pelajari, maka semakin tinggi ya tingkatan antum dalam keilmuan.
Dan setiap kali seorang merasa dirinya sudah sampai ke puncak ilmu, maka itu tandanya dia sudah masuk dalam jurang. Jadi ketika dia merasa dia sudah di puncak, berarti hakikatnya dia sedang jatuh, ya. Sehingga kalau seandainya dia gak sadar-sadar, ya maka dia akan sampai ke jurang itu. Dia akan jatuh di situ kalau dia gak sadar. Ya, wa kullu man u’jiba bi nafsih, ini Syekh berarti memberikan kita wejangan, ya. Jangan sampai merasa puas dengan ilmu. Jangan sampai merasa antum sudah ahli, selama apapun antum belajar, gitu. Selama apapun antum ngaji, gitu. Gak ada yang namanya senior dalam ngaji, gitu. “Ana gak ikut lagi kajian ini.” “Kenapa?” “Sudah senior.” Ya, dari sudah lama ana ngaji ini. Ya, gak ada. Karena apa kata beliau di sini? Setiap orang yang ujub sama dirinya, ya, wa u’jiba bi nafsihi khusushan fil ‘ilmi, dia ujub umuman secara umum dalam hal-hal lainnya atau secara khusus ujub dengan ilmunya, ููุฅูููููู ุญูููููุฆูุฐู ูููููููู, maka saat itu dia celaka.
Nabi ๏ทบ bersabda ketika al-Qaswa’, yaitu untanya Nabi ๏ทบ, kalah. Karena Nabi ๏ทบ itu untanya kencang, ya. Gak pernah terkalahkan, ya. Gak pernah terkalahkan. Suatu ketika datang seorang A’rabi, ya, ternyata apa? Memacu untanya Nabi ๏ทบ. Sehingga sahabat waktu itu bingung mereka, ya, “Ya Allah, ini gimana nih untanya Nabi nih? Untanya Nabi padahal, ya.” Tapi apa? Kalah, gitu. Maka apa kata Nabi ๏ทบ? Allah enggan untuk itu. ู ูุง ุงุฑูุชูููุนู ุดูููุกู ุฅููููุง ููุถูุนููู ุงูููู, tidak ada satu yang sudah sampai di ketinggian, pasti dia suatu saat akan jatuh. Kalau sudah sampai puncak, ke mana lagi perginya? Ke bawah, gitu. Antum sudah sampai puncak gunung, ke mana lagi pergi? Turun. Gak ada lagi daki itu sampai puncak. Kalau sudah sampai puncak, turun ke mana-mana lagi, gitu, ya. Maka itu yang, eh, sunatullah, ya. Aturan yang telah Allah berlakukan di dunia ini. Tidaklah sesuatu sampai ke puncaknya, dia merasa tinggi, maka saat itulah dia akan turun. Antum sudah merasa sampai puncak, enggak ada lagi yang ingin antum kejar di ketinggian, apa yang akan terjadi? Jatuh sudah. Au nahwu mimma qala ‘alaihis shalatu wassalam, atau sebagaimana yang disabdakan Nabi ๏ทบ.
Ini menunjukkan bahwasanya manusia itu harus selalu merasakan, menghadirkan dalam dirinya dan berbicara dengan dirinya bahwasanya dia itu masih kurang ilmu. Jadi, ketika kita setiap kali belajar itu, maka hadirkan rasa, ya, bahwasanya apa? Antum tuh hanya sebuah gelas kosong yang siap menampung ilmu. Hadir kajian mana pun, sudah lama antum ngaji, sudah lulus Mahad Ilmi ini gitu, hadir kajian-kajian dasar misalkan, ya, maka jangan ketika hadir itu, antum ingin ambil faedah di situ. Jangan merasa bahwasanya apa? “Ana perlu catat lagi sini, ya, ini gampang, ya gak. Ya ini kajian-kajian anak SD ini.” Nah itu, ya gak. Kenapa? Ketika kita merasa kita sudah penuh, ya, maka tidak akan ada yang bisa kita ambil faedahnya. Tapi ketika kita merasa gelas kita masih kosong itu, maka akan banyak ilmu yang akan bisa kita raih. Harus sebenar-benar yakin dan akui itu, bahwasanya kita sebanyak apapun ilmu yang kita miliki, tetaplah kita jahil. Tetaplah kita naqisul ‘ilm, tetap kita itu kurang ilmunya.
Dan yang memperkuat agar antum sadar diri, ya, adalah dengan cara apa? Melihat perkataan-perkataan ulama. Antum coba baca sirah. Kadang-kadang kita itu, orang-orang yang ujub itu adalah tanda dia jarang baca tarajim ulama, biografi-biografi para ulama, sirah-sirah para ulama. Jarang kita baca, ya, sehingga merasa diri sudah paling hebat, gitu. Kenapa? Karena dia yang dia lihat adalah orang yang di bawahnya terus, gitu. Cobalah belajar untuk tarajim. Baca tarajim ulama itu ููุฑูููููู ุงููููููููุจู, ya, akan melembutkan hati. Bagaimana para ulama dulu itu, masyaallah, ya, jalan mereka mengumpulkan hadis dan sebagainya, ya. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah itu, kata Ibnu Abi Hatim, ya, atau Abu Hatim ar-Razi kepada Ibnu Abi Hatim ngomongnya, ya, kepada Abdullah bin Ahmad, “ุฃูุจููููู ููุญูููุธู ุฃููููู ุฃููููู ุญูุฏูููุซู“, katanya ayahmu, ya Abdullah, dulu itu hafalan hadisnya itu alfu alfi, seribu ribu, seribu kali seribu, berapa? Sejuta, tuh. Itu Arbain Nawawi sudah gaya tuh, 40, 40 itu pun “a-a”-nya banyak tuh, ya. Eh, ini masih banyak tuh, tapi sudah merasa udah paling hebat di situ. Satu juta riwayat dihafal oleh Imam Ahmad. Ya, satu hadis itu banyak riwayatnya, kan, dan beliau menghafal jalur itu satu juta. Tuh, bayangkan dengan hafalan seperti itu. Kalau kita lihat yang kayak itu kan akhirnya, ya berarti kita masih jauh, gitu, ya. Berarti kita masih jauh di situ, ya. Gak ada rasa ingin membanggakan diri. ูููููููู ููููู ุฐููู ุนูููู ู ุนูููููู ู. Ya, di atas orang berilmu itu masih ada orang yang berilmu lagi. Di atas langit masih ada langit.
