بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله رب العالمين، حمداً كثيراً طيباً مباركاً فيه كما يحب ربنا ويرضى، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله. أما بعد.
إخواني sekalian, para pemerhati Roja TV, pendengar di Radio Roja, dan seluruh kaum muslimin yang mengikuti pengajian malam hari ini. Semoga الله عز وجل menguatkan hati kita, menunjuki kita ke jalan yang benar, terutama dalam menghadapi fitnah, godaan, syahwat, maupun syubhat. Kadang orang sudah belajar, kadang orang sudah beriman, akan tetapi goyah menghadapi pemikiran atau ajakan hawa nafsu. Sehingga, seorang perlu selalu meminta kepada الله agar diperkuat dan diperbaharui keimanan serta kekuatan hatinya.
Sebagaimana النبي صلى الله عليه وسلم menyatakan, “إِنَّ الْإِيمَانَ لَيَخْلَقُ فِي جَوْفِ أَحَدِكُمْ كَمَا يَخْلَقُ الثَّوْبُ” (Sesungguhnya iman di hati kalian bisa usang seperti baju yang lama dipakai). “فَاسْأَلُوا اللهَ أَنْ يُجَدِّدَ الْإِيمَانَ فِي قُلُوبِكُمْ” (Maka mintalah kepada Allah agar Allah memperbaharui keimanan kalian), artinya menguatkan. Dulu, para السلف (salaf) mereka saling mengingatkan. Mereka mengatakan, “تَعَالَوْا نُؤْمِنُ سَاعَةً” (Ayo kita beriman sejenak). Maka sebagian mereka mengatakan, “أَوَلَسْنَا بِمُؤْمِنِينَ؟” (Bukankah kita sudah beriman?). (Yang lain menjawab), “بَلَى، وَلَكِنْ نَذْكُرُ اللهَ فَنَزْدَادُ إِيمَانًا” (Iya, kita ingin mengingat Allah agar kita bisa bertambah kuat imannya). Kadang kita betul-betul membutuhkan itu. Ketika membaca kitab para العلماء (ulama), mengerti bagaimana keteladanan para السلف, kita baru tahu bahwa ternyata dulu pernah kita yakini itu. Akan tetapi, justru karena berubah-rubahnya kondisi, lingkungan, dan komunitas, kadang kita goyah. Maka kita meminta kepada الله agar kita bisa kokoh dalam kondisi السنة (sunnah) dan istiqomah.
Pentingnya Berpegang Teguh pada Sunnah
Kalau seandainya dulu di zaman sahabat dan di zaman para ulama abad ketiga—artinya abad ketiga itu sudah sekitar 300-an tahun atau sebelum itu—zaman sudah banyak berubah, orang sudah tidak kenal السنة atau pengetahuan sudah banyak melemah. Pernah أبو بكر رضي الله عنه (Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu) mengatakan, “لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ، إِنِّي لَأَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيغَ” (Aku tidak akan meninggalkan satu sunnah pun yang aku ketahui pernah dikerjakan oleh Nabi ﷺ, kecuali aku akan melakukannya. Sungguh, aku khawatir akan tersesat jika meninggalkan satu saja dari perintahnya). Ini adalah perkataan أبو بكر رضي الله عنه, orang paling dicintai oleh النبي صلى الله عليه وسلم dan calon penghuni surga, namun beliau tidak berani menyelisihi sunnah Nabi ﷺ.
Seorang ulama di abad keempat, ابن بطة العكبري (Ibnu Baththah Al-Ukburi) رحمه الله dalam kitab الإبانة عن شريعة الفرقة الناجية (Al-Ibanah ‘an Syari’atil Firqatin Najiyah)—beliau wafat tahun 387 Hijriah—ketika menukil perkataan Abu Bakar, beliau berkomentar: “Lihatlah wahai saudaraku, bagaimana الصديق الأكبر (Ash-Shiddiq Al-Akbar), Abu Bakar رضي الله عنه, khawatir terhadap dirinya jika meninggalkan satu saja dari sunnah Nabinya, ia akan tersesat. Lalu bagaimana kondisi kita ketika kita sudah tiba pada sebuah zaman di mana para penghuninya mulai menjelek-jelekkan dan menghina nabinya, perintah-perintahnya, bahkan mereka bangga ketika menyelisihi sunahnya?” Bangga sekali ya, yang nampak apalagi yang tidak nampak. Bahkan mereka menghina sekali ajaran Nabi ﷺ.
