بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Hari ini kita akan melanjutkan kembali kajian hadis kita. Kita akan kembali melihat ke belakang, karena pada empat pertemuan terakhir kita melompat pembahasannya. Malam ini, إِنْ شَاءَ اللهُ, kita kembali untuk melanjutkan pembahasan hadis yang ke-25. Memang perjalanan kita lambat-lambat saja, kita nikmati. Jika kita hitung, pada pertemuan-pertemuan semester lalu kita baru sampai 24 hadis. Semester depan, kalau hanya 25 hadis juga, berarti kita akan mencapai 50 hadis. Tambah satu semester lagi, menjadi 75 hadis. Ini berarti kemungkinan pada pertemuan menjelang Ramadan kita bisa membahas hadis yang sama.
Tapi yang jelas, إِنْ شَاءَ اللهُ, semoga اللهُ عَزَّ وَجَلَّ memberikan ilmu dari apa yang kita pelajari. Mengenai tafsirannya, para ulama menyebutkan banyak sekali. Ibnu Katsir, misalnya, menyebutkan di antaranya pernyataan Ibnu Mas’ud, dan lafaz yang digunakan adalah: “Bekerja keraslah, bersemangatlah, dan bersungguh-sungguhlah.” Memang dalam syariat, tidak ada istilah seorang istirahat dari ibadah. Yang ada adalah berganti atau berpindah dari satu aktivitas yang bermanfaat kepada aktivitas bermanfaat lainnya. Maka sebagian ulama mengatakan, apa yang dilakukan setelah selesai dari ibadah yang fardu? Bukan sunah. Di antara ahli tafsir lain mengatakan, apabila engkau selesai dari yang sunah, lakukan yang diingatkan. Hal yang wajar bagi manusia biasa seperti kita adalah akan terjangkit penyakit bosan.
Orang yang melakukan aktivitas apa pun, sekalipun disukai, akan ada pada titik bosannya, termasuk dalam ibadah. Bahkan ketika seseorang semangat untuk melaksanakan ibadah di awal Ramadan, misalnya punya target khatam sekian kali, salat malam sekian rakaat, nanti di ujung-ujungnya ada juga rasa lemasnya. Apalagi jika antum perhatikan, ketika hilal tidak kelihatan seperti kemarin (bulan Syawal tidak kelihatan), maka bulan Ramadan digenapkan 30 hari. Orang menjadi paling malas tarawih pada malam ke-30, apalagi jika merasa sudah khatam, jadi semangatnya turun drastis, merosot. Maka, kita diingatkan dan perlu mengingat bahwa ibadah itu tidak ada batasnya. Kalaupun kita keluar dari bulan Ramadan, ibadah itu masih harus kita kerjakan. Bahkan, istiqamah itu merupakan sesuatu yang menunjukkan apakah kita berhasil atau tidak di bulan Ramadan.
Bahkan, kita malu dan sangat sedih kalau kita bayangkan, kemarin belum lama, sekarang baru awal-awal Syawal ini, kemudian kemarin di 10 hari terakhir Ramadan ada yang sampai semangat tidak mau ketinggalan tarawihnya 20 rakaat, ada yang 10 rakaat, kemudian malamnya ditambah 11 rakaat dan membaca satu juz selama satu jam atau bahkan lebih. مَا شَاءَ اللهُ, semangat sekali! Ada kepuasan tersendiri. Tapi begitu malam Lebaran, tinggal 1-2 rakaat saja (untuk salat sunah), ya ini masih mending karena ini sunah. Yang jelek sekali adalah kalau sampai ketinggalan salat fardunya. Kita bersyukur kepada Allah, kita ini Allah pilihkan tempat di tengah komunitas pelajar, penuntut ilmu syar’i. Tapi hal seperti ini bukan tidak penting, karena realitasnya tidak jarang juga ada yang muqassir (lalai) dalam al-muhafadzah ‘ala shalatil jama’ah (menjaga salat berjamaah). Kalau seandainya kita sebagai thalib (penuntut ilmu) saja ternyata tidak perhatian, salat bolong-bolong saja biasa, ini kalau seandainya tanpa uzur, tidak safar, tidak sakit, dan tidak ada alasan syar’i lainnya, tapi dia gampang saja terlambat, sering-sering begitu, tidak salat berjamaah, maka kita khawatir, berarti kemarin yang kita usahakan itu apa?
Maka, سُبْحَانَ اللهِ, di antara makna istiqamah yang bagus ditafsirkan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali dalam kitab Jami’ul Ulum wal Hikam dari perkataan Salaf, istiqamah itu artinya kontinu, terus berada pada jalur yang lurus (mustaqim), di atas الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ. Akan tetapi, itu banyak macamnya. Yang paling penting adalah seseorang tetap merasa berada pada keimanan, itu istiqamah yang sesungguhnya. Ya, di antara yang dinukil oleh Ibnu Rajab dari perkataan Abu Bakar ketika menafsiri إِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا (QS. Fussilat: 30), Abu Bakar (رَضِيَ اللهُ عَنْهُ) (dalam redaksi lainnya) mengatakan, ‘Mereka tidak bingung untuk mencari Tuhan selain Allah.’ Entah dalam berdoanya, entah dalam bergantungnya, merasa diawasi-Nya, itu hakikat istiqamah. Dan bukan itu saja, akan tetapi yang lain termasuk di antaranya yang fardu. Orang paling istiqamah adalah orang yang paling bisa disiplin dalam hal yang fardu, bukan sekadar orang yang rajin puasa sunahnya, salat Duhanya tidak ketinggalan, tapi salat fardunya ketinggalan terus. Ini terbalik, ini bukan istiqamah. Maka termasuk hal yang serupa dinukil oleh Ibnu Rajab Al-Hambali رَحِمَهُ اللهُ dari Ali bin Abi Thalib رَضِيَ اللهُ عَنْهُ, kata istiqamah artinya istaqim (berusahalah untuk lurus), kamu berusaha untuk menjaga, memelihara disiplin fardunya. Meskipun ini kemudian secara umum juga beliau nukil dari perkataan Qatadah رَحِمَهُ اللهُ, artinya secara umum seorang tetap berusaha untuk menjaga keistiqamahan beribadah kepada اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.
Semoga Allah menuliskan kita sebagai orang-orang yang betul-betul bertakwa. Kita pernah sampaikan dan kita pernah bahas bahwa erat kaitannya puasa untuk menggapai ketakwaan. Padahal, puasa itu tidak diterima kecuali dengan ketakwaan. Lalu bagaimana? Mana duluan, kita takwa dulu atau puasa dulu? Kita puasa untuk menggapai ketakwaan, padahal puasa kita tidak diterima oleh Allah kecuali kalau kita sudah bertakwa. Sedekah kita tidak diterima kecuali kalau kita bertakwa. Salat kita juga tidak akan diterima kecuali kalau kita bertakwa.