Bagaimana mereka bisa jadi sehebat itu dalam ilmu? Bagaimana mereka menulis tuh? Ya gak usah antum baca tarajim, antum baca aja, buka Fathul Bari, sudah. Baca bahasa Arabnya, ya, yang terjemahannya, gitu. Bahasa Arabnya baca coba, ya. Satu halaman, dua halaman, udah pusing kepala antum tuh. Ah, itu sadarlah, ya, sadarlah bahwasanya ilmu kita masih sedikit, ya. Nanti yang baca buku Syekh Utsaimin yang tipis, ketika antum paham, “Wah, gampang bahasa Arab ternyata.” Ya, itu awalnya seperti itu. Memang orang ilmu itu ada tiga jengkal, kata Imam Syafi’i rahimahullah. Apa? Siapa yang sampai jengkal pertama, ุชูููุจููุฑู, ya? Antum masih jengkal pertama, sombong. Berarti kalau masih sombong, berarti kita masih pemula. Karena orang kalau baru ngaji kan gitu kan, orang semuanya ahlul bid’ah semua, ya. Enggak perlu salam sini, gak perlu salam dia, gak tahu dia, gak paham dia, ya, orang-orang jahil semuanya, ya. Ketika dia sudah meningkat ilmunya, masuk dia jengkal kedua, ุชูููุงุถูุนู, mulai tawadu, belajar tawadu dia. Ketika dia sampai jengkal ketiga, kata Imam Syafi’i apa? ุนูููู ู ุฃูููููู ููุง ููุนูููู ู, dia sadar bahwasanya dia gak tahu. ‘Alima annahu jahil. “Oh, ternyata selama ini saya masih bodoh.” Dia bilang. Ah, di tingkatan mana kita masih susah hilang ujub? Ah, berarti masih di dasar kita kan, ya. Thayyib.
Dengan melihat bagaimana pencapaian para ulama dahulu, di situlah antum sadar betapa remehnya ilmu yang antum dapatkan. Bukan betapa remehnya, betapa ilmu itu masih sedikit dari warisan Nabi ๏ทบ itu masih banyak yang belum kita ambil, gitu. Kita masih susah paham, gitu, ya. Ini dari satu sisi, ya. Kenapa kita harus tawadu, ya? Kenapa kita harus tawadu? Kenapa kita harus merendah? Ya, karena memang kita gak bisa tinggi, gitu. Apa yang mau ditinggikan? Gak ada, ya. Kita dibanding ulama dulu gak ada apa-apanya.
Dari sisi yang lainnya, ya, gak usah lihat perkataan ulama lah, yang lebih baik antum melihat perkataan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sabda Nabi ๏ทบ. Dan lihat bagaimana kisahnya Khidir dengan Musa. Dalam hadis disebutkan, ya, ketika selesai perjalanan itu, ini kan teguran Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi Musa ketika dikatakan, “Apakah ada orang yang lebih berilmu darimu?” “Gak. Ana a’lam. Aku yang paling berilmu,” kata Musa. Seolah Musa mengatakan dirinya tahu semua hal, gitu. Dan itu ditegur oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian di akhir pertemuan itu, Khidir, eh, beliau mengatakan kepada Nabi Musa ‘alaihissalam: “ู ูุง ููููุตู ุนูููู ูู ููุนูููู ููู ู ููู ุนูููู ู ุงูููู ุฅููููุง ููู ูุง ุฃูุฎูุฐู ููุฐูุง ุงูุทููุงุฆูุฑู ู ููู ุงููุจูุญูุฑู“. Ya, tidaklah ilmuku dan ilmumu kalau digabung itu, ya, itu tidak akan mengurangi ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala, itu seperti apa? Burung ini nangkap mangsanya di lautan. Ya. Jadi ketika perpisahan itu, ya, Nabi Musa ‘alaihissalam dan Nabi Khidir ‘alaihissalam, beliau melihat, mereka melihat apa? Seekor burung, ya, mungkin ngambil mangsa. Kemudian kata Nabi Khidir kepada Musa, “Ilmumu dan ilmuku kalau digabung tuh, ya, itu tidak akan sedikit pun mengurangi ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali seperti merpati ini ngambil air lautan ini, gitu. Sedikit, berapa yang dia ambil?” atau burung pipit itu ngambil tuh, burung kecil, ya. Jadi bandingannya samudra, dan ilmu kita tuhโฆ Musa kan, kita sama Musa kan jauh banget ilmunya kan. Ini Musa gabung sama Khidir, ilmu digabung itu kayak itu tuh dari ilmu Allah yang sangat luas, antum cuma dapat segini, gitu, ya. Terus apa yang diujubkan, ya? Apa yang disombongkan?
Kemudian yang ketiga kata beliau, yang pertama apa? Lihat kisahnya para ulama. Yang kedua, lihat bagaimana para nabi atau lihat baca Qur’an, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. Salah satunya apa? ุฅูุนูุฌูุงุจู ุงููู ูุฑูุกู ุจูููููุณููู, ketika seorang ujub sama dirinya, udah itu tanda hancur itu orang kalau sudah ujub sama dirinya, tunggu aja. Kemudian yang ketiga kata beliau, jangan sampai dia malu, jangan sampai dia nolak, ya. Kalau dia salah, harus dia terima kritikan, harus dia terima bantahannya dari orang yang membantahnya. Makanya orang-orang yang ujub itu tidak bisa dikritik, tidak mau nerima kritikan. Ya, “Siapa antum?” Nah, itu kalau dikritik, “Siapa antum?” Dia bilang, bukan masalah siapa antum, antum salah gak? Ya, itu yang harus kita perhatikan. Apakah perkataan kita salah atau gak, ya. Jangan seperti yang kemarin kita ceritakan itu, rusak walaupun terbang, ya, orang debat-debat kusir, gak bisa, gak mau kalah dia. Bukan. Debat itu yang dalam Islam, satu-satunya debat yang dibolehkan adalah debat untuk mencari kebenaran, gitu. Sedangkan mira’, debat kusir, debat yang di situ mencari kemenangan, itu yang dicela. Gak boleh, ya. Bukan mencari kemenangan, kita tuh cari kebenaran. Orang yang paham dirinya itu banyak keliru, maka dia akan menerima kritikan karena dia menganggap itu hal yang wajar. Setinggi apapun ilmu antum, setinggi apapun jabatan antum, ya, sebanyak apapun pengalaman antum, antum tetap manusia. Kita tetap manusia yang kata Nabi ๏ทบ ุฎูุทููุงุกู, suka melakukan kesalahan. Sehingga ketika datang kritikan, kalau kita sadar nih kita khatta’, terlalu banyak salahnya, ya. Cuman masalahnya kan kita susah melihat kekurangan diri, gitu, orang yang lihat. Maka ketika orang melihat kekurangan itu lalu dia memberitahu kita, maka terima kasih dan kita tidak akan marah. Kenapa? Karena itu wajar. Wajar. Kenapa? Manusia, ya, itu hal yang wajar. Tapi orang yang merasa dirinya penuh, sempurna, ah itu yang gak mau, gak bisa dikritik. Gak bisa dikritik. Itu tanda dia apa? Ujub dengan dirinya. Ini yang dimaksud oleh perkataan ulama: ูููููููุง ุฑูุฏูู ููู ูุฑูุฏูููุฏู ุนููููููู, setiap kita itu bisa mengkritik dan dikritik, bisa membantah dan dibantah, ya, ุฅููููุง ู ูุญูู ููุฏู ๏ทบ, kecuali Nabi Muhammad ๏ทบ. Maka semua perkataannya harus kita terima. Kenapa? Utusan Allah, ya. Kalau beliau keliru pun, Allah akan tegur langsung.
