بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Kita akan melanjutkan kembali kajian kita tentang حديث النبي صلى الله عليه وسلم (hadis Nabi ﷺ). Dan ini menjadi kemuliaan, kalau seandainya seseorang tidak banyak memiliki ilmu kecuali الحديث, maka sebenarnya itu semua merupakan inti dari ilmu. Maka disebutkan oleh para العلماء (ulama), di antara ciri khas masing-masing مذهب (mazhab) tentu berbeda, akan tetapi di antara yang menjadi ciri khas مذهب الإمام مالك (mazhab Imam Malik) رحمه الله, beliau tidak menyebutkan مذهب-nya secara detail dengan تفريعات (tafri’at – percabangan masalah) atau تخريجات (takhrijat – penetapan hukum untuk kasus turunan). Beliau tidak menyebutkan, “Kalau ada permasalahan ini, dalilnya ini. Maka seandainya ada permasalahan yang serupa seperti ini, kalau seandainya nanti ada pembahasan seperti ini, maka hukumnya seperti ini.” Beliau tidak suka itu. Bahkan dalam مذهب الإمام مالك, yang beliau tegaskan sendiri dalam kitab الموطأ (Al-Muwaththa’), kumpulan yang ada di situ adalah الحديث pertama, setelah itu آثار (atsar – riwayat) dari الصحابة (sahabat), setelah itu اجتهاد (ijtihad) beliau sendiri. Dan dikatakan bahwa beliau paling tidak suka banyak جدال (jidal – perdebatan), tidak suka ada orang berdebat, bahkan banyak tanya, terlebih apabila pertanyaan itu tidak atau belum terjadi. Beliau tidak suka sekali. Dan pada asalnya, murid-murid beliau tidak berani atau sungkan untuk bertanya kepada beliau. Dan kalau kita perhatikan, memang metode atau gaya مجلس (majelis) para العلماء adalah مجلس yang sangat berwibawa.
Adab dan Kewibawaan Majelis Ilmu Para Ulama Salaf
الإمام مالك رحمه الله sendiri mengatakan, “مجلس العلماء” (majelisnya para ulama) selalu dinaungi dengan kewibawaan dan ketenangan. Artinya, para العلماء sampai mengatakan, di مجلس الإمام مالك, أصحابه (murid-muridnya) mereka apabila hadir, maka kepala mereka tertunduk كأنما على رؤوسهم الطير (seolah-olah di atas kepala mereka ada burung), sehingga mereka tidak mau bergerak. Dan ini sama (seperti yang) pernah dinukil pada biografi عبد الرحمن بن مهدي (Abdurrahman bin Mahdi) رحمه الله. عبد الرحمن meninggal di tahun yang sama (dengan Imam Syafi’i, 198 H atau ada versi lain). Beliau adalah orang yang tegas, disiplin sekali. Disebutkan oleh salah satu muridnya, namanya أحمد بن سنان (Ahmad bin Sinan) رحمه الله, kalau tidak salah, atau أحمد بن سعيد السناني (Ahmad bin Sa’id as-Sinani), yang semacamnya, beliau katakan, “Karena di majelis itu tidak ada orang yang berani menyiapkan pena, ada orang berbicara, ada orang tersenyum, tidak ada yang berani. Apalagi berdiri.” (Jika) beliau melihat ada orang tersenyum atau berbicara sama kawannya, maka beliau akan ambil sandalnya (dan) keluar. Betul-betul مجلس-nya para العلماء dijaga sehingga mereka kelihatan kesungguhannya, kedisiplinannya, sehingga mereka berharap bisa dapatkan بركة (barakah – keberkahan) itu dalam belajar.
Maka, saya mengingatkan, bisa jadi orang zaman sekarang kehilangan بركة-nya ilmu karena mereka tidak menghargai ilmu yang mereka pelajari. Artinya, ilmu ini, ilmu agama kita, yang kita capek-capek mempelajari, kalau tidak kita sendiri yang menghargai, siapa lagi? Orang di luar sana kita harapkan menghargai ilmu ini, (sedangkan) kita sendiri yang tidak menghargai. Maka kita pernah sampaikan bahwa para العلماء ketika mereka menjaga diri, penampilan mereka, pergaulan mereka, tempat-tempat yang dikunjungi, tidak sama dengan tempat-tempatnya orang عوام (awam). Mereka anggap عيب (aib – cela) kalau aku duduk di pinggir jalan. Bukan karena mereka ingin جايم (ja’im – jaga image), dihormati, atau mereka ingin aman, bukan. Karena mereka tahu mereka sedang membawa ilmu yang mahal. Kalau mereka tidak hormati, siapa yang menghormati? Dan ini sedemikian besar تعظيم (ta’zhim – pengagungan) mereka terhadap ilmu.