Maka, memang ketakwaan itu harus diusahakan, sebagaimana istiqamah juga harus diusahakan. Beliau ketika membaca firman Allah itu, kemudian ada balasan-balasannya, Beliau mengatakan, ‘اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبُّنَا فَارْزُقْنَا الْاِسْتِقَامَةَ‘ (Ya Allah, Engkau Tuhan kami, maka berilah kami rezeki istiqamah). Jadi, istiqamah itu kita minta kepada Allah. Karena kalau seandainya kita tidak minta kepada Allah, meskipun kita الْحَمْدُ لِلّٰهِ tidak ada beban di luar, tidak ada agenda-agenda, lalu kita bisa rajin sendiri, tidak ada jaminan. Jadi, istiqamah itu seorang minta kepada اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Dan di antara firman Allah, ada isyarat bahwa orang, bagaimanapun dia berusaha, pasti ada kekurangannya dalam berusaha untuk istiqamah, yaitu firman Allah (merujuk pada فَاسْتَقِيْمُوْٓا اِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُ QS. Fussilat: 6). Para ulama mengatakan, di dalam ayat ini Allah perintahkan kita istiqamah, tapi diperintahkan juga untuk meminta ampun kepada Allah. Karena sebagaimana seseorang, sehebat apa pun untuk mengusahakan istiqamah, pasti dia akan melakukan kekurangan, maka dia harus beristigfar, minta ampun kepada اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Bagaimanapun juga, kita tidak akan bisa jika kita bandingkan ibadah kita dengan ibadahnya para ulama Salaf, tapi kita berusaha untuk meneladani mereka dan kita menyadari banyak kekurangan.
Maka, di antara hal besar ini, termasuk di bagian akhir bulan Ramadan, beliau katakan, kita ingat bahwa ada orang yang terbagi dua. Ketika di bagian akhir bulan Ramadan, ada orang yang tertimpa rasa syukur. Tapi kadang ada orang merasa berhasil: khatam sekian kali, salat malam, aku pernah mengimami sekian kali, aku pernah begini begini, dan dia mulai menghitung kebaikan-kebaikannya dengan kebanggaan. Hati-hati! Itu bukan hanya itu, sebagian orang bahkan meremehkan orang lain. Meremehkan orang lain, bahkan mengatakan, ‘Kalau itu sih, itu belum apa-apa. Yang sudah apa-apa itu kita.’ Doa seperti ini bahaya sekali. Diingatkan ada hadis yang sahih dalam sunah terkait kisah zaman Nabi Daud (atau hadis Qudsi). Ketika ada orang yang menasihati orang yang fasik, dinasihati tidak mempan, dinasihati lagi tidak mempan. Akhirnya dengan kecongkakan dia, karena dia merasa, ‘Saya sudah berusaha ibadah, kok menasihati orang yang jarang ibadah tidak mau?’ Dia akhirnya (berkata buruk sehingga) Allah marah. Ada orang begitu. (Allah) katakan, ‘Siapa yang sombong, congkak, sok tahu, ingin intervensi kepada keputusan-Ku? Justru Aku sudah ampuni dia (yang fasik) dan Aku gugurkan amal-amalmu yang selama ini engkau banggakan.’ Ini hati-hati, jangan sampai seorang ightirar (terpedaya) dengan amalnya. Sementara yang kedua, ada orang yang inkisar, itu artinya dia sadar bahwa apa yang sudah dia kerjakan semua murni dari Allah, dan ini perlu disyukuri. Setelah disyukuri, dia perlu lestarikan.
Ya, kita bersyukur kemarin bisa i’tikaf, kita bisa khatam, kita bisa membaca sampai 1 juz, luar biasa. Kayak merasa sudah prestasi bisa salat malam satu jam penuh, sama sekali luar biasa enaknya itu. Karena penderitaan yang berat, salat malam menahan ngantuk, oh luar biasa itu. Padahal bisa saja tidak tidur, luar biasa. Tapi bagaimana jika di depan kita ada tantangan salat malam satu jam, kalau tidak tidur (sebelumnya) jadi bingung dia. Tapi ternyata ketika dia sudah minum kopi atau apa segala macam, sukses dia tidak ngantuk sama sekali. Wah, bangga. Hati-hati, hati-hati ya! Yang seperti ini kadang-kadang kita tertipu. Akhirnya kita merasa paling hebat di situ. Kayak gitu, dua tahun bisa seperti begitu. Ketika pindah tempat, apalagi kalau dipasang tenda (di masjid saat i’tikaf), tidak ada yang mengerti, tidak ada orang tahu kalau dia sedang bermunajat dengan dirinya.
Maka, ‘ala kulli hal (bagaimanapun juga), semoga اللهُ عَزَّ وَجَلَّ menerima amal ibadah kita semua dan kita bisa semakin mendekatkan diri kepada اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Baik, ikhwan sekalian, pembahasan pertama, pertemuan pertama, satu hadis saja. Kabar gembira ya, مَا شَاءَ اللهُ. Hadis yang ke-25, بَابٌ فِي الْمَذْيِ (Bab tentang Madzi) dan yang lainnya.
Ternyata yang selain ini, hadis yang kedua sudah di luar pembahasan tentang madzi. Hanya satu hadis saja (tentang madzi). Maka kita bahas tentang itu. Dan madzi ini yang sering kita dengar namanya. Memang itu lafaz yang paling dikenal. Lafaz fasih untuk ini banyak sekali, tetapi yang paling fasih dalam bahasa Arab, yang pertama justru bukan madzi ( مَذْيٌ ) tapi madzyu ( مَذْيُ ) dengan dzal sukun kemudian ya tidak ada tasydidnya. Jadi yang kedua, madziyyu ( مَذِيٌّ ) dengan tasydid pada ya, itu fasih juga dan paling fasih, tapi masih kalah dengan yang pertama, yaitu madzyu ( مَذْيُ ). Dan yang gampang seperti itu bacanya. (Madzi adalah) sesuatu yang keluar dari tempat keluarnya air kencing, dan cairan yang keluar dari tempat keluar air kencing selain kencing itu sendiri dan selain darah (karena itu menunjukkan sakit).
Poin Penting: Jenis-jenis Cairan Keluar dari Kemaluan
- Mani: Diketahui semua makhluk yang sudah dewasa. Apabila keluarnya dengan kekuatan dan dengan rasa enak, maka dia harus mandi. Mani, ma’ruf, suci (menurut pendapat yang kuat, namun mewajibkan mandi).
- Madzi: Putih, licin, tidak kental (encer/cair). Keluar ketika berhubungan badan atau mukadimahnya, atau mengingat yang menjurus syahwat. Kadang keluar tanpa dirasakan. Tidak dihukumi sama dengan mani menurut pendapat yang rajih (kuat).
- Wadi (وَدْيٌ): Cairan keruh putih (tidak seperti susu), licin, agak kental. Hukumnya (najisnya) sama dengan madzi. Biasanya keluar sebelum atau sesudah air kencing, atau karena mengangkat berat atau mengejan.