Mengikuti Jejak Orang-Orang Saleh
Thayyib, kemudian kata Syekh Sa’di, “ููุชูููุชููููู ุณูุจููู ุงูููุฐููู ููุฏู ููููููู“, ya, dan kalian ikuti jalan orang yang sudah diberikan taufik. Nah, ini poin penting kata beliau. Bahwasanya ilmu itu diambil dengan cara warisan dari orang sebelum kita. Agama ini diwariskan dari seseorang, dari orang sebelumnya. Sebagaimana bumi ini Allah jadikan kita khalifah. Arti khalifah apa? Mengganti. Ya. Ketika Allah jadikan kita khalifah, dalam artian apa? Kita ngelola bumi ini gantian. Dulu Nabi Adam pertama yang ngelola bumi ini, yang urusin bumi ini. Kemudian setelah itu digantikan oleh anaknya, digantikan oleh cucunya. Begitu terus sampai zaman kita sekarang, ya. Kita masih hidup, berarti tugas kita, kita punya andil dalam mengelola bumi ini. Bagaimana kita beramal di dunia ini. Setelah selesai amalan kita, Allah wafatkan kita, maka digantikan oleh orang setelah kita. Begitu juga dengan ilmu. Ilmu ini dibawa oleh Nabi Muhammad ๏ทบ. Nabi Muhammad selesai tugasnya, kemudian yang membawa siapa lagi? Para sahabat. Para sahabat selesai tugasnya, maka dibawa oleh tabiin. Begitu terus, ya. Tongkat estafetnya selalu berjalan.
Agama ini juga ada khalifah-khalifahnya, yang kita saling mewariskan. Dan salah satu keistimewaan dan khasnya, ya, spesialnya agama Nabi Muhammad ๏ทบ, bahwasanya agama beliau tidak pernah akan hilang di satu masa, gak pernah hilang. Akan selalu tampak kebenaran itu sampai hari kiamat. Kata Nabi ๏ทบ, “Akan senantiasa umatku ada yang menampakkan atau berdiri di atas kebenaran itu.” Walaupun sebanyak apapun orang yang tersesat, orang yang menyimpang, akan selalu ada orang yang membela hak. Enggak pernah hilang di satu masa. Orang yang menyelisihinya tidak akan memberikan mudarat untuknya sampai hari kiamat akan selalu ada. Gak pernah hilang. Tidak akan ada waktu atau zaman atau masa di mana di situ kebenaran tersembunyi. Gak ada. Pasti ada orang yang akan mengungkap kebenaran itu.
Dan dalam waktu yang sama, kebenaran ini akan selalu sama dia, ya, tidak akan berubah dari masa ke masa, gitu. Ibnu Mubarak mengatakan pentingnya sanad, ya, ุงููุฅูุณูููุงุฏู ู ููู ุงูุฏูููููู, ya. Sanad itu bagian dari agama. Dari siapa antum belajar? Dari mana antum dapat ini, ya, bukan buatan diri sendiri. Kalau kita bisa buat agama, ngapain Nabi Muhammad ๏ทบ diutus ke muka bumi? Ya, agama ini warisan, ya, dari Nabi ๏ทบ. Sanad itu bagian dari agama. Orang yang gak punya sanadnya, ketika dikatakan, “Antum ilmu ini dapatnya dari mana?” gitu, maka dia akan terdiam, gitu, mutahayyiran, dia bingung tuh. Ya. Makanya para ulama mengatakan ketika ada pendapat-pendapat yang asing, yang aneh, apa yang ditanyakan? ู ููู ุณููููููู ููููููุ (Dari mana antum dapat pertanyaan ini? Dari mana antum dapat pendapat ini? Siapa ulama dulu yang berpendapat seperti ini?), gitu. Ulama dulu kok pendapatnya A, antum bilangnya B, gitu. Bertentangan. Dari mana antum dapat? Siapa ulama antum? Gitu, ya.
Kata Imam Ahmad dan Imam Sufyan ats-Tsauri, “Kalau seandainya engkau sanggup untuk menggaruk kepalamu, ya, dengan sunah dan asar, maka lakukan.” Apa maksudnya? Kalau seandainya ada dalam sunah cara menggaruk, garuk pakai itu, gitu. Itu kan gak ada. Cuma kalau sampai ada, antum tiru, tuh segitunya, ya. Karena apa? Karena ุงูุณูููููุฉู ุณูููููููุฉู ููููุญู, karena sunahnya Nabi ๏ทบ itu, kata para ulama, seperti kapalnya Nabi Nuh. ู ููู ุฑูููุจูููุง ููุฌูุง, siapa yang naik ke kapal itu dia akan selamat. Siapa yang gak mau naik, ูููููู, celaka dia. Thayyib.
Jangan pernah engkau mengatakan sebuah kalimat yang gak ada salafnya, gak ada orang pendahulunya, gitu. Karena apa? Karena ini bagian dari agama. Engkau harus ngikuti jalannya para ulama dulu.
Na’am, bisa jadi memang Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan pemahaman kepada orang sekarang yang mungkin tidak Allah berikan kepada orang dulunya. Mungkin dari sisi tafsiran ayat, mungkin, ya. Akan tetapi, apa? Tidak akan pernah kebenaran itu hilang. Bisa dipahami? Ada suatu kebenaran sudah dari dulu dipahami. Cuman para ulama biasanya pakai ayat yang sudah jelas. Tiba-tiba ada seorang sekarang karena dia, eh, senang tadabur dan sebagainya, dia dapat satu ayat yang maknanya sama, mendukung kebenaran yang sudah ada dari dulu. Ini itu bisa jadi, walaupun ulama dulu gak pernah ngambil ayat ini untuk jadi dalilnya, gitu. Bisa jadi. Cuman yang tadi kita katakan adalah ketika pendapat baru itu bertentangan dengan apa yang sudah dipahami oleh ulama dulu. Nah, ini yang jadi masalah tuh, ya. Gak boleh ada pendapat baru bertentangan dengan pendapat para salaf.