Hakikat Ilmu Bukan Sekadar Pandai Bicara
إخواني sekalian, di antara penilaian yang salah yang sering dijadikan ukuran oleh masyarakat secara umum—ini disampaikan oleh ابن رجب الحنبلي (Ibnu Rajab al-Hanbali) رحمه الله—ketika orang dinilai عالم (alim – berilmu) apabila pandai berbicara, orator, sampai masyarakatnya banyak, pengikutnya, pendengarnya, follower-nya, atau apalagi itu sudah ya, mereka dinilai bagus, عالم. Kalau seandainya dia bisa membuat semua orang terbuka (terpukau). Jauh-jauh waktu lalu, ابن رجب الحنبلي رحمه الله mengingatkan dalam kitab فضل علم السلف على علم الخلف (Fadhl ‘Ilmis Salaf ‘ala ‘Ilmil Khalaf). Beliau meninggal tahun 795 هجرية (Hijriyah), berarti akhir abad ke-8. Kita sekarang abad ke-14, bahkan abad ke-15. Beliau katakan, “Dalam kondisi seperti ini, banyak orang-orang yang terfitnah atau dia terperdaya. Mereka menyangka bahwa orang yang lebih banyak ngomongnya, lebih hebat جدال atau debatnya, atau banyak perincian segala macam yang disampaikan dalam urusan agama, mereka lebih pintar, lebih عالم daripada orang yang tidak seperti itu.” Kata beliau, ini adalah kebodohan yang asli, yang murni.
Dia mengatakan, “Coba lihat bagaimana para العلماء.” Sebutkan, “Lihat coba para الصحابة yang senior.” Dikatakan bahwa perkataan mereka, para الصحابة senior ini, lebih sedikit dari perkataan ابن عباس (Ibnu Abbas رضي الله عنهما), padahal mereka lebih tahu dari ابن عباس. (Perkataan) التابعين (Tabi’in) lebih banyak daripada para الصحابة, padahal الصحابة lebih pintar dari mereka. (Perkataan) تبع التابعين (Tabi’ut Tabi’in) lebih jauh banyak lagi daripada orang-orang sebelum mereka, padahal yang sebelum mereka, kalangan التابعين, ilmunya lebih banyak, lebih dalam daripada mereka. Lalu beliau menyimpulkan, ilmu itu tidak diukur dengan banyaknya omongan, banyaknya tulisan, banyaknya riwayat إسناد (isnad – sanad) segala macam. Akan tetapi, itu نور (nur – cahaya) yang الله berikan pada hati seseorang. Dikatakan di situ bahwa ilmu adalah نور. Kemudian dikatakan, ilmu itu yang akan digunakan untuk mengenal الحق (al-haq – kebenaran), membedakan antara kebenaran dan الباطل (al-bathil – kebatilan). Bahkan orang yang suka جدال, orang yang suka debat, orang yang suka ngomong orasi begitu ya, justru tanda-tanda itu sedang terhalang dari yang lebih manfaat.