Maka kalau kita bandingkan, di abad keempat sudah seperti itu. Ketika ابن بطة العكبري mengatakan perubahan orang sudah banyak yang mulai menghina Nabi ﷺ, tidak suka dengan sunnahnya, bahkan bangga ketika menyelisihi entah dengan faktor dan alasan apapun—entah karena hobi, kepentingan, atau kefanatikan. نَعُوْذُ بِاللهِ (Na’udzubillah) dari setiap yang membuat kita jauh dari sunnah Nabi ﷺ. Maka kita ingin selalu akrab dengan الحديث agar ancaman-ancaman itu dijauhkan oleh الله dari kita dan kita didekatkan dengan jalur yang benar.
Tema Kajian: Tanda-Tanda Orang Munafik
إخواني sekalian, ada dua hadis yang menunjukkan tentang tanda orang munafik. Setelah itu akan ada pembahasan lain, akan tetapi kita jadikan tema di malam hari ini memang dua hadis pertama yang menjadi ancaman sebenarnya.
Orang yang منافق (munafik). Para ulama membagi (kemunafikan) menjadi dua tingkatan ya. Dan munafik ini secara umum adalah orang bermuka dua. Yang ini beda, ini beda. Beda yang disimpan dalam hati, beda yang disebutkan dalam penampilan. Kemudian, semua sepakat bahwa munafik bukanlah pujian. Kalau orang bilang, “Kamu munafik,” kamu ini… sudah jelas ini adalah celaan. Tidak mungkin, “Masya Allah, selamat Anda dinobatkan menjadi seorang munafik yang sejati.” Ini penghinaan yang habis-habisan ya.
Tetapi, munafik ini di dalam syariat kalau sampai berkaitan dengan keimanan. Karena para ulama membaginya menjadi dua:
- نفاق اعتقادي (Nifaq I’tiqadi): Kemunafikan yang berkaitan dengan keyakinan. Jadi, dalam hatinya menyembunyikan kekufuran tetapi penampilannya menunjukkan keimanan. Ini yang disebut dalam Al-Qur’an surah An-Nisa: “إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ” (Sesungguhnya orang-orang munafik itu akan berada di kerak neraka). Dan mereka lebih parah dari orang-orang كافر (kafir). Karena pembagiannya cuma tiga dalam Al-Qur’an itu ya: yang pertama beriman, yang kedua orang kafir, dan yang ketiga orang munafik. Para منافقين (munafikin) di zaman Nabi ﷺ, Rasulullah ﷺ tahu mereka. Bahkan nama-nama itu tahu, diberitahukan kepada sahabat yang sampai pandai menyimpan rahasia, dijuluki sebagai صاحب السر (shahibus sirr), orang yang menyimpan rahasia Nabi ﷺ, yaitu حذيفة بن اليمان (Hudzaifah ibnul Yaman). Nabi ﷺ tahu nama-nama mereka di Madinah. Sampai عمر بن الخطاب (Umar bin Khattab) bertanya kepada حذيفة رضي الله عنهم أجمعين, “Apakah Nabi ﷺ menyebut namaku termasuk orang munafik?” Umar bin Khattab sangat takut jika beliau termasuk atau terjangkit penyakit نفاق (nifaq). Bahkan ada sebuah perkataan seorang تابعي (tabi’i) mengatakan, “أَدْرَكْتُ ثَلَاثِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ” (Aku mendapatkan atau pernah bertemu 30 orang sahabat Nabi ﷺ, ternyata masing-masing mereka takut akan menjadi orang munafik). Umar bin Khattab, calon penghuni surga, mertua Rasulullah ﷺ, sudah dijanjiin punya istana, kemudian meninggal syahid. Tapi beliau ternyata khawatir, “Jangan-jangan aku termasuk orang munafikin.” Orang yang tahu iman dan tahu bahaya kemunafikan, dia akan takut dengan bahaya satu ini. Tetapi masalahnya, keimanan kita ini lemah, sehingga kita merasa dalam hati ini aman-aman saja. Kalau ada 10 orang munafik, “Aman, insya Allah kita tidak termasuk mereka.” Ini sebenarnya… kita berlindung kepada Allah dari sifat munafik ya. Khawatirnya kita termasuk salah satu dari orang yang terjangkit penyakit itu tapi kita tidak sadar.