Sebagaimana dikatakan oleh sahabat Ali radhiyallahu ‘anhu. Ada orang bertanya ke Ali, “Ada enggak engkau dapat wasiat khusus?” Karena kata Syiah kan Ali dapat wasiat khusus. Kata Ali radhiyallahu ‘anhu, Nabi ๏ทบ tidak meninggalkan apapun kecuali Qur’an dan apa yang ada dalam kertasku ini. Beliau letakkan di pedangnya, ya. Yaitu apa? Ternyata hadis, ya. “ููุนููู ุงูููู ู ููู ุบููููุฑู ู ูููุงุฑู ุงููุฃูุฑูุถู“, “ููุนููู ุงูููู ู ููู ููุนููู ููุงููุฏููููู“, itu kan bukan mandat untuk jadi seorang khalifah sebagaimana yang diklaim oleh orang-orang Syiah. Ali punya, dapat wasiat tuh, ya. Wasiatnya apa? Jadi khalifah setelah Nabi ๏ทบ. Bukan. Ternyata hadis yang dicatat khusus oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Lalu beliau simpan itu. Kecuali, kata beliau, mungkin ada sesuatu yang tidak didapatkan dari Nabi, yaitu apa? Pemahaman. ุฅููููุง ููููู ูุง ููุคูุชููููู ุงูููู ุฑูุฌูููุง. Dan pemahaman ini adalah fadhlun minallah, minnah minallah, yang Allah berikan kepada siapapun yang Allah kehendaki. Nah, yakni maksudnya adalah, kata beliau, manusia itu berbeda-beda tingkatan pemahamannya. Ada orang yang pemahamannya lebih bagus dari yang lain. Namun syaratnya apa? Antum bisa menemukan istinbat hukum yang baru mungkin, tapi selama gak boleh antum tentang kebenaran yang sudah ada dari dulu. Jangan buat aneh-aneh, ya, hukum-hukum atau pendalilan yang gak diterima dalam bahasa Arab, ya. Yang gak diterima dalam bahasa Arab, fil Qur’ani was Sunnah. Huwaddin. Ya, inilah agama. Sebagaimana dalam tafsir kemarin kita sudah pernah bahas, ya, eh, ketika menafsirkan ayat jangan sampai apa? Pakai tafsiran yang bertentangan dengan tafsir, eh, dengan tafsiran para salaf dan bertentangan dengan kaidahnya bahasa Arab, ya. Bertentangan dengan kaidahnya bahasa Arab.
Maka engkau ikuti jalannya orang-orang yang diberikan taufik sebelummu. Dalam menuntut ilmu, dalam belajar fikih, belajar hadis, dan dalam ilmu-ilmu syariat lainnya yang diwariskan dari orang yang ulama dulu, kemudian dari ulama sebelumnya, dari ulama sebelumnya. Ya, begitu cara kita belajar. Jangan, masalah agamaโฆ masalah dunia saja belajar kita seperti itu, ya. Orang kalau mau belajar bisnis, dia nanya siapa orang yang sudah jalan situ tuh, sudah sukses dia, gitu kan. Gak mungkin antum belajar bisnis dari orang bangkrut, gak mungkin, ya. Orang bangkrut jadi motivator kan gak terima dia, ya. Dia harus punya jalan itu, dia nampak, sehingga dia kita bisa ngikutin dia. Kalau masalah dunia seperti itu. Kenapa masalah agama malah kita bikin sendiri-sendiri? Ya. Seperti apa contohnya? Al-Qari’ah. Ya, Al-Qari’ah. Apa artinya? Wanita pembaca. Al-Qari’ah adalah wanita pembaca. Ini ditolak bahasa Arab, ditolak oleh orang-orang yang punya akalnya. Ya, Kemenag dari dulu sudah tulis tuh, baca Al-Qari’ah, hari kiamat. Terus tiba-tiba datang orang doktor dalam masalah dunia, lalu dia bilang, “Al-Qari’ah artinya adalah wanita pembaca. Allah memuliakan wanita,” katanya. Al-Qari’ah. Wanita pembaca. Mal-Qari’ah? Apa itu wanita pembaca? Wa ma adrakamal qari’ah? Tahukah kamu siapa itu wanita pembaca? Padahal setelahnya kejadian dari hari kiamat. Thayyib. Nah, ini kan gak sesuai, ya. Orang mungkin pengin tadabur, dia pengin tadabur, cuman harus ngerti dulu, ya, kaidah-kaidahnya, ya. Bagaimana para ulama dulu, ilmu ini warisan, ya, bukan sekedar bikin-bikinan sendiri. Na’am, thayyib.
Asal-Usul Kaidah dalam Nazam Ini
Kemudian bait berikutnya:
ููููุฐููู ููููุงุนูุฏู ููุธูู
ูุชูููุงุ ู
ููู ููุชูุจู ุฃููููู ุงููุนูููู
ู ููุฏู ุญูุตููููุชูููุง
Ini adalah kaidah yang aku nadam, aku susun syairnya, yang aku ambil dari kitab-kitab para ulama. Kata Syekh asy-Syu’ayir hafidahullah, perkataan beliau ููุฐููู yakni fil qawaid. Hadihi al-manzumah qawaid. Ya, syair ini yang ku buat ini, itu adalah berisikan kaidah-kaidah. Beliau menjelaskan di sini bahwasanya beliau yang menyusun sendiri, ya, berusaha untuk menyusun kaidah-kaidah ini dalam nazam. Dan beliau mendapatkan kaidah-kaidah ini dari kitab para ulama. Jadi beliau pilih, bukan maknanya beliau memasukkan semua kaidah dalam nazam ini. Bukan maknanya selain apa yang ada dalam kitab ini berarti bukan kaidah fikih. Gak. Akan tetapi apa? Beliau dapatkan. Beliau gak mengatakan semua kaidah di kitab ini, gak. Tapi beliau katakan beliau dapatkan kaidah ini dari kitab-kitab para ulama, sebagian. Ya, beliau kumpulkan dari kitab-kitab para ulama.
Dan sebenarnya, kata Syekh asy-Syu’ayir di sini, bahwasanya kaidah-kaidah yang beliau bawakan oleh Syekh as-Sa’di di sini, mayoritasnya beliau ambil dari perkataan dua Syaikhul Islam, yaitu Syekh Taqiyuddin. Ingat ya, kalau Syekh Abdus Salam asy-Syu’ayir mengatakan Syekh Taqiyuddin berarti siapa maknanya? Ibnu Taimiyah, ya. Siapa namanya? Ini dari tahun lalu ana tanya ini. Ahmad bin Abdul Halim. Dan Ibnu Qayyim. Dan mushannif juga membuat satu kitab lainnya yaitu Thuruqul Hukmiyah, yang mana dalam kitab tersebut tidak hanya kaidah fikih, tapi juga ada kaidah-kaidah dalam masalah akidah, wa fi ghairihi, ada kaidah dalam ushul fikih, ada kaidah dalam fikih, ada kaidah dalam adab, dan lainnya dari perkataan al-Imam Taqiyuddin Ibn Taimiyyah dan al-Imam Ibnul Qayyim rahimahumullahu ta’ala. Thayyib. Ya, jadi kita sudah tahu ya bahwasanya kaidah itu beliau ambil dari kitabnya para ulama. Jadi beliau bukan buat sendiri, tapi itu dari para ulama sebelumnya, ya. Terutama perkataan dua Syaikhul Islam.