Pembahasan kita sekarang adalah madzi, yang kita sebutkan tadi sebagai mukadimah dari syahwat. Sebagian ulama mengatakan itu syahwat, menyatakan itu adalah (tanda) syahwat. Sementara ketika syahwatnya besar, maka yang keluar adalah mani. Sementara madzi adalah (akibat) syahwat yang kecil, dan terkadang orang menghayal saja bisa keluar. Dan akan kita bahas bagaimana orang berbeda-beda, ada orang yang tingkat syahwatnya tinggi sekali sehingga gampang sekali dia mengeluarkan madzi seperti ini. Dan ini memang pembahasan yang membuat orang seringkali malu dan sungkan.
Maka di antara pembahasannya adalah ketika seseorang bisa menyebutkan dengan kinayah (kiasan), ya, dan itu dipahami, maka itu aula (lebih utama) atau diprioritaskan, diutamakan. Seorang menyebutkan sesuatu yang rata-rata orang malu untuk membahas itu, akan tetapi bisa dipahami dengan kinayah, ya, lafaz isyarat, maka itu yang dianjurkan. Tetapi kalau tidak, maka menyebutkan apa adanya menjadi sesuatu yang harus, kalau memang tidak dipahami kecuali dengan itu. Dan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ketika bertemu dengan wanita-wanita yang bertanya, antum tahu rasa malunya wanita lebih besar dari laki-laki, maka sebagian mereka bertanya sampai memberi mukadimah, ‘Ya Rasulullah, Allah itu tidak malu dari kebenaran. Apakah seorang wanita harus mandi apabila dia bermimpi (basah) seperti laki-laki?’ Maka kata Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, ‘Iya (wajib mandi) jika ia melihat air (mani).’ Tapi (ada yang) bertanya, ‘Tetap apakah mungkin?’ Jadi selama ini yang biasa mengeluarkan sperma adalah laki-laki, tapi apakah perempuan bisa mengeluarkan air mani (sperma)? Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengatakan, ‘Iya. Kalau tidak dikeluarkan pula air itu (mani perempuan), air sperma itu, kemiripan anak dari mana? Sesungguhnya sperma laki-laki warnanya agak keruh kental, sementara sperma perempuan agak encer dan kuning. Mana yang lebih dahulu atau mana yang lebih dominan, lebih kuat, maka dia akan berpengaruh pada kemiripan.’ Sebagian ulama mengatakan kemiripan itu bisa dipengaruhi dengan mana yang lebih cepat keluar, dan kemiripan itu berupa (rupa) muka. Ada yang mengatakan dengan kekuatan gen sehingga kemiripan diwujudkan dengan jenis kelamin. Tapi itu semua adalah usaha untuk memahami. Tapi yang jelas, itu adalah sebab kemiripan seorang anak dengan orang tuanya karena memang dua-duanya ada percampuran antara sperma.
Artinya, yang seperti ini disebutkan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ karena memang perlu dijelaskan. Dan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyatakan (dalam konteks madzi) tidak membuat junub. Dan dalam riwayat yang lain, ketika sebagian shahabiyah bertanya (tanpa malu, dia bertanya), ‘Ya Rasulullah, cara bersuci dari haid itu bagaimana?’ (Nabi menjelaskan), ‘Begini, salah seorang dari kalian mengambil (kapas atau semacamnya), kemudian dikasih wewangian, kemudian dia gunakan untuk bersuci.’ (Aisyah berkata), ‘Ya Rasulullah, bagaimana cara untuk bersuci?’ (Nabi) mengatakan, ‘سُبْحَانَ اللهِ, bersucilah dengannya!’ سُبْحَانَ اللهِ di sini artinya itu adalah kalimat untuk ta’ajjub (keheranan), bukan ujub (bangga diri). Untuk keheranan. Orang Indonesia sering salah, (mengatakan) ‘سُبْحَانَ اللهِ, gantengnya anaknya!’ Salah itu, ya. سُبْحَانَ اللهِ, سُبْحَانَ اللهِ. Ini penggunaan kalimat yang perlu dibenarkan, ya. Khawatirnya kalau ada orang Arab, mereka tersinggung kelas berat. Saya (Ana) pernah mengalami kecelakaan (salah paham) seperti itu. Ada orang Saudi, dia bilang, ‘Anak saya sekarang, مَا شَاءَ اللهُ, jadi imam, hafal Quran.’ Saya (Ana) bilang, ‘سُبْحَانَ اللهِ!’ Maksud saya (Ana) ini adalah kata-kata pujian (kagum). Nah, ini سُبْحَانَ اللهِ yang benar (dalam konteks ta’ajjub).
Jadi, ketika bisa diucapkan dengan isyarat, maka itu yang diharapkan dan dianjurkan. Tapi kalau seandainya tidak, maka tidak mengapa seorang memberikan penjelasan apa adanya. Dari Ali bin Abi Thalib رَضِيَ اللهُ عَنْهُ, khalifah keempat, dan beliau seorang calon penghuni surga, sepupu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Beliau adalah orang yang memiliki keutamaan banyak dari sisi nasab dan dari sisi agama. Bukan karena nasab saja. Yang tidak beramal dengan baik, maka nasabnya tidak bisa diandalkan. Orang hanya mengandalkan nasab, apa manfaatnya? Abu Jahal itu orang paling kafir, disiapkan neraka dia sama Allah. Bahkan Bilal bin Rabah, yang dijadikan oleh para ulama sebagai contoh, seorang yang terhormat, disiapkan surga oleh Allah karena beliau (meskipun mantan) seorang budak, tapi dia bisa menjaga wudhunya, menjadi muazin Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, dan sebagainya.
Jadi, yang paling penting adalah bagaimana seorang bisa menjaga agamanya. Dan Ali bin Abi Thalib menggabungkan dua-duanya (nasab mulia dan amal saleh). Ali bin Abi Thalib رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ini oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dipuji dengan sesuatu yang mahal sekali, yaitu beliau katakan, ‘Ali bin Abi Thalib seorang yang cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, dan dicintai Allah dan Rasul-Nya.’ Hadisnya masyhur, antum sering dengar itu. Ketika terjadi perang Khaibar, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (bersabda), ‘Aku akan berikan bendera ini kepada orang yang menjadi penyebab kemenangan tentara ini, dan dia cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, dan dicintai Allah dan Rasul-Nya.’ Orang Arab mengatakan, yang penting itu bukan engkau mengekspresikan, ‘Aku cinta Allah, aku cinta Nabi-Nya,’ tetapi apakah kamu dicintai Allah atau dicintai Nabi-Nya atau tidak? Itu yang paling penting. Dan Ali akan mendapatkan itu. Ketika Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengatakan, ‘Bendera ini akan aku berikan kepada orang yang cinta Allah dan Rasul-Nya (dan dicintai Allah dan Rasul-Nya).’