Yang disampaikan oleh ابن رجب juga, kalau الله ingin memberikan sebuah keburukan pada seseorang, maka الله akan tutup kesempatan orang itu untuk banyak beramal, tapi dia akan disibukkan dengan berdebat. Antum bayangkan, سبحان الله (Subhanallah), sebagian orang diuji oleh الله, dan ini mudah-mudahan kita diselamatkan. Seseorang diuji karena dia pintar ngomong, akhirnya disibukkan dengan omongannya, entah omongan di medsos (media sosial) atau omongan di pengajian. Kalau pengajian misalkan, ada orang (sibuk) kesana kemari pengajian-pengajian-pengajian, صلاة الليل (shalat malam) tidak sempat karena kecapean. Katakan ini, ini bukan teori ya, ini kita bayangkan. Kadang sesuatu yang memaksa, sesuatu yang memprihatinkan sekali. Kadang orang karena sibuk mengajar, sibuk pengajian, sibuk apa, sampai kecapean sekali, sampai baca القرآن (Al-Qur’an), sampai apa namanya, قيام الليل (qiyamul lail) saja tidak sempat. Dan ini, sekalipun والله أعلم (wallahu a’lam) memberikan sesuatu yang bisa dinikmati orang lain, إن شاء الله (insya Allah) lebih bermanfaat, akan tetapi ketika seseorang terhalangi dari قيام الليل, terhalangi dari membaca القرآن, ini adalah kerugian besar. Saya kira orang tidak bakal mengorbankan dirinya untuk kepentingan orang lain karena dia seperti lilin. Yang bagus apabila dia bisa menggabungkan itu. Dan itu yang dicontohkan para العلماء kita.
Kita sebutkan bahwa para العلماء mengajar mereka, tapi sekalipun mereka capek mengajar, ternyata ibadah itu bisa mereka pegangi. Mereka ceritakan (kisah tentang seorang Syaikh), menggunakan kendaraan biasa, pengajian ke sana, ngisi pengajian, tengah malam sudah capek sekali. Katanya perlu istirahat. “Kita istirahat.” Cuma, sudah tengah malam. Akhirnya langsung, begitu berhenti, kata muridnya—ini muridnya para مشايخ (masyaikh) juga—mereka bilang, begitu berhenti, langsung masing-masing persiapan ancang-ancang untuk tidur. Beliau (Syaikh tersebut) turun, kemudian beliau belum batal (wudhunya) juga, langsung صلاة الليل. Ini beliau orang tua, kemudian paling capek karena semua rombongan itu mengiringi beliau untuk kajian, دعوة (dakwah) segala macam, ternyata beliau orang yang menjadi teladan dalam urusan itu. سبحان الله, luar biasa.
Bahkan dikatakan, (seperti Syaikh Bin Baz رحمه الله), kalau dihitung dari jam kerja, pagi ngantor, kemudian siang sudah banyak tamu menunggu, karena makannya tidak pernah beliau makan sendirian. Beliau sejak umur 14 tahun tidak pernah makan sendirian, dan tidak bisa beliau makan sendirian. Akhirnya beliau selalu ada orang yang dipanggil. Setelah beliau sukses seperti itu, di rumahnya selalu bikin jamuan. Dan siang hari seperti itu, tempat berkumpulnya semua orang, termasuk yang miskin atau yang kaya, atau yang tamu, orang terhormat, datang situ. Sampai kadang-kadang tamu ada حرج (haraj – rasa tidak nyaman), sungkan mau duduk bareng sama orang miskin. Sampai betul itu disebutkan, ada buku judulnya مواقف مضيئة في حياة الشيخ ابن باز (Mawaqif Mudhi’ah fi Hayati Asy-Syaikh Ibn Baz), salah satu murid yang sempat menjadi kepala perpustakaan pribadinya الشيخ بن باز (Syaikh Bin Baz) رحمه الله. Beliau ceritakan, seharian itu sampai ada tamu yang mengatakan, “يا شيخ, antum tamu antum besar-besar. Kalau seandainya antum pasang tempat khusus untuk antum dan tamu-tamu antum, kan mereka orang-orang miskin.” Antum bayangkan, orang miskin ya miskin di mana-mana. Kata orang Arab juga miskin ya ada. Jadi mereka ya pakaiannya seadanya, mungkin penampilannya begitu. Sehingga kalau ngumpul itu kadang-kadang (membuat tidak nyaman). (Syaikh Bin Baz) katakan, “Ana sudah terbiasa seperti ini. Yang mau datang silakan, yang tidak ya sudah, tidak apa-apa, tidak harus makan di sini.” Dan beliau akan menyertai mereka makan sampai selesai. Kemudian beliau apabila sibuk, beliau akan mengatakan, “Semua santai saja, silakan dilanjutkan. Ana kebetulan sibuk, ada acara.” Pengumuman seperti itu, baru beliau apa namanya, bangun, cuci tangan. Kalau tidak, beliau akan letakkan tangan di situ sekalipun beliau makannya tidak banyak, agar tamu-tamunya tidak sungkan. Luar biasa. Artinya, para العلماء sampai