Mendoakan Para Ulama
ุฌูุฒูุงููู ู ุงููู ูููููู ุนูุธูููู ู ุงููุฃูุฌูุฑูุ ููุงููุนููููู ู ูุนู ุบูููุฑูุงูููู ููุงููุจูุฑูู
Ya, semoga Allah membalas kebaikan para ulama kita dengan balasan yang besar. Dan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas mereka dengan ampunan dan banyak kebaikan. Tidak kita herankan, ya, bahwasanya mendoakan orang yang kita ambil ilmu darinya itu tanda ilmu diberkahi. Ya, maka para guru itu, guru-guru kita harus kita doakan, ya. Kita bawa dalam doa. Kenapa? Kita sampai ke titik ini, kita paham agama, ya, itu lewat dari guru kita. Terutama guru-guru ngaji yang pas kecil, ya, kita belajar ngaji sama mereka, kadang itu terlupakan, ya. Ustaz dia enggak, belum, belum sunah. Antum bisa baca Qur’an tuh, pahalanya berapa untuknya, gitu ya, doakan. Yaitu tanda ilmu diberkahi. Jangan lupakan para guru. Walaupun nanti suatu saat antum ketika pulang kampung, ya, ilmu antum mungkin lebih banyak dari mereka itu. Tapi ingat, ya, bahwasanya dulu antum bisa baca Qur’an lewat mereka, itu besar pahalanya dan besar kebaikannya.
Ya, karena ketika ada orang memberikan sesuatu ke kita, maka hendaknya kita balas. Ya, kalau seandainya tidak ada, tidak bisa kita balas. Balas dengan yang sama, gitu. Kalau gak bisaโฆ seperti orang meninggal, gimana antum kasih? Masa antum ngajarin lagi ke sana, ke kuburan itu, sudah mati, sudah meninggal, ya. Maka caranya dengan cara doakan. ููููููุฏูุนู ูููู, maka doakan, dengan doa itulah cara kita membalas kebaikan mereka. Maka para ulama yang kita mengambil ilmu dari mereka, mulai dari dulu sahabat Rasulullah ๏ทบ, faman ba’dahum, maka di situlah kenapa sahabat tuh kita ucapkan terus ุฑูุถููู ุงูููู ุนููููู, ya, para ulama kita ucapkan ุฑูุญูู ููู ุงูููู. Kenapa? Karena kita ambil istifadah sama mereka, maka pantas untuk kita doakan. Kita ucapkan ุฑูุถููู ุงูููู ุนูููููู ู kepada para sahabat karena keutamaan mereka yang paling besar di antara ulama lainnya. Dan kita ucapkan ุฑูุญูู ููู ุงูููู, ya, kepada orang setelah mereka tuh, dari tabiin, setelahnya, setelahnya.
Dan semua kebaikan itu kembali ke satu orang, itu siapa? Nabi Muhammad ๏ทบ. Ya. Walidza, inilah yang menjadi salah satu alasan, fa innal mahrum, orang yang terhalang dari pahala Allah, orang yang rugi, adalah orang yang disebutkan nama Nabi ๏ทบ, tapi gak mau berselawat. Kenapa kita doakan terus Nabi ๏ทบ? Kenapa kita berselawat terus untuk baginda Nabi ๏ทบ? Karena kebaikannya gak ada balasan, gak ada tara tuh kebaikannya. Ya, menyelamatkan antum, menyelamatkan kita semua dari neraka ke surga. Tuh, siapa yang bisa balas tuh? Menunjukkan kita jalan yang benar. Ya, gak membuat kita bingung di kehidupan dunia ini. Bagaimana beliau berjuang untuk kebenaran itu tersebar, walaupun beliau sampai diusir dari kampung halamannya, walaupun sampai bermusuhan dengan keluarganya, hanya untuk kita, gitu. Maka betapa besar pahala, eh, betapa besar kebaikan yang beliau berikan kepada umatnya. Maka pelit sekali, ya, ketika nama beliau disebutkan kita tidak berselawat, ya. Jadi ketika disebutkan nama beliau, diam, ada orang baca hadisnya, diam. Baca ๏ทบ, ๏ทบ, ya.
Nah, dan faedah, ya, bahwasanya selawat itu ู ูุนูุฑูููุถูุฉู ุนููููููู, selawat kita kepada Nabi ๏ทบ itu akan ditampakkan, disampaikan kepada beliau, ya. Disampaikan kepada beliau. Mungkin kita stop sampai sini. Ana dapat faedah dari Syekh Sa’ad asy-Syatsri hafidahullah. Kita biasanya pahamnya cuma sampai situ kan, bahwasanya selawat kita akan sampai ke Nabi ๏ทบ. Sudah, itu kan faedah, dan itu keutamaan. Stop sampai situ. Cuma beliau mengatakan, “Antum bayangkan ketika selawat antum ditampakkan ke Nabi ๏ทบ, ternyata selawat antum yang paling dikit.” Gak malu antum, gitu. Harusnya malu. Nabi tahu antum selawat antum berapa, gitu. Karena Nabi lihat, Nabi disampaikan, “Ternyata orang ini banyak nih.” Orang banyak selawatnya kepada Nabi ๏ทบ. Ternyata kita sedikit. Ya, hari Jumat selawatnya kapan? Ketika khatib khotbah. Padahal selawat terbaik adalah selawat di hari Jumat. Malam Jumat, seharian Jumat tuh selawat. Bahkan dikatakan para ulama mengatakan, lebih baik, bukan Syekh asy-Syatsri, Syekh asy-Syinqithi, selawat bahkan selawat lebih afdal daripada baca Qur’an di hari Jumat. Padahal afdhalu dzikri apa? Al-Qur’an kan. Tapi selawat lebih baik di hari Jumat, karena Nabi ๏ทบ katakan itu. Makanya jangan ketika khotbah aja Rasulullah ๏ทบ, atau ketika hadis. Gak. Baca terus, ya. Kenapa? Sebuah kebanggaan ketika apa? Nama kita disebut kepada Nabi ๏ทบ karena kita sudah berselawat. Na’am, thayyib.
Kaidah Pertama: Niat Adalah Syarat Bagi Amalan
Tsumma qala:
ูููููุงุชูููุง ุดูุฑูุทู ููุณูุงุฆูุฑู ุงููุนูู
ูููุ ุจูููุง ุงูุตููููุงุญู ููุงููููุณูุงุฏู ููููุนูู
ููู
Masuk kita kaidah pertama, ya. Niat kita adalah syarat untuk semua amal. Dengan niat itulah tampak amal itu menjadi saleh atau fasid, gitu. Qala Syekh asy-Syu’ayir hafidahullah, kaidah ini, ya, tersusun dari dua kaidah, kata beliau.