Maka kata Umar bin Khattab رَضِيَ اللهُ عَنْهُ, ‘Tidak pernah aku mengharapkan sebuah jabatan kecuali hari itu.’ Karena Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengatakan orang yang akan dapat pimpinan, jabatan sebagai panglima, dia cinta Allah dan Rasul-Nya (dan dicintai Allah dan Rasul-Nya). (Ali) sedang sakit mata. Bahkan disebutkan dalam riwayat Salamah, beliau ini di Madinah karena sakit matanya. Sakit, (sulit) bisa melihat, bukan sampai buta, akan tetapi dia betul-betul terganggu sehingga beliau memang tidak ingin ikut (perang). Sudah sakit. Tetapi beliau kemudian (menyusul) dari (Madinah ke Khaibar untuk) perang bersama Nabi. Sorenya datang, paginya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengatakan itu. Akhirnya, ternyata (Ali) yang dipanggil (oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ). Kesakitan di matanya (diobati), maka diludahi oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ matanya, kemudian didoakan, maka sembuh, kemudian seolah-olah tidak pernah sakit sama sekali. Ini karena doanya, bukan karena ludahnya (secara zat). Ini Nabi. Kalau sekarang Nabi tidak ada, (ada yang) keluarganya lah dicari itu air liurnya. سُبْحَانَ اللهِ itu ya, betul-betul dijadikan rebutan itunya (ludah Nabi oleh sebagian sahabat karena keberkahannya). سُبْحَانَ اللهِ, para sahabat tidak pernah merebutkan air liurnya Ali. Mereka akhirnya (menerima bahwa) beliaulah yang menjadi orang yang mendapatkan itu (bendera). Intinya, ini merupakan sebuah kehormatan dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Selain itu, (Ali) sudah jadi pilihan Nabi, dijadikan sebagai keluarga Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Dan itu merupakan sebuah kedudukan yang Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ingatkan kita untuk mengagungkan (Ahlul Bait). Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah mengatakan, ‘Aku ingatkan kalian agar kalian bertakwa kepada Allah dan perhatikan keluargaku.’ Maka Abu Bakar mengatakan, ‘Lebih aku sukai untuk aku sambung (silaturahmi dengan keluarga Nabi) daripada kerabatku sendiri.’ Karena itu merupakan (bagian dari kecintaan kepada Nabi). Maka kita katakan, ini ditegaskan oleh beliau untuk loyal kepada semua sahabat Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, termasuk di antaranya keluarganya. Akan tetapi, Ahlussunnah tidak seperti Ahlul Ahwa (pengikut hawa nafsu). Ahlussunnah berbicara dengan ilmu, tidak seperti orang-orang Ahlul Ahwa yang mengikuti hawa nafsu maupun kebodohan sehingga mereka berlebihan. Kemudian dikatakan, dalam memperlakukan Ahlul Bait, Ahlussunnah tidak sama dengan orang-orang Rafidhah (Syiah ekstrem), tidak sama juga dengan orang-orang Nashibah (yang membenci Ahlul Bait). Mereka (Rafidhah) mengagungkan Ahlul Bait sampai sebagian mereka menuhankan, sampai sebagian mereka kelewatan. Kenapa? (Salah satu contohnya) karena (mereka menganggap) Ali bin Abi Thalib (seharusnya khalifah pertama, dan menyalahkan sahabat lain). Ini salah, ini kelewatan batas. Maka Ahlussunnah memiliki akidah yang jelas dalam hal itu.
Kemudian termasuk di antara keistimewaan Ali رَضِيَ اللهُ عَنْهُ, ketika akan Perang Tabuk, kalau tidak salah, oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ diwakilkan untuk menjaga Madinah. Dan kebiasaan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, apabila beliau berjihad meninggalkan Madinah, di kota ini harus ada orang yang bertugas untuk berjaga, jangan dibiarkan kosong, wanita tidak ada penjaganya. (Ali) seorang pendekar, beliau ditinggalkan. Maka beliau mengatakan, ‘Engkau tinggalkan aku bersama perempuan-perempuan dan anak-anak kecil?’ Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengatakan, ‘Tidakkah engkau ridha kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada Nabi setelahku?’ Ini yang dijadikan alasan oleh orang-orang Syiah, yang disebut oleh (penulis kitab, bukan Ali) رَحِمَهُ اللهُ, bahwa orang-orang Syiah mengatakan, nah ini merupakan tanda bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berwasiat setelahku nanti yang menjadi penggantiku adalah Ali. Maka salah sekali ketika ada orang yang meletakkan Abu Bakar, Umar, Utsman sebelum Ali. Bahkan mereka menyalahkan Ali juga, kenapa kok (tidak mengklaim), padahal dia kan wasinya.
Tapi (ulama Ahlussunnah) mengatakan bahwa hadis ini tidak menunjukkan tentang wasiat dan khilafah sama sekali. Itu adalah hadis yang menunjukkan keistimewaan Ali, tapi bukan (bukti) yang paling istimewa (untuk klaim khilafah). Karena menunjuk wakil jaga kota Madinah, (Ali) tidak pertama kali dijadikan, apa namanya, penjaga kota Madinah. (Sebelumnya ada yang lain) ketika Perang Uhud, kemudian juga beberapa sahabat Nabi yang lain juga pernah dijadikan wakil. Ditambah lagi, Nabi Harun bukan khalifahnya Nabi Musa, bahkan Nabi Harun meninggal lebih dulu daripada Nabi Musa. Maka hadis ini sama sekali tidak menunjukkan adanya istikhlaf (penunjukan pengganti) atau penunjukan ganti setelah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Seorang yang istimewa dan terhormat. Dan kita yakin, kita yakin, dan kita yakini itu sebagai agama yang kita peluk, bahwa Ahlul Bait merupakan orang yang harus kita hormati. Kita yakini bahwa mereka lebih afdal (utama) dari sisi nasab dibandingkan orang-orang yang (misalnya) dilahirkan sebagai orang Indonesia asli. Ini karena memang mereka mulia (nasabnya). Akan tetapi, semua diukur dengan ilmu dan dalil. Bukan karena (nasab) mereka, semua yang mereka kerjakan kita tiru, sekalipun bertentangan dengan dalil. Dari Ali رَضِيَ اللهُ عَنْهُ, beliau cerita, ‘Aku adalah orang yang banyak mengeluarkan madzi.’ Dalam bahasa Arab bisa dikatakan madza yamdzi ( مَذَى يَمْذِي ) atau amdza yumdzi ( أَمْذَى يُمْذِي ) kalau (seseorang) mengeluarkan (madzi). Jadi dia bisa berkata, ‘Aku mengeluarkan madzi.’ Dalam bahasa Arab, apa? Tidak usah capek begitu. Bisa dengan kata-kata amdza ( أَمْذَى ) itu, atau dua-duanya bisa, atau amdzaitu ( أَمْذَيْتُ ). Dua-duanya bisa. Ini (madzi) sering sekali keluar itu karena beliau adalah orang yang kuat syahwatnya.
Maka aku malu (untuk bertanya langsung kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ). Maka dalam beberapa riwayat, ini disebutkan di sini, yaitu (karena kedudukan) Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, karena anak beliau adalah istriku, berarti Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah mertuaku. Tidak enaklah aku cerita tentang urusan ini sementara beliau adalah mertuaku. Dalam riwayat yang lain, Sahih Muslim, disebutkan lima kaana ibnatihi (karena kedudukan putri beliau [Fatimah]), disebutkan tegas seperti itu. Aku malu karena memang Fatimah istriku dan beliau bapaknya. Maka aku perintahkan Al-Miqdad untuk bertanya kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (Nabi) bersabda, ‘Maka solusinya adalah dia cuci kemaluannya atau zakarnya, kemudian dia berwudu.’ وَلِلْبُخَارِيِّ (Dan dalam riwayat Al-Bukhari) disebutkan, ‘Cucilah kemaluanmu dan berwudhulah.’ Tapi dalam Sahih Bukhari yang asli, yang dicetak, itu disebutkan bukan seperti ini, akan tetapi terbalik (berwudhulah dan cucilah kemaluanmu). Dan ini ditegaskan oleh Ibnu Hajar bahwa penulis kita (Imam An-Nawawi dalam Umdatul Ahkam atau Syarahnya) justru meriwayatkan terbalik. Seolah-olah di situ, kok bisa begitu, wudu dulu baru cuci kemaluanmu?