- نفاق عملي (Nifaq ‘Amali): Kemunafikan yang diperagakan dalam bentuk perbuatan saja, tidak sampai diyakini. Contohnya ada orang yang disebutkan dalam hadis-hadis ini ya, kalau berbicara dia berdusta dan seterusnya. Nah, orang ini tidak sampai kufur, tidak sampai dia keluar dari الإسلام, akan tetapi tetap bahaya. Nanti kita akan pelajari, mereka ini punya label atau punya jatah bagian dari sifat itu. Semakin banyak jatah itu maka semakin profesional kemunafikannya. Dan سبحان الله yang seperti ini tidak dihiraukan atau diabaikan oleh orang-orang, padahal ini jelas-jelas dan semua orang tahu bahwa ini adalah sifat yang tercela sekali.
Baik, إخواني sekalian, di hadis ini yang jelas النبي صلى الله عليه وسلم ingin memberikan peringatan keras. Jangan berlaku seperti ini.
Hadis Pertama: Mencintai Kaum Anshar adalah Tanda Keimanan
Mungkin hadis kedua lebih familiar kita sering dengar, tetapi kita awali dengan hadis pertama. النبي صلى الله عليه وسلم menyatakan, “آيَةُ الْإِيمَانِ حُبُّ الْأَنْصَارِ، وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الْأَنْصَارِ” (Tanda orang beriman adalah mereka cinta dengan kaum Anshar, dan tanda orang munafik adalah kebencian terhadap para sahabat dari kaum Anshar).
- Pentingnya Mencintai Sahabat: Hadis ini berkaitan dengan keistimewaan kaum Anshar. Dalam riwayat yang lain disebutkan, “لَا يُحِبُّهُمْ إِلَّا مُؤْمِنٌ، وَلَا يُبْغِضُهُمْ إِلَّا مُنَافِقٌ. فَمَنْ أَحَبَّهُمْ أَحَبَّهُ اللهُ، وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ أَبْغَضَهُ اللهُ” (Tidak akan ada yang mencintai mereka kecuali orang beriman, dan tidak akan ada yang membenci mereka kecuali orang munafikin. Barang siapa yang cinta kepada mereka, Allah akan cintai dia. Barang siapa yang benci mereka maka Allah akan benci kepada dia). Kaum Anshar adalah orang yang menyambut kedatangan Nabi ﷺ, mempersilakan rumah mereka, jiwa, jasad, serta semua yang mereka miliki untuk membela agama الله. Ketika Nabi ﷺ diusir, ternyata mereka yang membuka tangan lebar-lebar, “Silakan datang.” Sampai saat ini, Madinah diberikan julukan دار الهجرة (Darul Hijrah), tempat hijrah Nabi ﷺ.
- Pengorbanan Kaum Anshar: Tidak ada perjuangan yang lebih kelihatan pengorbanannya daripada para sahabat, di antara mereka dan untuk membuktikan keimanan. Ketika Nabi ﷺ mempersaudarakan para sahabat, salah satu bentuk pengorbanan yang tidak bisa diukur, سعد بن الربيع رضي الله عنه (Sa’ad bin Ar-Rabi’) dipersaudarakan dengan عبد الرحمن بن عوف رضي الله عنه (Abdurrahman bin ‘Auf). Maka سعد بن الربيع mengatakan, “Aku punya dua kebun, silakan satu untukku, satu untukmu. Aku punya dua istri. Lihat di antara dua ini mana yang lebih engkau sukai, aku akan ceraikan. Kalau sudah selesai iddahnya, silakan dinikahi.” Kurang apa? Pengorbanan seperti ini lebih dekat daripada seorang saudara kandung.