capeknya seperti itu, waktunya itu luar biasa. Sampai sore menjelang عصر (Ashar), nanti habis عصر ada kajian, kemudian dibacakan buku, kemudian ada pertanyaan semua dimasukkan, karena jabatan itu beliau مفتي (mufti), itu jabatan. Artinya semua pertanyaan masuk dan dibagi memang, akan tetapi beliau banyak sekali menjawab pertanyaan. Setelah itu malam beliau kajian, kemudian kalau ada waktu kosong dibacakan kitab kepada beliau. Sampai tengah malam beliau ada pengajian khusus untuk muridnya. Setelah itu, sampai malam beliau صلاة الليل, tidur sebentar, bangun lagi. Artinya itu semua توفيق (taufiq – pertolongan Allah). Menggabungkan antara belajar dengan ibadah. Kalau seandainya bukan توفيق dari الله, susah kita. Kita tidak sibuk saja juga ibadah kita masih bolong-bolong ya. Maka kalau sekarang kita tidak bentuk diri kita, bisa jadi di waktu-waktu mendatang kita tidak akan bisa. Maka sekarang kita ingin perbaiki. Dan sekarang memang waktunya. Dan waktu kan ada tiga seperti yang disebutkan oleh الإمام أحمد (Imam Ahmad) رحمه الله, “الوقت ثلاثة أقسام” (Waktu ada tiga): ada yang sudah lewat tidak bakal kembali, ada yang engkau tunggu tapi bisa jadi engkau tidak sampai, dan sekarang adalah waktu kita. Maka perhatikan bagaimana engkau menggunakannya. Semoga الله memberikan توفيق kepada kita.
Hadis Tentang Arab Badui Kencing di Masjid
إخواني sekalian, pengajian kita malam hari ini berkaitan dengan masalah kencing, masih masalah kencing. Akan tetapi, الحديث-nya masyhur, tentang ada orang Arab بدوي (badui) yang kencing di masjid. الحديث ini menjadi permasalahan فقه (fikih), menjadi hal yang penting pula kalau seandainya ada نجاسة (najis) yang terkena tempat yang dihormati. Dan zaman sekarang pun demikian. Ini menjadi PR (pekerjaan rumah) kita, kalau memang kita memiliki anak kecil dan memang harus dibawa ke masjid, maka kita pun harus bertanggung jawab. Kalau seandainya membawa mereka ke masjid kemudian mengompol misalkan, kita harapkan agar نجاسة itu tidak mengenai jamaah yang lain. Kalau memang harus lapor, lapor. Kalau memang harus dibersihkan bersama, tidak apa-apa. Memang malu, akan tetapi ini نجاسة, sehingga tidak boleh dianggap remeh.
Kenapa kita katakan demikian? Di المسجد النبوي (Masjid Nabawi) yang besar seperti itu juga tidak menutup kemungkinan, dan memang terjadi berkali-kali, orang buang air anaknya, orang tuanya (tidak memperhatikan). Tapi سبحان الله, kita pernah dan kita melihat bagaimana pengurus المسجد النبوي mengurus itu dengan apa namanya, SOP (Standar Operasional Prosedur) yang luar biasa. Ketika ada orang misalkan anaknya ngompol, maka dia segera panggil. Panggil, ada beberapa orang kan karyawan banyak sekali. Langsung dibikin kayak pagar betis begitu. Kemudian segera anak itu di-kresek-in ya, kresek besar yang untuk sampah itu, langsung anak itu biar keluar dia tidak bawa macam-macam (najis). Dan ini terjadi begitu. Kalaupun mau digendong, gendong seperti itu. Dan kalaupun orang tuanya kena najis, pakai juga (kresek). Iya begitu. Kemudian gimana kalau orang tua? Kalau pakai (kresek), dia mau kayak balap karung begitu. Dia pakai, kemudian dinaikkan kursi roda. Kenapa? Lihat itu seperti itu. Artinya, نجاسة tidak kemana-mana. Tapi sekarang tempat itu mereka bersihkan. Jadi karpet itu, karpetnya المسجد النبوي kan tebal-tebal. Jadi mereka keluarkan semua itu air kencingnya sampai betul-betul (kering), diserap betul-betul, sangat kering sekali karena mereka (gunakan alat penyedot), dan diikuti dengan tisu yang banyak segini, masukin ke kresek, masuk terus seperti itu. Dan tangan mereka sudah betul-betul higienis dari kencing itu ya. Kemudian setelah itu mereka semprot (cairan pembersih). Mereka semprot, habis itu mereka bersihkan lagi sampai betul bersih. Setelah itu dikasih plastik, kemudian digulung. Digulung, diangkat, diplastikin lagi, bawa keluar. Datangkan yang baru. Sebelum itu, bawahnya juga masih dibersihkan kembali. Karena (saya) katakan, سبحان الله, kalau kayak begini, kayaknya orang Indonesia perlu belajar ya. Karena membersihkan masjid merupakan tugas yang penting. Kalau tidak, maka bisa kemana-mana begitu.