Yang pertama, ูููููุงุชูููุง ุดูุฑูุทู ููุณูุงุฆูุฑู ุงููุนูู ููู. Lebih bagus adalah ูููููุงุชูููุง agar apa? Wazannya seimbang. Wazan itu bahasa Indonesia apa itu? Dalam syair gitulah pokoknya, agar ketukannya sama. Maksudnya di sini adalah niat siapa? Niat orang yang sah niatnya. Karena ada orang yang tidak sah niatnya. Yaitu setiap orang yang di bawah umur tamyiz, belum tamyiz dia, maka niatnya tidak dianggap. Karena syarat niat apa? Akal. Syarat niat itu antum paham apa yang antum niatkan. Kalau tidak paham, ya berarti tidak ada niatnya, tidak sah niatnya. Yang kedua, orang kafir. Karena apa? Orang kafir tidak diterima semua perbuatannya. Salah satunya niat. Niat itu amalan hati, ya. Syarat sahnya niat adalah seorang yang berniat adalah orang Muslim. Orang kafir tidak sah niatnya, tidak dihitung oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang kafir gak sah niatnya. Berarti gak masuk dalam kaidah ini. Dan yang ketiga, yaitu orang yang punya penyakit sehingga menghilangkan akalnya, semua akalnya, seperti orang gila, ya, orang tidur, yang seperti itu mereka tidak sah perkataannya, tidak sah perbuatannya. Maka perkataan beliau ูููููุงุชูููุง, ya, maksudnya apa? Niat orang yang sah niatnya. Baru niat yang seperti itu adalah syarat untuk semua amalan.
Perkataan mushannif, ya, bahwasanya niat itu adalah syarat dari semua amalan, yaitu mencakup apa? Syarat sah dan syarat gugurnya kewajiban. Apa beda shihhah dan ijza’? Ya, ajza’ahu, shahhat, shalatuhu shahihah, shalatuhu mujzi’ah. Terkadang shahihah dan mujzi’ah ini muradif, dia persamaan, ya. Akan tetapi ada ulama yang membedakan, ya, mereka mengatakan bahwasanya ijza’ itu adalah hasil dari shihhah. Tidak semua shihhah, ijza’. Sebagian perbuatan kita yang sah, dia tidak mujzi’. Mujzi’ itu artinya bisa kita katakan gugur kewajibannya. Contoh seperti apa? Orang yang salat Zuhur tapi niatnya bukan niat salat wajib, tapi salat sunah. Yang seperti ini sah, tapi tidak mujzi’. Dalam artian apa? Salat Zuhurnya tidak gugur, gitu ya. Baik. Boleh salat Zuhur dengan niat nafilah? Gak boleh. Kata Syekh ini, “Boleh.” Antum, antum bilang gak boleh? Antum aja yang syarah ini, ya. Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu. Beliau salat Isya bersama Nabi ๏ทบ, kemudian beliau pulang ke kaumnya, salat Isya lagi. Salat Isya yang kedua sunah. Tapi salat Isya, tapi yang sunah. Kenapa? Kewajiban sudah gugur tadinya. Jadi ada yang sah tapi tidak gugur kewajiban. Seperti apa? Misalkan mungkin yang lebih inilah, yang kita sepakatilah. Mungkin tadi antum khilaf, enggak setuju antum ya. Anak yang belum baligh tapi sudah tamyiz, 10 tahun, 11 tahun, haji. Sah gak hajinya? Sah, ya? Sah hajinya. Tapi apakah gugur kewajibannya? Gak. ุตูุญูููุญู ููููุง ููุฌูุฒูุฆู. Bisa paham bedanya antara dua ini? Tapi yang mujzi’ pasti shahih.
Jadi pertama, niat itu fungsinya adalah syarat untuk sahnya suatu ibadah. Kalau tidak ada niat, berarti ibadahnya tidak sah. Dan niat juga syarat untuk ijza’. Ya, kalau tidak ada niat, maka tidak mujzi’ah. Cuma contoh haji tadi bukan masalah niat, ya. Tapi cuma untuk membedakan antara sahih dan mujzi’. Yang contoh niat mempengaruhi ijza’ itu contohnya tadi, salat wajib tapi dengan niat nafilah. Ya, salat wajib dengan niat nafilah. Thayyib. Mandi junub tapi niatnya nafilah. Mandi besar tapi niatnya nafilah, mandi untuk Jumatan, ya kan sama gerakannya, ya. Tapi dia niatkan untuk apa? Hadir Jumatan, bukan untuk mengangkat junub, ya, mengangkat hadas besar. Sah gak mandinya? Dia niat mandi ini mandi ibadah, ya, bukan mandi segar, bukan mandi bersih. Dia niat mandi untuk hadir Jumatan, sah gak niatnya? Sah. Tapi apakah gugur kewajibannya dari junub? Gak. Jadi niat mempengaruhi apa? Gugurnya kewajiban. Dan niat juga mempengaruhi sah atau tidaknya satu amalan.
Yang ketiga, niat itu adalah syarat dapat pahala. Bisa jadi ada satu amalan dia sah, gugur kewajibannya, akan tetapi apa? Tidak ada pahalanya. Ini yang disebut oleh para ulama dengan niat ikhlas. Ibnu Rajab menyebutkan bahwasanya pembahasan fuqaha, para ulama fikih, itu hanya sekedar membahas apa? Niat untuk sah dan gugurnya kewajiban saja. Mereka tidak, pembahasan tidak masuk dalam pembahasan apa? Ikhlas, diterimanya amal atau tidak oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Itu tidak pembahasan para fuqaha. Mereka cuma membahas apa? Orang kalau sudah salat seperti itu, sah atau tidak salatnya? Sudah selesai. Itu pembahasan orang fikih, ya. Kalau orang fikih itu ditanya, “Sah gak salat ana? Mujzi’ah kah salat ana?” Maksudnya apa? Cuma sampai, “Ana perlu salat lagi gak?” Ah, gitu. Cuma sampai itu pembahasannya, ya. Tidak pembahasan antum ikhlas atau tidak ikhlas. Tapi niat sebenarnya pembahasannya sampai kepada dapat pahala atau tidak. Para ulama fikih, mereka tidak bahas niat yang kaitannya dengan pahala. Orang yang bahas keikhlasan adalah ulama yang membahas adab, tazkiyatun nufus. Nah, itu kalau buku-buku tazkiyatun nufus bahas niat, berarti pembahasannya di mana? Keikhlasan, ya. Tidak pembahasan di sah atau tidak suatu amalan, gak. Pembahasan mereka lebih kepada ikhlas.