Ini untuk pendapat orang yang mengatakan bahwa menyentuh kemaluan membatalkan wudu. Akan tetapi, Ibnu Hajar mengatakan sebenarnya ini juga riwayat Bukhari, tapi dalam riwayat yang lain, riwayat Ismail (bin Abi Uwais). Riwayat Ismail memang seperti ini yang ada di sini (cuci kemaluan lalu wudu), tidak menunjukkan urut (jika menggunakan wawu athaf), tapi maknanya sama. Artinya, seorang membersihkan dulu kemaluannya, baru setelah itu dia berwudu. Sekalipun ada orang yang mengatakan bahwa boleh dia berwudu terlebih dahulu, setelah itu ketika dia membersihkan kemaluannya (dengan penghalang agar tidak menyentuh langsung). Karena memang yang keluar dari kemaluan itu yang membatalkan wudu. Tapi kalau adanya najis di situ tapi tidak keluar lagi, maka itu tidak membatalkan wudu. Fahumtum (Pahamkah kalian)? Artinya, misalkan najis itu keluar, maka wudunya batal, ya kan? Wudunya batal. Baik, sekarang sudah batal dan najisnya sudah keluar. Sekarang orang itu berwudu, maka hadasnya sudah terangkat karena dia sudah wudu, meskipun najisnya masih ada (di pakaian misalnya, belum dibersihkan). Karena najis yang di luar (badan, menempel di pakaian) itu tidak membatalkan wudu. Yang membatalkan adalah proses keluarnya najis (dari kemaluan). Tapi kalau najisnya masih ada (di pakaian) tapi sudah di luar (badan), itu tidak membatalkan wudu (yang sudah dilakukan). Tayyib. Berarti bagaimana kalau mau wudu dulu? Kalau mau wudu dulu, maka ketika dia mencuci kemaluan itu, dia perlu menggunakan ha-il (penghalang) atau kain penghalang biar tidak langsung bersentuhan, biar tidak batal wudunya karena menyentuh kemaluan. Seperti itu. Maka (lebih baik) dicuci terlebih dahulu, baru setelah itu wudu.
Maka dalam riwayat Muslim disebutkan, ‘Hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudu.’ Dan di sini seperti riwayat sebelumnya (yang dibahas Ibnu Hajar), tidak menunjukkan urut (jika menggunakan wawu athaf), karena di sini disebutkan wudu terlebih dahulu (dalam beberapa versi). Akan tetapi, yang dimaksudkan adalah dua-duanya ini perlu dilakukan. Tayyib. Ada beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa yang bertanya adalah Ali رَضِيَ اللهُ عَنْهُ sendiri. Dalam riwayat (lain) disebutkan, ‘Aku bertanya langsung kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.’ (Ada juga riwayat) yang diperintahkan untuk bertanya adalah Al-Miqdad. Bagaimana ini? Ada riwayat yang mengatakan Ali bin Abi Thalib yang bertanya, ada yang mengatakan yang disuruh adalah Ammar (bin Yasir), sekarang yang kita baca ini (dalam Umdatul Ahkam, riwayat dari Al-Miqdad) yang disuruh untuk bertanya adalah Al-Miqdad. Maka Ibnu Hibban, kata Al-Hafizh (Ibnu Hajar), Ibnu Hibban ingin menggabungkan riwayat itu. Beliau katakan, bisa jadi yang pertama disuruh adalah (Al-Miqdad), yang kedua (Ammar), kemudian yang ketiga Ali bin Abi Thalib bertanya sendiri. Dan itu mungkin, itu mungkin, masing-masing bertanya di kesempatan berbeda. Ini adalah jam’ (kompromi), mengkompromikan beberapa hadis dengan cara yang baik. Tapi ada masalah, kenapa? Masak dia kemudian bertanya sendiri, kan dia malu sekali (karena status Fatimah). Tidak mungkin beliau bertanya (langsung). Maka kata Al-Hafizh (Ibnu Hajar), وَاللهُ أَعْلَمُ, pendapat yang kuat adalah yang bertanya (langsung) satu (yaitu yang disuruh). Yang (memiliki masalah dan menyuruh) bertanya adalah Ali bin Abi Thalib, memerintahkan (misalnya) Ammar atau Al-Miqdad. Maka Ammar juga dikatakan dia pernah bertanya (karena dia yang menyampaikan pertanyaan). Kemudian Ali bin Abi Thalib رَضِيَ اللهُ عَنْهُ, beliau tidak bertanya langsung. Karena beliau yang memerintahkan, beliau menyuruh, maka bisa saja dalam bahasa Arab beliau yang memiliki skenario, (sehingga redaksinya bisa menjadi) ‘maka aku bertanya’, meskipun tidak secara langsung tapi lewat orang yang aku perintahkan.
Pembahasan seperti ini adalah pembahasan bahasa. Kalau orang tidak paham, orang langsung memahami hadisnya kontradiksi, padahal tidak perlu seperti itu. Dan Al-Hafizh (Ibnu Hajar) dikenal dengan orang yang menjama’ (mengkompromikan), apa namanya, riwayat-riwayat itu untuk dikompromikan, dan itu adalah cara yang bagus sekali selama riwayat-riwayat itu sahih semuanya. اللهُ أَعْلَمُ. Jawaban Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ untuk kasus orang yang mengeluarkan madzi, beliau katakan, ‘تَوَضَّأْ‘ (berwudulah). Dari (pembahasan) kita siapa yang bertanya, intinya adalah yang memiliki agenda bertanya adalah Ali, tapi eksekutor penanya adalah (Al-Miqdad atau Ammar). Ada riwayat Abdurrazzaq bahwa ketiga-tiganya berkumpul (Ali, Al-Miqdad, Ammar), mereka bertiga sedang berdiskusi tentang madzi. Maka Ali mengatakan (kepada salah satunya untuk bertanya kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ). Jawaban Nabi (‘تَوَضَّأْ‘) adalah kata-kata untuk orang satu (kamu).