Baik, ini zaman النبي صلى الله عليه وسلم, diriwayatkan oleh أنس بن مالك (Anas bin Malik رضي الله عنه), datang seorang Arab بدوي. Yang dikatakan Arab بدوي, أعراب (A’rab) itu jamak dari أعرابي (A’rabi), dan mereka adalah orang yang tinggal di daerah بدوية (badawiyah) atau بادية (badiyah). بادية itu padang pasir yang tidak bisa berkumpul dengan masyarakat umum. Kalau orang kampung sering dijuluki, “Eh, بدوي!” Itu bukan orang بدوي asli, artinya hanya orang primitif saja, kayak orang pengen mengejek saja begitu. Tapi kalau بدوي yang asli, dia tidak tinggal bersama masyarakat. Kalau orang kampung, meskipun dia di desa, tapi dia kumpul bersama mereka, maka itu (tidak) tetap dikatakan بدوي. Maka dikatakan dalam sebuah الحديث, “من بدا جفا” (Barangsiapa tinggal di بادية, dia akan kasar, keras, kaku). Karena dia tidak terbiasa hidup bersama orang lain, dia hanya hidup sendiri, paling maksimal sama keluarganya, terus dia hidup sama hewan peliharaannya saja. Maka dia bisa kaku.
Maka di zaman النبي صلى الله عليه وسلم, orang-orang Arab kayak begini aneh-aneh kerjaannya. Datang (ke Nabi ﷺ), (bertanya tentang hari kiamat, Nabi ﷺ sedang khutbah), Nabi ﷺ tidak tersenyum. Ini gimana orang بدوي kayak gini? Mau digalakin juga tidak bisa, mereka sudah galak. Dan mereka memang (seringkali) tidak berakal atau tidak seperti orang-orang seperti biasanya. Maka terkadang ada manfaatnya. Para الصحابة mengatakan bahwa kami suka kalau ada orang أعرابي datang karena mereka akan bertanya, padahal para الصحابة mereka tidak berani bertanya. Mereka khawatir. Dalam القرآن dikatakan, “يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِن تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ” (Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian banyak tanya tentang sesuatu yang jika dijelaskan akan memberatkan kalian). Dalam الحديث yang lain dikatakan, “إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ” (Sesungguhnya orang Islam yang paling besar dosanya adalah orang yang banyak bertanya tentang hukum (sesuatu yang belum diharamkan), akhirnya diharamkan gara-gara pertanyaan dia). Seandainya dia diam, أفضل (lebih utama). Orang Arab بدوي kan tidak mengerti kayak begini. Datang mereka, tanya saja, “يا محمد…” Terkadang رسول الله صلى الله عليه وسلم tidak menjawab ketika ada orang-orang datang, kemudian رسول الله صلى الله عليه وسلم mendiamkan saja. Dan ini terjadi ketika ada orang أعرابي tanya, “يا رسول الله, متى الساعة؟” (Ya Rasulullah, kapan akan terjadi hari kiamat?). رسول الله صلى الله عليه وسلم melihat, habis itu terus ngomong lagi sama orang (lain).