Walidzalika, maka kita di samping antum belajar fikih, harus samping harus juga belajar adab, harus belajar tazkiyatun nufus. Namun juga terkadang para ulama fikih memasukkan pembahasan adab di awal kitab fikih mereka. Ada juga, ya. Dan terkadang memasukkannya ke dalam akhirnya, seperti Bulughul Maram, kitab hadis-hadis ahkam kan, hadis-hadis hukum. Tapi beliau tutup kitabnya dengan kitab jami’, ya, dalam masalah adab. Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah, ya. Ini ulama Hanabilah, mereka masukkan pembahasan adab di akhir kitab. Ada juga ulama memasukkan pembahasan adab di awal kitab. Dan sebagian ada juga yang menyendirikan pembahasan adab itu agar apa? Gak terlalu panjang tulisannya, satu buku udah disendiriin aja. Beliau menyebutkan ulama-ulama Hanabilah dari sini kebanyakan, karena apa? Karena beliau seorang Hambali. Ya, dan qadha’-nya, keputusan mahkamah di Saudi Arabia adalah berpatokan kepada mazhab Hambali. Indonesia Syafi’i, beneran? Enggak tahu ana itu beneran apa gak.
Mempelajari masalah hati, ya, kemudian sunah-sunahnya amalan zahir, kemudian masalah berinteraksi dengan orang lain, dan adab-adab yang lainnya itu termasuk perkara penting, ya. Jangan sampai kalau ada kajian tentang tazkiyatun nufus kita tidak hadir. Ya, “Gak, ana pelajaran ushul fikih aja, ya. Ya, adab itu gampanglah, ya. Ana sudah beradab. Ushul fikih ini perlu kita belajar.” Dia bilang, “Gak, semuanya perlu, ya.” Karena apa? Karena antum belajar ushul fikih saja, apalagi kalau ushul fikihnya sudah sampai bab-bab tinggi, ya. Yang masuk situ jidal, debatnya ulama, bantah ini, dan sebagainya, itu masuk mantik di situ dan sebagainya, ya. Gak diiringi dengan tazkiatun nufus, keras hati kita. Keras hati kita, debat terus. Antum lihat orang tuh kayaknya mau debat aja kayaknya, ya. Harus butuh apa yang harus dibarengi agar apa? Lembut hati kita. Para penuntut ilmu butuh hal ini.
Dan aku menasihatkan kepadamu satu kitab yang sangat luar biasa. Kata beliau, “Usahakan untuk bacanya, walaupun dibagi-bagi, sehari berapa atau satu bulan berapa.” Dalam bab adab. Bahkan menurut beliau, Syekh asy-Syu’ayir, tidak ada kitab yang menyamai kitab ini. Saking luar biasanya, itu kitabnya Ibnu Muflih, ya, Al-Adabus Syar’iyyah wal Minahul Mar’iyyah, gitu. Nah, jadi punya niat dulu, ya. Punya niat dulu untuk baca kitab ini, gitu. “Yang ini dulu, Ustaz, Kitabul Ilmi Syekh Utsaimin aja masih belum paham.” Nah, maksudnya ada target lah, ya. Ini kitab yang sangat bagus, mungkin bisa. Dari Syekhil ‘Allamah Syamsuddin Muhammad bin Muflih ad-Dimasyqi rahimahullahu ta’ala. Ya, ini penting untuk ada di perpustakaan antum, ya. Ini salah satu yang terbaik yang ditulis dalam bab tazkiyatun nufus atau masalah adab.
ุจูููุง ุงูุตููููุงุญู ููุงููููุณูุงุฏู ููููุนูู ููู (Dengan niat itu, amal bisa shalih dan bisa fasid). Di sini mushannif cuma membahas, menyebutkan salah satu contoh pentingnya niat, yaitu berkaitan dengan sahih atau tidaknya suatu amalan. Tapi kata beliau, niat itu berkaitan dengan tiga hal:
- ุงูุตููุญููุฉู ููุงููููุณูุงุฏู (Sah atau tidaknya).
- ุงููุฅูุฌูุฒูุงุกู ููุนูุฏูู ููู (Gugur kewajiban atau tidak).
- ุงูุซููููุงุจู ููุนูุฏูู
ููู (Dapat pahala atau tidak).
Itu semuanya berkaitan di mana? Niat. Kenapa beliau lebih menekankan masalah sah atau tidaknya? Karena sebagian ulama mereka mengatakan niat tidak ngaruh kepada sah atau tidaknya satu amalan. Ada ulama yang berpendapat niat itu hanya berhubungan dengan pahala, bukan pada sah atau tidaknya satu amalan. Coba baca buku Al-Asybah wan Nadza’ir punyanya Hanafiyah, Ibnu Nujaim kalau gak salah, yang mana mereka menjadikan kaidah, tapi bukan bahasa hadis, ya, bukan bahasa hadis, tapi diambil dari hadis ุงููุฃูุนูู ูุงูู ุจูุงูููููููุงุชู. Mereka namakan apa? ููุง ุซูููุงุจู ุฅููููุง ุจููููููุฉู (Gak ada pahala kecuali dengan niat). Bukan sah atau tidak, gak, pahala. Antum wudu gak ada niat, sah, tapi antum gak ada pahalanya. Ini menurut Hanafiah. Jumhur ulama, gak. Ya, niat mempengaruhi amalan sah atau tidaknya. Karena Nabi ๏ทบ mengatakan ุฅููููู ูุง ุงููุฃูุนูู ูุงูู ุจูุงูููููููุงุชู. Kalau antum gak ada niat di situ untuk cari ibadah, gak ada, gak sah ibadahnya. Ya, beliau menjadikan pengaruh niat itu cuma pada pahala saja, ya, tidak sampai mempengaruhi sah atau tidaknya satu amalan. Bukan berarti semua amalan mereka katakan sah tanpa niat, bukan, kata beliau. Cuman ada dari permasalahan-permasalahan seperti wudu itu tadi kita bahas, ya. Ana rasa salat Hanafiyah juga pakai niat, ya. Tapi beberapa pembahasan mereka katakan niat tidak mempengaruhi sahnya amalan. Tapi mereka sempitkan, gak semua amal kata Hanafiah. Sehingga apa? Syekh Sa’di di sini menyebutkan pembahasan niat ุจูุงูุตููููุงุญู ููุงููููุณูุงุฏู ููููุนูู ููู karena apa? Untuk membantah Hanafiah yang mengatakan bahwasanya niat tidak mempengaruhi sah atau tidaknya satu amalan. Thayyib.
Kaidah Kedua: Agama Dibangun di Atas Maslahat
Kaidah kedua. Qala rahimahullah:
ุงูุฏูููููู ู
ูุจูููููู ุนูููู ุงููู
ูุตูุงููุญูุ ูููู ุฌูููุจูููุง ููุงูุฏููุฑูุกู ููููููุจูุงุฆูุญู
Ya, ini kaidah kedua yang beliau sebutkan bahwasanya syariat ini dibangun di atas ambil maslahat dan nolak mafsadat. Syariat ini dibangun di atas satu kaidah penting, ya. Ngambil maslahat dan menolak mafsadah. Yakni, kata beliau, “Tapi maafkan saya,” katanya, “Jadi agak panjang nih pembahasan antum,” kata dia, ya, karena beliau perlu membahas ini agar paham. Sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya semua aturan syariat kembali ke kaidah ini.” Semua aturan syariat dari A sampai Z, dari alif sampai ya, tuh, itu dibangun di atas satu kaidah ini. Yaitu apa? Ngambil maslahat dan menolak mafsadat. Dan ini benar, kata beliau. Di antaranya adalah yang ambil pendapat yang mengatakan hal itu adalah Al-Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdussalam dalam kitabnya Qawa’idul Ahkam. Beliau mengatakan bahwasanya semua aturan syariat ini semuanya, ya, itu membawa maslahat dan menolak mafsadah.