Dan ‘bersihkan kemaluanmu’. Jawabannya untuk orang satu (kamu). Sekarang, ini di antara pelajaran yang disebut oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar, boleh seseorang ketika malu, dia mewakilkan kepada orang lain untuk bertanya tentang masalah pribadinya, tidak apa-apa. Dan ini juga menunjukkan bahwa memang sepantasnya seorang lebih hormat kepada kerabat istri, terutama mertua. Kalau belum kenal, belum apa namanya, belum ada hubungan arham (kekerabatan). Ashhar (ipar atau keluarga karena pernikahan) namanya disebutkan keluarga istri. Meskipun (sebelumnya) lebih tua, teman i’tikaf sudah, tapi ternyata setelah dari i’tikaf, anak ini kayaknya zain (baik), sudah, jadikan menantu. Ah, sudah jadi menantu, ini sudah jadi mertua, yang sopan ya. Sebagian ulama mengatakan tidak pantas seorang anak berjalan di depan orang tuanya atau mertuanya. Ini sopan santun, dan ini ditekankan. Ya, baik. Yang jelas, ini di antara contohnya Ali bin Abi Thalib sopan kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, karena beliau Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, akan tetapi juga mertua dalam kasus ini. Karena mertua, wa illa (jika tidak), beliau sepupunya, dan beliau seorang (tokoh penting, nantinya) kepala negara, kalau bertanya ya bertanya saja, kan? Tapi karena mertua dan urusannya masalah ini (yang sensitif), maka wajar seorang bersikap sopan santun.
Baik, dalam jawaban beliau, ternyata jawabannya untuk satu orang, ‘kamu’. Seolah-olah penanya ini bertanya untuk dirinya sendiri. Tetapi para ulama mengatakan sebenarnya tidak harus. Karena dalam riwayat Muslim (yang lain) dikatakan, ‘Yaghsilu dzakarahu wa yatawaddhao‘ (Orang itu perlu mencuci kemaluannya dan berwudu). ‘Orang itu’, berarti tidak mengatakan, ‘Ya Rasul, kalau aku begini begini?’ Tidak begitu ternyata pertanyaannya. Bahkan dalam riwayat Muslim dikatakan (Al-Miqdad berkata), ‘Aku seorang laki-laki yang banyak keluar madzi…’ (lalu ia menyuruh orang bertanya). Maka sepantasnya dia bertanya pun, dia tidak, apa, menggunakan bahasa dirinya sendiri (jika ia malu). (Atau jika ia wakil) Sebutkan, ‘Ya Rasul, menantu Antum ini menyuruh saya,’ kan tidak begitu. Tetapi beliau (wakil yang bertanya) menggunakan bahasa yang umum, ‘Maka ditanyalah, bagaimana jika ada kasus seorang laki-laki mengeluarkan madzi? Apa solusinya?’
Dan di antara buktinya Ali bin Abi Thalib hadir di situ mendengarkan langsung, adalah para ulama menyebutkan hadis ini adalah hadis Ali. Hadis ini adalah hadisnya Ali. Beliau ketika mengatakan, ‘كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً‘ (Aku adalah orang yang sering mengeluarkan madzi), maka (aku) perintahkan (Al-Miqdad). Seandainya Ali رَضِيَ اللهُ عَنْهُ tidak hadir karena malu sekali, maka hadis ini akan dinisbatkan kepada (Al-Miqdad, misalnya), hadis tentang madzi adalah hadisnya Al-Miqdad. (Tapi para ulama) tidak mengatakan demikian. Bahkan dalam buku-buku musnad – musnad itu kan kumpulan hadis yang dinisbatkan kepada perawinya dari sahabat – ternyata para ulama mengatakan hadis ini adalah hadisnya Ali bin Abi Thalib. Maka ini menunjukkan bahwa Ali hadir di situ. Dan ini adalah cara yang tengah, ketika seorang malu dan dia harus hormat kepada mertuanya, tetapi dalam waktu yang sama dia tidak kehilangan kesempatan untuk bertanya tentang hukum. Maka Ali bin Abi Thalib menggunakan cara menyuruh orang tapi (dia sendiri) hadir. Ini bagus sekali, dan ini menunjukkan bisa saja orang mempraktikkan hal seperti itu.
Kemudian hadis ini, bahkan disebutkan dalam riwayat Abu Dawud dan Nasa’i, ada sebabnya. Ketika (Ali) mengatakan, ‘كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً‘ (Aku adalah orang yang banyak mengeluarkan madzi). Menurut pemahaman beliau (awalnya), mengeluarkan madzi itu sama dengan (mengeluarkan) mani, sehingga harus mandi. Maka beliau cerita, ‘Maka di musim dingin aku memaksakan diri untuk mandi.’ (Kita) tidak pernah merasakan musim dingin (seperti di sana). Ini Indonesia (dinginnya beda). Setengah mati itu, setengah hidup berarti. Artinya, sampai diceritakan oleh (perawi), ‘اللهُ أَكْبَرُ‘. Sampai (kedinginan), tapi aku (Ali) karena memang (menganggap) butuh seperti itu (mandi). Kemudian aku bertanya, tapi pertanyaan Ali lewat orang. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengatakan, ‘Kamu jangan mandi (karena madzi), memaksakan diri untuk mandi seperti itu.’ Artinya, lafaz atau riwayat Abu Dawud menunjukkan bahwa ternyata kasus itu sedemikian serius (bagi Ali). Dan kalau antum lihat bagaimana keseriusan para sahabat ketika mereka ingin menyelesaikan diri dari junub tapi tidak ada air. Ini ada air tapi dingin. Yang keluar juga bukan mani tapi madzi, (tapi disangka mani sehingga) sampai mandi. Beliau kesulitan sampai (akhirnya) bertanya. Karena kasusnya ternyata tidak ringan (menurut anggapannya). (Seperti kisah Ammar bin Yasir) ketika beliau junub tidak dapat air, dia guling-guling di tanah, guling-guling seperti kuda yang mainan debu itu, ya. Ini menunjukkan para sahabat ketika mereka berijtihad (sebelum tahu hukumnya), setelah itu (bertanya).
Nah, ini juga sama. Kemudian dalam hadis ini yang paling penting sebenarnya adalah menunjukkan bahwa madzi itu tidak mengharuskan mandi. Akan tetapi, الْحَمْدُ لِلّٰهِ, kesepakatan para ulama bahwa madzi itu seperti air kencing. Yang pertama, najis, harus dibersihkan. Yang kedua, menyebabkan wudunya batal. Tetapi, apakah orang yang mengeluarkan madzi harus segera wudu? Jawabannya tidak, sebagaimana orang yang baru kencing tidak harus segera wudu. Tapi wudunya batal memang. Tapi kalau dia tidak langsung ingin salat, maka tidak wajib untuk segera wudu. Ini untuk membedakan bahwa ada sebagian orang mengatakan bahwa mengeluarkan madzi adalah sesuatu yang mewajibkan wudu (dalam artian harus segera dilakukan). Maka ditegaskan oleh (ulama), tidak seperti itu. Tapi hukumnya sama dengan air kencing: dia membatalkan wudu, tapi tidak mengharuskan segera berwudu. Seperti itu.
