Dauroh Syar’iyah: Kitab Tazhimus Sunnah #2
1. Mukadimah Sesi Kedua
Alhamdulillah, wassalatu wassalamu ‘ala Rasulillah. Allahummaghfirli ustazina wa masyaikhi wal hadhirin jami’al muslimin.
Kita lanjutkan sesi yang kedua dari Dauroh Kitab Takzimus Sunnah yang ditulis oleh Syekh Abdul Qayyum hafidzahullahu ta’ala. Kita masih di dalam mukadimah.
A. Metodologi Penulis Kitab
Penulis menyebutkan, “Saya akan mencukupkan diri dengan menyebutkan nash-nash (teks dalil) baik dari Al-Qur’an, hadis Nabi ﷺ, ataupun atsar (riwayat dari salaf), dan sebagian dari penjelasan para imam.”
Beliau melanjutkan, “Dan yang demikian adalah cukup, insyaallah, di dalam menjelaskan kebenaran dan petunjuk. Namun, siapa yang bisa mengambil faedah? Mereka adalah:
لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
Artinya: “…bagi orang yang memiliki hati atau yang memasang pendengarannya dan dia juga menyaksikan (hadir dengan fokus).”
Ini adalah peringatan penting. Seseorang apabila ingin mengambil faedah dari ayat-ayat Allah maupun hadis Nabi ﷺ, dia harus datangkan hatinya untuk memahami dan datangkan pendengarannya dengan baik.
B. Doa Penulis
Beliau berdoa, “Dan hanya kepada Allah saja kita meminta supaya Allah ﷺ memberikan manfaat kepadaku dan juga orang yang sampai kepadanya kitab ini.”
Kitab ini ditulis kurang lebih 32 tahun yang lalu (berdasarkan taqrid Syekh Muhammad al-Mukhtar tahun 1414 H) dan sampai hari ini masih diambil faedahnya. Ini termasuk manfaat yang beliau inginkan, dan ketika antum mempelajari dan mengambil manfaat, beliau juga mendapatkan pahalanya dari Allah ﷺ.
2. Definisi “As-Sunnah” dalam Judul Kitab
Di dalam mukadimah ini, beliau ingin menjelaskan makna dari kata “As-Sunnah” pada judul kitab.
A. Makna yang BUKAN Dimaksud
- Bukan Sinonim dari Mandub atau Mustahab: Bukan yang dimaksud dengan sunnah di sini adalah sesuatu yang dianjurkan (sinonim dari mandub dan mustahab), yang merupakan lawan dari makruh (dibenci) saja.
- Bukan Lawan dari Al-Qur’an: Bukan pula maksudnya adalah sunnah yang merupakan lawan dari Al-Qur’an, sebagaimana dalam perkataan, “Dalil dari Al-Kitab adalah demikian dan dari As-Sunnah adalah demikian.” (di mana sunnah di sini bermakna hadis).
B. Makna yang Dimaksud: Jalan Hidup dan Petunjuk Nabi ﷺ
Akan tetapi, yang dimaksud dengan sunah di sini adalah jalan (ath-thariqah) dan petunjuk (al-hadyu) Nabi ﷺ. Ini adalah makna yang lebih umum, mencakup:
- Yang wajib dan yang mustahab.
- Masalah akidah, ibadah, muamalah, dan suluk (perilaku).
- Baik yang ada di dalam Al-Qur’an maupun di dalam hadis Nabi ﷺ.
Ulama salaf berkata, “As-Sunnah adalah mengamalkan Kitab dan Sunnah, mencontoh salafus saleh, dan mengikuti atsar.”
3. Pasal: Dalil-dalil Wajibnya Mengagungkan Sunnah
Di dalam pasal yang pertama ini, beliau menyebutkan dalil-dalil yang menunjukkan tentang wajibnya mengagungkan sunnah Nabi ﷺ.
A. Dalil-dalil dari Al-Qur’an
- Tidak Ada Pilihan Lain (QS. Al-Ahzab: 36)وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْArtinya: “Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.”Ayat ini menunjukkan bahwa bagian dari takzim adalah mengikuti ketetapan Allah dan Rasul-Nya tanpa mencari pilihan lain.
- Taat Kepada Rasul adalah Taat Kepada Allah (QS. An-Nisa: 80)مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَArtinya: “Barang siapa yang menaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah menaati Allah.”Ketaatan kepada Rasul adalah bentuk takzim. Semakin sempurna takzim kita, semakin kita bersegera dalam melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan beliau.