- Bahaya Mencela Sahabat: Otomatis, ketika musuh-musuh الإسلام ingin menghancurkan الإسلام, bagaimana cara mereka? Mereka hantam dari sisi para sahabat Nabi ﷺ. Dijelekkan, mereka dirusak namanya, kemudian biografi-biografi disalahkan. Di sejarah, عثمان (Utsman) dituduh nepotisme. Kemudian أبو هريرة (Abu Hurairah) dituduh orang yang bodoh tidak paham fikih, hanya hafal hadis saja. Kemudian beberapa sahabat (dituduh) rindu kekuasaan sampai terjadi fitnah, peperangan, dan seterusnya. Artinya, ini merupakan tanda kemunafikan juga. Sampai ada seorang ulama di abad ketiga namanya أبو زرعة الرازي (Abu Zur’ah Ar-Razi) رحمه الله, meninggal tahun 264 Hijriah. Beliau mengatakan, “إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَنْتَقِصُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاعْلَمْ أَنَّهُ زِنْدِيقٌ” (Kalau kamu lihat ada seseorang yang berani mencela satu orang saja dari sahabat Nabi ﷺ, ketahuilah bahwa dia adalah orang yang zindiq). Zindiq itu munafik. “وَذَلِكَ أَنَّ الْقُرْآنَ حَقٌّ، وَالسُّنَّةَ حَقٌّ، وَإِنَّمَا أَدَّى إِلَيْنَا الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَإِنَّمَا أَرَادُوا أَنْ يَجْرَحُوا شُهُودَنَا لِيُبْطِلُوا الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ. فَالْجَرْحُ بِهِمْ أَوْلَى، وَهُمْ زَنَادِقَةٌ” (Karena apa? Karena Al-Qur’an dan hadis adalah sebuah kebenaran. Yang menyampaikan kepada kita hadis maupun Al-Qur’an adalah para sahabat. Orang-orang yang ingin menghancurkan Islam, ingin mencela para sahabat, tujuannya untuk menolak Al-Qur’an dan hadis. Maka, mencela mereka lebih utama, dan mereka adalah orang-orang munafikin).
- Pentingnya Pemahaman Salaf: Di antara sebab pertama kenapa orang bisa sesat adalah memahami Al-Qur’an dan Sunnah, tapi pemahamannya tidak terukur dengan pemahaman para sahabat. Apa yang mereka jadikan alasan? “إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلهِ” (Tidak ada hukum kecuali dengan hukum Allah). Ini betul ayatnya, tetapi mereka memahaminya bagaimana sampai yang diperangi adalah علي بن أبي طالب (Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه). Maka kuncinya agar kita memahami dalil adalah dengan arahan para ulama سلفنا الصالح (salafus shalih), para sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin. Kalau sekte lain mengatakan, “Kita berpaham Al-Qur’an dan sunah,” tetapi أهل السنة (Ahlussunnah) memiliki satu poin yang tidak dimiliki oleh orang lain: Al-Qur’an dan sunah dengan pemahaman para سلفنا الصالح.
Hadis Kedua: Tiga (dan Empat) Tanda Kemunafikan Amaliyah
Nabi صلى الله عليه وسلم menyatakan dalam hadits أبو هريرة, “آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ” (Tanda orang munafik ada tiga). Tiga ini tidak menjadi pembatas, karena Nabi ﷺ menggunakan metode menyebutkan angka untuk mudah dipahami. Tanda-tanda tersebut adalah:
- “إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ” (Kalau dia berbicara maka dia berdusta). كذب (kadab) itu artinya مخالفة الواقع (mukhalafatul waqi’), menyelisihi realita. Orang ngomong A padahal aslinya B, itu sudah menjadi sebuah kedustaan. Dan orang munafik itu seperti itu. Dalam hadis yang shahih, النبي صلى الله عليه وسلم menyatakan, “وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ. وَلَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا” (Hati-hatilah kalian dengan kebohongan, karena kebohongan itu membuat orang berdosa, dan dosa itu akan menjebloskan orang ke dalam neraka. Ada orang yang berdusta kemudian diikuti selalu dengan kedustaan… sampai dia tercatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta yang handal). Memang ada kedustaan yang dianjurkan pada saat tidak ada jalan lain, seperti hadis Nabi ﷺ yang shahih, “لَيْسَ الْكَذَّابُ مَنْ يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِي خَيْرًا أَوْ يَقُولُ خَيْرًا” (Tidak disebutkan pendusta orang yang berusaha mendamaikan dua pihak yang bertikai, maka dia kembangkan perkataan atau membuat sebuah ucapan yang sebenarnya tidak ada).