Kemudian Ibnu Daqiq Al-‘Ied رَحِمَهُ اللهُ mengatakan bahwa dalam hadis ini ada anjuran menggunakan air (untuk membersihkan madzi), karena Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkan agar tempat keluar najis itu dibersihkan, sementara cara ‘cucilah’ itu menggunakan air. Dan air akan membersihkan sekali. Kalau ada air, maka jangan menggunakan yang lain. Kenapa demikian? Karena kita katakan bahwa bersuci menggunakan debu (tayammum) itu boleh (dalam kondisi tertentu). Menggunakan batu (istijmar) boleh. Bersuci menggunakan batu meskipun ada air, boleh (menurut sebagian pendapat, tapi air lebih utama). Kalau dikumpulkan antara batu dengan air, maka afdal (lebih utama). Tetapi dalam urusan ini (membersihkan madzi), kata Ibnu Daqiq Al-‘Ied, air itu lebih aman untuk membersihkan, maka jangan pindah ke yang lain. Dan ini diamini oleh An-Nawawi رَحِمَهُ اللهُ dalam Syarah Sahih Muslim, dikuatkan pendapat ini. Dikuatkan, meskipun dalam beberapa buku fikih mazhab An-Nawawi (Syafi’i), lebih memilih bahwa ini perintahnya adalah istihbab (sunah), perintahnya untuk yang sunah, bukan harus (wajib menggunakan air jika ada alternatif lain seperti batu). Tayyib. Al-Ulama رَحِمَهُمُ اللهُ juga menyebutkan, yang dicuci apanya? Sebagian ulama mengatakan yang dicuci adalah semua kemaluan, semua kemaluannya harus dicuci. Kenapa? Karena dalam hadis dikatakan secara umum, ‘Cucilah kemaluanmu.’ Semuanya berarti harus dicuci. Itu semuanya. Akan tetapi, Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan tidak seperti itu. Akan tetapi, kalau seandainya penyebab diperintahkannya untuk dicuci adalah karena najis, maka yang penting tempat yang terkena najis. Dan madzi keluarnya tidak sebanyak mani, sehingga kalau keluar dan mengenai beberapa bagian, maka itu yang dicuci, tidak harus semuanya. Begitu. Dan ini, وَاللهُ أَعْلَمُ, ini pendapat yang kuat. Jadi tidak harus (semua kemaluan). Tapi kalau seandainya mau dicuci semuanya juga tidak apa-apa, dan itu lebih hati-hati. Hanya, ketika mewajibkan sesuatu untuk dirinya yang (sebenarnya) itu tidak wajib, seringkali yang seperti ini (menimbulkan was-was). Sehingga kalau tidak dicuci semuanya, akhirnya dia menganggap kurang sreg. Ini repot. Kurang sreg ini yang sering (terjadi). (Contoh lain was-was) kencing harus dicopot semua pakaiannya. Ini tidak ada bedanya laki-laki perempuan. Ketika buang air, kadang-kadang dia tidak mantap kalau tidak dicopot semuanya, khawatir kena ke sini, kena sini. Akhirnya dia cuci semua badannya. Khawatirnya terjangkit penyakit was-was. Tapi yang penting adalah tempat keluar najisnya itu, itu yang dibersihkan.
Tayyib. Kemudian para ulama yang mengatakan harus dicuci semuanya (kemaluan), mereka berbeda pendapat, kenapa dicuci semuanya? Apakah perintah ini karena ta’abbudi (bersifat ibadah murni, tanpa bisa dinalar hikmahnya) atau karena mu’allal (ada sebab atau hikmah yang bisa diketahui)? Antum tahu kan perbedaannya? Kita dulu pernah sebutkan tentang apa? Pembahasan apa? Air liur anjing. Kenapa kita diperintahkan untuk mencuci bekas air liur anjing (tujuh kali, salah satunya dengan tanah)? Ada yang mengatakan itu perintahnya ta’abbudi dari اللهُ تَعَالَى, tidak masuk akal (sepenuhnya hikmahnya), pokoknya Allah perintahkan seperti itu, mungkin kita kerjakan saja. Seperti kita disuruh berwudu padahal kentut, yang kentut (bagian) mana, yang (diusap saat) wudu (bagian) mana? (Allah) perintahkan seperti itu. Nah, sekarang pembahasan ini, dicuci semuanya, apakah itu ta’abbudi? Kalau seandainya itu perintahnya ta’abbudi, maka harus niat. Maka harus niat ketika membersihkan, karena dia sedang beribadah untuk menghilangkan najisnya. Allah perintahkan untuk mencuci, maka dia berniat bahwa ini aku sedang kerjakan ibadahnya. Akan tetapi, kalau seandainya dia katakan bukan ta’abbudi tapi karena mu’allal (ada sebabnya), yaitu karena ada najisnya, maka kalau seandainya dia tidak niat (untuk ibadah spesifik mencuci kemaluan karena madzi), maka cukup (asal bersih). Kayak orang kencing, buang air kecil, kemudian dia cebok, maka tujuan dia cebok untuk menghilangkan (najis). Perintahnya karena ada najis, harus dibersihkan. Seperti itu.
Akan tetapi, ini juga dijelaskan oleh para ulama. Sebenarnya, وَاللهُ أَعْلَمُ, yang lebih dekat kepada kebenaran, selama ibadah itu masih bisa dicari penyebabnya, dicerna, dan dipelajari sebabnya (mu’allal), maka itu yang lebih mendekati kebenaran. Ketika ada perintah untuk membasuh, kenapa itu? Karena ada najisnya. Maka itu yang lebih dekat. Termasuk dalam mencuci kemaluan setelah keluar air madzi. Kata (sebagian ulama), siapa namanya, itu perintah yang ta’abbudi? Jawabannya (menurut yang lain), tidak. Karena ketika orang mengeluarkan madzi, ada kemungkinan itu akan keluar lagi. Madzi itu akan keluar lagi karena (masih ada sisa) ‘produk’ ketika sudah keluar karena ada pikiran dan apa, bisa jadi masih ada di situ dan bisa kembali (keluar). Maka dicucilah (seluruhnya, menurut pendapat ini), secara medis atau secara tajribah (pengalaman/observasi), ketika semua anggotanya (kemaluan) dicuci, maka dia akan dingin. Ketika panasnya untuk mengeluarkan syahwat yang akhirnya keluar madzi itu akan berhenti. Ini seperti ketika ada orang yang memerah susu, سُبْحَانَ اللهِ, (antum) tidak pernah kan (lihat)? Ini kita pelajari, memang tidak ada di pelajaran antum ini. Memerah susu, ya. Antum (kalau) memerah susu kambing itu, susu itu akan terus (keluar). Maka biasanya mereka siram air ke, apa namanya, tempat kantong-kantong susu itu, sehingga tempat itu berkerut, kemudian susunya akan berhenti. Maka tidak mau lagi itu keluarnya. Jadi ketika dia selesai dari proses memerah, disiram air itu, kemudian susunya akan berhenti dari dalam, bukan hanya dari mulut tempat keluarnya susu itu. Nah, termasuk hal yang sama ketika seseorang mengeluarkan madzi. Kenapa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ perintahkan kita untuk mencuci itu? Karena (agar) ‘produksi’ atau alatnya itu akan dingin, kemudian tidak akan mengeluarkan itu (lagi). Intinya seperti itu. Mudah-mudahan bermanfaat. Kurang lebihnya mohon maaf. صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (penutup). Sedikit sekali (materinya). الْحَمْدُ لِلّٰهِ, akhirnya kita berarti lebih cepat (selesai). Tapi karena Isyanya memang lebih maju.