- Rasulullah sebagai Teladan Terbaik (QS. Al-Ahzab: 21)لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًاArtinya: “Sungguh telah ada untuk kalian pada diri Rasulullah ﷺ contoh yang baik, bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari akhir dan banyak mengingat Allah.”Termasuk takzim adalah menjadikan beliau sebagai satu-satunya teladan (uswah).
- Peringatan Keras bagi Penentang (QS. An-Nur: 63)فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌArtinya: “Maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih.”Sebagian salaf menafsirkan fitnah di sini adalah kesyirikan. Menyelisihi perintah beliau bisa menyeret kepada kekufuran.
- Menjaga Adab di Hadapan Rasul (QS. Al-Hujurat: 2)يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ … أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَArtinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengangkat suara kalian di atas suara Nabi… (dikhawatirkan) akan hapus amal kalian sedangkan kalian tidak menyadarinya.”Ibnu al-Qayyim mengomentari: jika hanya mengeraskan suara saja bisa menghapus amalan, bagaimana lagi dengan orang yang mendahulukan perkataan, petunjuk, dan jalan selain beliau di atas perkataan, petunjuk, dan jalan beliau?
B. Dalil dari Hadis: Wasiat ‘Irbadh bin Sariyah
Dalam hadisnya yang makruf, ‘Irbadh bin Sariyah menceritakan wasiat Nabi ﷺ yang sangat mendalam, di antaranya:
…فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Artinya: “…Maka kalian wajib berpegang teguh dengan sunnahku dan sunah para khulafa’ rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah sunah tersebut dengan gigi gerham kalian, dan waspadalah kalian terhadap perkara-perkara yang baru (dalam agama). Karena sesungguhnya setiap bid’ah adalah kesesatan.”
Hadis ini memerintahkan kita untuk berpegang teguh dengan sunnah sekuat-kuatnya.
4. Sesi Tanya Jawab
Pertanyaan 1: Meninggalkan Amalan Sunnah Sesekali
“Ana pernah mendengar kalimat bahwa sunah itu adalah sesuatu yang tidak boleh dikerjakan terus-menerus, dan dikatakan sunah ya ketika kita tinggalkan sekali-kali. Bagaimana maksudnya?”
Jawaban:
Ucapan ini tidak bisa diterima begitu saja. Memang ada sunnah yang dinukil bahwa Nabi ﷺ terkadang melakukannya dan terkadang meninggalkannya (contoh: shalat dhuha). Dalam hal ini, yang paling sempurna (al-ittiba’ al-kamil) adalah mengikuti cara beliau. Namun, jika seseorang melakukannya terus-menerus dengan keyakinan itu bukan hal wajib, maka tidak masalah. Jadi, tidak bisa dimutlakkan bahwa semua yang sunnah harus sesekali ditinggalkan.
Pertanyaan 2: Memakai Hadis ‘Aisyah sebagai Dalil Bid’ah
“Sebagian menjadikan hadis ‘Aisyah (yang tidak pernah melihat Rasulullah shalat dhuha tapi beliau sendiri melakukannya) sebagai dasar boleh melakukan bid’ah. Bagaimana menjawabnya?”
Jawaban:
Seorang sahabat mungkin tidak pernah melihat perbuatan Nabi (sunnah fi’liyah), tetapi dia mendengar ucapan Nabi (sunnah qauliyah). Ucapan Ummul Mukminin Aisyah tidak bisa dijadikan dalil bolehnya bid’ah. Kita wajib mendahulukan ucapan Nabi ﷺ yang begitu banyak mengharamkan bid’ah di atas ucapan manusia manapun. Mengambil dalil-dalil yang mutasyabih (samar) untuk membenarkan hawa nafsu adalah ciri orang yang di dalam hatinya ada penyakit.
Pertanyaan 3: Hukum Meninggalkan Shalat Sunnah Rawatib
“Bagaimana kalau tidak sampai melaksanakan shalat sunah rawatib? Apakah terkena dosa?”
Jawaban:
Shalat sunah rawatib hukumnya sunnah muakkadah (sangat dianjurkan), tidak sampai kepada kewajiban. Sehingga apabila seseorang tidak melakukannya, dia tidak berdosa. Tapi, dia telah meninggalkan amalan yang pahalanya sangat besar, di antaranya adalah untuk menyempurnakan kekurangan yang ada pada shalat wajib kita.
Penutup Sesi Kedua
Barakallahu fikum. Insyaallah kita lanjutkan pada sesi yang ketiga besok.
Shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajmain. Wasalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.