Ini benar. Bahkan sebagian ulama ada yang mengatakan bahwasanya syariat itu hanya kembali ke setengah kaidah ini saja. Kaidah full-nya apa tadi? Mengambil manfaat, menolak mudarat. Satu kaidah tuh, ya. Ada ulama mengatakan setengahnya aja, yaitu apa? Jalbul maslahah (mengambil maslahat). Sudah, agama dibangun di atas maslahat. Dan beliau mengatakan, karena apa? Karena menolak mafsadah itu tujuannya adalah untuk mendatangkan maslahat. Sudah sama, ya. Dan ini adalah pendapatnya Ibnu Taimiyah. Dan dua ini tidak bertentangan, ya. Sama, ya. Yaitu apa? Intinya adalah agama ini dibangun di atas maslahat dan menolak kemudaratan. Sumbernya sama, ya, sama-sama dibangun di atas kemaslahatan.
Kaidah ini dibangun di atas perkataan kita, kemarin sudah kita bahas, bahwasanya agama ini, Allah membuat aturan itu karena ada sebab dan hikmah. Sebab dan hikmah yang sudah kita bahas pekan kemarin, ya. Oleh karenanya, orang yang ahlul kalam, ya, para ulama-ulama kalam, ulama filsafat itu, yang mereka menafikan bahwasanya perbuatan Allah itu ada illah-nya, ada sebabnya. “Terserah Allah aja, ya. Tidak ada Allah ingin cari maslahat untuk hamba.” Kenapa kita disuruh ini? “Karena Allah ingin, sudah.” Bukan karena kemaslahatan atau apa, gak ada, ya. Karena mereka mengatakan apa kemarin? Karena seolah-olah Allah bergantung dengan kemaslahatan kita sehingga Allah suruh, gitu. Padahal Allah itu Qawiyyun ‘Aziz, ya. Allah itu punya aturan sendiri, gitu. Gak ada kaitannya dengan maslahat kita, kata mereka, ya. Sehingga apa? Kenapa kita disuruh ini? Ya, karena Allah ingin, sudah, menunjukkan kekuasaan penuh, gitu. Enggak ada kaitan sama maslahat antum dan sebagainya.
Namun anehnya mereka apa? Dalam masalah akidah mereka buat seperti itu. Perbuatan Allah tidak ada ta’lil (alasan). Cuman ketika masuk masalah fikih, mereka gak bisa lari untuk mengatakan bahwasanya ini ada illah-nya, ini ada tujuannya. Padahal awalnya mereka mengatakan apa? Perbuatan Allah tidak ada tujuan, hanya membentuk kekuasaan. Tapi ketika masalah fikih, mereka katakan ada illah, ada hikmah di situ. Thayyib. Sehingga dikatakan apa? Dia bantah dirinya sendiri. Dan ini tidak benar, kata beliau. Yang benar adalah perbuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala itu ada illah yang menunjukkan itu kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala. Makanya nama Allah itu Hakim, Dzat yang punya hikmah, Maha Punya Hikmah. Begitu. Perbuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala itu ada hikmahnya, ya, yang luar biasa. Kita tahu atau kita tidak tahu, ya. Dan Allah itu Rahim. Kalau mereka mengatakan Allah tergantung dengan maslahat kita, gak seperti itu pemahamannya. Karena kasih sayang Allah yang sangat besar untuk hamba-Nya, Allah buat aturan untuk kemaslahatan hamba. Karena kebaikan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukan karena Allah ngikutin keinginan hamba-Nya, gak, tapi karena kebaikan Allah ‘Azza wa Jalla, karena kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah bikin aturan yang sesuai dengan kemaslahatan hamba dan Allah yang berilmu. Maka Allah seringkali menggandengkan antara Alimun Hakim. Ya, Allah tahu dan pengetahuan Allah itu ada hikmah di situ. Kadang-kadang kita tahu tapi gak bijak, ya. Ada orang bijak tapi dia tidak berilmu. Ada orang berilmu tapi tidak bijak. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Berilmu dan Maha Bijak, Maha Punya Hikmah. Allah berfirman, “ุฃูููุง ูููู ุงููุฎููููู ููุงููุฃูู ูุฑู“. Ya, milik Allahlah semua makhluk itu dan semua aturan. Ciptaan Allah itu ada hikmahnya, ada tujuan yang Allah inginkan, dan detail, ya. Begitu juga dengan aturan-aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketika antum sudah paham bahwasanya perbuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala itu ada hikmah, ada illah dan sebagainya, maka antum harus tahu bahwasanya pembahasan maslahat itu pembahasan yang sangat besar, kadang-kadang gak jelas. Karena bisa jadi ada menurut kita itu maslahat, tapi menurut antum itu mafsadat. Ana mandang itu maslahat, tapi menurut antum, “Gak, ini mafsadat.” Ya, bisa beda gak orang memandang maslahat-mudarat? Bisa. Bisa jadi ada orang yang ngomong apa? “Saya hadir di majelis ilmu ini maslahat.” Kenapa? Dapat ilmu, ilmu warisan Nabi ๏ทบ. Ternyata ada temannya yang gak ngaji, ya. Dia bilang ke dia, “Bahkan itu mafsadah.” “Gak, antum hadir di majelis ilmu itu mafsadah.” Dia bilang, “Kenapa mafsadah?” “Karena antum gak buka toko, akhirnya toko antum nganggur, gak ada pegawainya, tutup.” Sehingga engkau rugi yang harusnya kau dapatkan sehari itu pendapatan rata-rata 500 riyal. Kata dia, “Akhirnya hari ini gak dapat, mafsadah berarti, ya.” Yang bisa engkau dapatkan kalau engkau jualan, tapi gara-gara datang ngaji, gak jadi dapat. Maslahat atau mudarat tuh? Mulai mikir kan, ya. “Oh iya benar juga, maslahat-mudarat nih.” Thayyib. Sehingga apa? Masalah maslahat-mudarat ini terlalu besar. Ya, kita cukupkan dulu sampai sini. Nanti kita bahas maslahat-mudarat di sesi yang berikutnya. Wallahu ta’ala a’lam.
ููุตููููู ุงูููู ููุณููููู ู ููุจูุงุฑููู ุนูููู ููุจููููููุง ููุญูุจูููุจูููุง ู ูุญูู ููุฏู.