Sesi Tanya Jawab
(Pertanyaan 1): Apakah zikir dalam hati ada tuntunannya dalam syariat Islam?
Jawaban: وَاللهُ أَعْلَمُ. Zikir itu artinya ingat kepada Allah. Biasanya diucapkan, bahkan (ada anjuran) ‘Hendaklah lidahmu selalu basah untuk zikir kepada Allah.’ Berarti beberapa bacaan yang memang dianjurkan untuk dibaca, harus dibaca, tidak cukup dibatin. Bahkan kekurangan dan kekeliruan orang dalam salat ketika dia hanya membatin atau membayangkan (سُبْحَانَ اللهِ, misalnya) tidak diucapkan tapi hanya dalam hati. Ini mirip sebagian orang ketika mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadan, dibatin saja dia, makanya cepat sekali. Kita (baca dengan lisan) jauh, kita hitung ini satu halaman (butuh) 3 menit, orang ini 1 menit sudah pindah halaman. Karena gimana? Itu bukan zikir (atau bacaan) namanya jika hanya di hati. Itu (baru bernilai) ketika diucapkan. Maka salah ketika (hanya) diucapkan dengan (hati tanpa lisan untuk zikir yang disyariatkan lafaznya). Tayyib. Tapi ada beberapa hal yang merupakan amalan hati. Contohnya, dia mengingat Allah bahwa Allah mengawasi dia, maka itu pekerjaan hati. Dia bersyukur kepada Allah (dalam hati), maka itu adalah amalan hati. Maka itu dilakukan dalam hati. Tapi (diwujudkan juga) dengan mulut ketika dia mengucapkan الْحَمْدُ لِلّٰهِ. Tapi hukum asalnya, kalau zikir yang dibahas adalah mengucapkan lafaz-lafaz yang disyariatkan oleh Nabi, maka mulut harus berbicara.
(Pertanyaan 2): Hukum memakai helm ketika hanya berkendara di gang kecil, apakah termasuk bermaksiat kepada (pemerintah dan bisa jadi) berdosa?
Jawaban: Saya (Ana) tidak tahu peraturan tertulis, ada istilah tempat apa namanya. Tapi kalau seandainya betul ada peraturan bahwa ada wilayah, apa namanya itu, wajib (helm menurut peraturan) lalu lintas atau apa itu, nah maka kita wajib untuk menaati semua peraturan (pemerintah yang tidak bertentangan dengan syariat). Tapi kalau seandainya tempat itu memang tidak wajib (menurut peraturan), untuk apa namanya, tempat yang di dalam (kompleks misalnya). Kemudian (contoh lain), motor lelangan dari STDI, dilelang di depan gedung ini, antum coba sret ke sini (jarak dekat tanpa helm). Padahal yang mau nyobain sudah banyak, misalkan.
(Pertanyaan 3): Bagaimana (tanggapan terhadap) orang yang sudah tidak percaya dengan nasab para habaib sekarang dikarenakan (mereka berargumen bahwa) putra (Nabi) tidak ada yang hidup, melainkan hanya putri beliau saja, sehingga (nasab) mereka benar-benar tidak boleh disandarkan (kepada Nabi karena dari jalur) perempuan?
Jawaban: Ini di antara pengecualiannya (nasab dari jalur perempuan). Dan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengatakan (dalam hadis tentang Al-Mahdi) bahwa Al-Mahdi adalah keturunan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (dari jalur Fatimah). Nah, nanti yang disebutkan dalam hadis yang sahih, waktu jadi Al-Mahdi yang akan datang pada akhir zaman, namanya Muhammad (bin Abdullah), dan itu masih keturunan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (melalui Hasan bin Ali). Maka tidak mengapa, tidak mengapa seperti itu (nasab dari jalur Fatimah). Dan kenapa kita tidak harus tidak percaya? Tidak harus dari keluarga yang anaknya Fatimah (langsung), tapi dari keluarganya (keturunan) Ali bin Abi Thalib رَضِيَ اللهُ عَنْهُ (dan Fatimah رَضِيَ اللهُ عَنْهَا). Dan itu (masalah nasab). Dan Nabi (tidak pernah mengajarkan untuk mencela nasab yang benar). Dalam kata-kata mereka, tidak perlu pakai baper-baper lah, apalagi ikut yang viral. Ya sudah.
(Pertanyaan 4): Kita mandi junub dan telah memakai pakaian, terus ada terasa keluar lagi (cairan), dan kita tidak tahu apakah itu sisa mani atau tidak, dan keluarnya tidak ada rasa nikmat. Apakah kita mandi lagi karena itu?
Jawaban: وَاللهُ أَعْلَمُ. Keluarnya ini, dua poin. Yang pertama, kalau seandainya hanya ragu saja, ini kadang-kadang ragu. Kalau dia cek, ternyata tidak ada yang keluar, bisa jadi (itu) gara-gara keraguan dia. Tapi kalau misalnya ada yang keluar, dan ternyata yang keluar misalkan sisanya air mani, وَاللهُ أَعْلَمُ, (pendapat yang kuat) mengatakan itu tidak, tidak mewajibkan untuk mandi (lagi). Karena itu sisanya saja, sisanya saja. Sedangkan yang menyebabkan mandi itu adalah air mani yang keluar (dengan ciri-cirinya: memancar, dengan syahwat) itu (yang pertama). Ini hanya sisanya saja, dan dia sudah mandi, selesai sudah.
(Pertanyaan 5): Bagaimana hukumnya jika kita sudah membersihkan (bekas) madzi, lalu setelah itu kita salat, tapi setelah salat kita melihat adanya madzi di situ (pakaian)? Apakah kita perlu (salatnya) diulang?
Jawaban: وَاللهُ أَعْلَمُ, tidak. Jadi, ketika orang melakukan salat dengan menggunakan pakaian yang ada najisnya tanpa disadari, tanpa disadari, maka tidak sampai batal salatnya. Sebagaimana dalam sunah, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (bukan Nabi Daud dalam konteks ini) pernah salat menggunakan sandal dan (ada) najisnya, dan beliau ketika tahu (diberitahu Jibril), beliau segera lepaskan sandalnya. Kalau seandainya salat menggunakan pakaian yang ada najisnya membatalkan salat dari awal, maka beliau akan mengulangi (salatnya). Tapi ternyata beliau melanjutkan salatnya tapi melepaskan sandalnya. Ini menunjukkan salat orang menggunakan pakaian yang ada najisnya tanpa disadari tidak membatalkan salat, ya. Berbeda dengan orang yang belum berwudu, dia salat, (maka salatnya tidak sah) karena salatnya tidak dilakukan dengan thaharah (bersuci dari hadas).
(Pertanyaan 6): Apa hukumnya jika madzi keluar pada bulan Ramadan? Apakah batal puasanya?
Jawaban: Kita sudah sampaikan bahwa mengeluarkan air madzi tidak membatalkan puasa menurut pendapat yang sahih. سُبْحَانَ اللهِ.
Komentar Terbaru