- “وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ” (Kalau berjanji, dia mengingkari). Meskipun janji ini wajib ditepati. الله mengatakan, “يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ” (Wahai orang beriman, tepatilah janji). ابن رجب (Ibnu Rajab) dalam kitab جامع العلوم والحكم (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam), beliau mengatakan bahwa para ulama membagi kondisi: ada orang yang memang dari awal berjanji untuk tidak ditepati. Ini yang jelas masuk dalam ancaman ini. Adapun orang yang dari awal sebenarnya ingin menepati, akan tetapi ternyata dia tidak bisa, lemah, atau tidak mampu, atau dia mungkin berubah pikiran dan seterusnya, maka ini tetap jelek, akan tetapi tidak masuk dalam kondisi kemunafikan. Meskipun ini pendapat di antara ulama, dan pendapat yang kuat adalah ketika seseorang berjanji, maka dia tetap harus menepati.
- “وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ” (Kalau dititipin/dipercaya, dia khianat). Ini juga sering didapati ya. Dan sangat parah ketika seseorang mengkhianati orang yang sudah memberikan kepercayaan penuh kepada dia. Ya, sudah percaya banget kepada dia, eh dia khianati. سبحان الله.
Dalam hadis serupa dari jalur عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما (Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash), Rasulullah ﷺ menyatakan ada empat ciri. Jika semua ada pada seseorang, dia menjadi seorang munafik sejati. Jika ada satu, maka ia punya satu bagian kemunafikan sampai ia tinggalkan. Tiga ciri tadi ditambah satu lagi:
4. “وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ” (Kalau dia berdebat/bertikai, dia akan melakukan segala cara yang parah). Dalam hadis yang shahih dari Imam Bukhari dan Muslim, النبي صلى الله عليه وسلم menyatakan, “أَبْغَضُ الرِّجَالِ إِلَى اللهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ” (Orang yang paling dibenci dan dimurkai Allah adalah orang yang mulutnya banyak ngomong, tidak mau kalah ketika berbicara, dan suka dalam berdebat dan bertikai). Dan dia tidak mau kalah sama sekali, termasuk ketika berurusan dengan orang, maka dia akan melakukan segala cara untuk mengalahkannya. Ini yang dijelaskan oleh para ulama tentang hadis itu. Bukan hanya berdusta, memberikan kesaksian palsu, bahkan dia akan berusaha untuk membela sebuah kebatilan.
Hadis Ketiga: Hak dan Kewajiban Suami Istri
Hadis dari بهز بن حكيم عن أبيه عن جده (Bahz bin Hakim dari ayahnya, dari kakeknya yaitu Muawiyah Ibnu Haidah al-Qusyairi). Beliau bertanya kepada Nabi ﷺ tentang hak istri. Maka Nabi ﷺ menyatakan:
- Memberi Nafkah: “أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ” (Engkau beri ia makan jika engkau makan, dan engkau beri ia pakaian jika engkau berpakaian). Ini merupakan tanggung jawab suami.
- Tidak Memukul Wajah dan Menjelekkan: “وَلَا تَضْرِبِ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحْ” (Jangan engkau pukul mukanya dan jangan engkau jelekkan istrimu). Memukul di sebagian badan yang tidak melukai untuk pendidikan, itu pun dalam kondisi sudah tidak bisa dengan cara lain, diperbolehkan.
- Tidak Memboikot di Luar Rumah: “وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ” (Dan jangan engkau boikot dia kecuali di dalam rumah). Dalam ayat disebutkan, “وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ” (Dan boikotlah mereka di ranjang). Para ulama mengatakan larangan (memboikot di luar rumah) ini tidak haram, karena النبي صلى الله عليه وسلم pernah memboikot istri-istrinya selama satu bulan di luar rumah mereka. Artinya, memboikot di luar rumah boleh, tetapi yang jelas diperhatikan maslahatnya.
- Kebebasan dalam Hubungan Intim (pada tempatnya): “ائْتِ حَرْثَكَ أَنَّىٰ شِئْتَ” (Silakan datangi (istrimu) dari sisi manapun). Ini sama dengan firman Allah, “نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ”. حرث (ladang) ini artinya موضع الولد (maudi’ul walad), tempat dilahirkannya anak. Yang penting tempatnya tidak boleh berubah.
Tanya Jawab
- Pertanyaan: Bagaimana menyikapi seseorang yang tidak menjalankan sunnah, namun jika saya doakan kebaikan untuknya, Allah kabulkan, kecuali doa hidayah?