Ini mengambil kesimpulan banyak bahwa ilmu itu, artinya orang yang datang duluan, dia berhak untuk bertanya terlebih dahulu, untuk belajar terlebih dahulu. Datang belakangan, antri. Itu disebutkan oleh para العلماء. Bahkan pernah disebutkan ابن جرير (Ibnu Jarir Ath-Thabari) رحمه الله, beliau pernah membuka kajian atau kesempatan bertanya murid-muridnya. Ketika sampai pada salah satu muridnya, ابن جرير mempersilakan dia untuk bertanya. Ternyata orang ini sungkan karena ada anak سلطان (sultan) datang, ingin bertanya juga. Maka dia mulai melirik-lirik ke anak سلطان ini, “Silakan (Anda) bertanya dulu.” (Ibnu Jarir) mengatakan, “Kenapa kalau begitu? Ini jatahmu sekarang. Kalau sudah datang kesempatanmu, jangan lihat ada sungai Eufrat, ada sungai (Tigris), tanya!” Kemudian الحافظ ابن حجر (Al-Hafizh Ibnu Hajar) رحمه الله mengatakan, ini merupakan pengagungan ilmu dan merupakan apa, زهد (zuhud) atau merasa tidak butuh kepada دنيا (dunia). Ini penting sekali. Bagaimana kisahnya ilmu di saat para العلماء memiliki اعتزاز (i’tizaz – kemuliaan diri) dengan ilmu mereka, tidak perlu perhatian siapa yang datang, dan pejabat, akhirnya mereka bersikap lain. Dan ini memang mahal sekali.
Seorang أعرابي datang kepada النبي صلى الله عليه وسلم. Dikatakan bahwa namanya ذو الخويصرة (Dzul Khuwaishirah). الحافظ ابن حجر (menyebutkan) ada sebagian ahli sejarah mengatakan namanya (ini). Salah seorang sahabat yang dari kalangan أعراب. Ada yang mengatakan (dia adalah) عبد الله بن ذي الخويصرة التميمي (Abdullah bin Dzi al-Khuwaishirah at-Tamimi). Ada yang mengatakan dia justru salah satu gembong خوارج (khawarij) namanya ذو الخويصرة. Kok bisa? Sebagian ahli sejarah juga mengatakan ini beda, dua orang ini. Semacam ini. Tapi ada yang mengatakan ini tidak, meskipun berbeda orangnya tapi أصل (asal) dari keluarganya sama, dan ini adalah gembong خوارج. Intinya, النبي صلى الله عليه وسلم didatangi oleh seorang أعرابي, maka orang itu kencing di طائفة المسجد (pojokan atau di salah satu sisi masjid). طائفة artinya adalah ناحية (nahiyah), artinya salah satu bagian atau sisi dari masjid. “فَزَجَرَهُمُ النَّاسُ” (Maka orang-orang menghardiknya). زجر (zajara) artinya memarahi, menghardik kalau bahasa Indonesianya. Dan dalam beberapa riwayat dikatakan berbagai redaksi, “فَصَاحَ بِهِ النَّاسُ” (maka orang-orang meneriakinya), “فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ” (maka orang-orang ingin menyerangnya). Ini karena mereka melihat kemungkaran yang besar ya. Bukan hanya kemungkaran orang tidak tahu أدب (adab). Yang orang kalau sekarang suka kencing (sembarangan), ini tidak ada, tidak ada perbedaan kayaknya di semua tempat. Kalau ada orang kencing sembarangan, pantasnya diapain? Depan rumah kencing, depan (toko). Ini di masjid, di dalam lagi. Ini kalau bukan karena belet (kebelet), bukan kebelet, belet itu (mungkin maksudnya bodoh/tidak tahu aturan). Itu artinya dari bahasa Arab (البلادة – kebodohan). Bukan karena itu, gimana orang tidak punya (adab). Keinginan seperti itu ya. Sampai dalam (riwayat lain) “فَقَامُوا إِلَيْهِ لِيَقَعُوا بِهِ” (Mereka berdiri untuk menyerang orang itu). Ada yang mengatakan sahabat berusaha untuk melarang orang itu. Dalam riwayat yang lain dikatakan, “فَصَاحَ بِهِمْ” (maka orang-orang meneriakinya). Wajar sekali kan ada orang kayak gitu. Zaman sekarang juga bakalan ada begitu. Mau ada orang yang dalam kondisi bahaya atau ada orang yang begini, teriak. Sudah, teriaknya bagaimana? Sudah kebayang ada orang mau kencing di tempat yang terhormat, gimana kira-kira apa namanya, teriaknya. Bahkan dalam riwayat مسلم, “لا تُزْرِمُوهُ” (Jangan kalian putuskan kencingnya), tapi itu (Nabi ﷺ) melarang. Bukan (teriakan sahabat). Kalau “صَاحَ بِهِ النَّاسُ”, itu artinya eh! Nah, ini para الصحابة sampai marah seperti itu. Dan ini kata الحافظ ابن حجر, mungkin sekali dikompromikan, para الصحابة “تَنَاوَلُوهُ بِأَلْسِنَتِهِمْ” (menyerangnya dengan lisan mereka). Diambil, gimana maksudnya? Bukan diambil dengan tangan, tapi diambil dengan perkataan. Artinya betul-betul semua mereka menghardik, marah, mencela, dan segala macam.