- Jawaban: Alhamdulillah, itu bagus. Terus doakan. Mendoakan orang lain agar mendapat kebaikan dan hidayah, maka kita akan mendapatkan pahala dan doa yang sama dari malaikat yang mengatakan, “آمين ولك بمثل” (Amin, dan untukmu juga yang serupa). Namun, jika dikhawatirkan pertemanan itu akan merugikan agama kita atau kita yang terwarnai, maka kita perlu berhati-hati.
- Pertanyaan: Jika istri tidak melayani suami itu berdosa. Tapi kalau suami tidak melayani istri, dosa apa tidak?
- Jawaban: النبي صلى الله عليه وسلم menyatakan dalam hadis yang shahih, jika seorang suami mengajak istrinya berhubungan lalu istrinya menolak, maka malaikat akan melaknatnya sampai pagi atau sampai suaminya ridha. Urusan ranjang ini penting. Sebagaimana istri wajib menjaga kehormatan suami, maka suami pun demikian, perlu juga untuk mencukupkan kebutuhan istri. Namun, untuk mengatakan bahwa suami akan mendapatkan laknat yang sama (jika menolak), ini membutuhkan dalil. Ana tidak tahu kalau ada dalil yang sama. Yang paling penting adalah masing-masing menunaikan hak dan kewajibannya untuk saling menjaga kehormatan.
- Pertanyaan: Ada pasangan (pria tunanetra dan seorang janda) yang saling mencintai tapi tidak direstui kedua orang tua. Bagaimana solusinya agar bisa menikah?
- Jawaban: Secara hukum, tidak boleh seorang wanita menikah tanpa wali. Ini pendapat jumhur ulama. Jika wali terdekat (ayah) menolak tanpa alasan syar’i (disebut ‘adhal), maka perwalian bisa berpindah. Namun, ana lebih sarankan untuk tidak mengambil keputusan sendiri. Silakan konsultasikan kepada pihak yang berwenang, seperti Pengadilan Agama. Mereka memiliki kewenangan dan pengalaman untuk mediasi dan mencari solusi terbaik, insya Allah. Ini lebih bijak daripada langsung mencari wali hakim.
- Pertanyaan: Apakah seseorang yang melakukan perbuatan kemunafikan bisa berubah?
- Jawaban: Insya Allah, seorang bisa berubah ketika dia berusaha. Jangankan sifat kemunafikan, kekufuran yang sudah jelas saja bisa berubah, bisa bertaubat. Yang penting dia bersungguh-sungguh, belajar, mencari sebab-sebab keistiqamahan (seperti kawan dan lingkungan yang baik), berdoa, dan membulatkan tekadnya. Taubat itu syaratnya: meninggalkan dosa, menyesali, dan bertekad tidak mengulangi lagi.
- Pertanyaan: Disebutkan orang munafik akan berada di kerak neraka. Apakah ini menunjukkan dosa kemunafikan lebih besar dari kekafiran?
- Jawaban: Yang dimaksudkan dalam ayat “إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ” adalah نفاق الأكبر (nifaq akbar) atau نفاق الاعتقادي (nifaq i’tiqadi), yaitu orang yang tidak beriman tapi menampilkan keimanan. Adapun perbuatan-perbuatan yang disebutkan dalam hadis tadi adalah tanda-tanda kemunafikan (nifaq ‘amali). Para ulama menyebutkan itu sebagai tindakan dosa besar semua. Selama pelakunya masih beriman dan tidak menganggapnya halal, maka insya Allah tidak sampai kufur. Dosa besar tidak akan diampuni hanya karena amal shalih yang banyak, tetapi orangnya harus bertaubat dengan sungguh-sungguh.
Penutup
Sebagai penutup, ada sebuah ungkapan dari seorang ulama ahli hadis, محمد بن خزيمة (Muhammad Ibnu Khuzaimah) رحمه الله. Beliau pernah mengatakan, “Apabila ada hadis Nabi ﷺ yang shahih, maka tidak pantas seseorang memiliki pendapat yang berseberangan dengan hadis tersebut.” Artinya, jika kita ingin memiliki pandangan, kebiasaan, atau pilihan, tapi ternyata berseberangan dengan hadis Nabi ﷺ, saat itu kita sedang diuji oleh الله, apakah kecintaan kita kepada Nabi ﷺ ini betul-betul jujur atau tidak. Semoga dengan sering mengkaji hadis Nabi ﷺ, kita semakin siap untuk berlapang dada menerima kebenaran. Mudah-mudahan yang kita pelajari bermanfaat.
وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، والحمد لله رب العالمين.