Dan ternyata dalam الحديث ini, (kita bisa) mengambil kesimpulan bagaimana para الصحابة secara otomatis marah karena ada kemungkaran. Dan النبي صلى الله عليه وسلم tidak mengingkari bahwa ini kemungkaran. Buktinya النبي صلى الله عليه وسلم tidak menyalahkan para الصحابة, “Kenapa kalian seperti ini kepada orang ini?” Tidak. Tapi beliau perintahkan kepada mereka untuk tidak lanjutkan, diam saja. Ini menunjukkan bahwa ini betul-betul kemungkaran dan para الصحابة sikapnya sudah benar. Tapi النبي صلى الله عليه وسلم ingin memberikan solusi yang lebih benar agar tidak terjadi (keburukan yang lebih besar). Beliau mengatakan, “دَعُوهُ” (biarkan dia), “لَا تُزْرِمُوهُ” (jangan kalian hentikan kencingnya). Karena kalau seandainya orang ini dilarang, maka dia akan apa namanya, menahan kencingnya. Kalau dia tahan kencingnya, maka dia akan sakit. Dan itu belum tentu dengan menahan kencing akhirnya dia akan selesai dari kencingnya, belum tentu. Kalau dia keluar, kencingnya kemana-mana. Atau yang kedua itu tadi, kalau seandainya dia dihentikan, maka dia pindah tempat, pindah tempat, (najisnya) merata ya kan. Maka dilarang oleh النبي صلى الله عليه وسلم, “Biarkan, biarkan saja.” Minimal orang ini kalau dibiarkan, dia tidak sampai ternajiskan pakaiannya. سبحان الله. Atau menahan (kencing) tiba-tiba, dan itu akan sakit, bahaya sekali juga. Minimalnya dia tidak bisa menjaga (dari) najis badan dan pakaiannya. Dan ini juga penting. Kalau orang-orang kampung tidak pernah perhatian. Mereka, bukan orang kampung saja, orang kota juga banyak, tapi yang kampungan. Jadi Antum perhatikan, kadang di tempat umum itu akhirnya tidak nyala (airnya). Kita sudah kebelet, datang ke situ, antri, ternyata airnya mati. Tidak jadi keluar, sudah selesai gayanya kan sudah beda orang masuk sama orang keluar itu. Saya, سبحان الله, mereka tidak perhatian. طيب (Thayyib – baik), ini orang mau صلاة gimana? Kalau diperintahkan untuk صلاة, diingatkan, mereka bilang, “عفوا (afwan – maaf), pakaian ana najis.” Lah, Antum gaya Antum kayak begitu. Nah yang seperti ini akan menjadi عذاب القبر (azab kubur). (Seperti) الحديث ابن عباس yang masyhur sekali kita sudah bahas itu. النبي صلى الله عليه وسلم perhatian sampai jangan sampai air kencing itu mengenai baju, badan, atau tempat yang lain.
Kemudian disebutkan di sini, النبي صلى الله عليه وسلم melarang para الصحابة untuk melarang orang yang kencing ini. Ketika orang ini selesai dari air kencingnya, النبي صلى الله عليه وسلم menyuruh orang untuk mengambil ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ (satu ember penuh air). ذَنُوب (dzanub) itu artinya adalah ember yang besar, kemudian bukan hanya besar akan tetapi dia penuh. Dalam (pendapat) beberapa ahli bahasa, mereka katakan سَجْل (sajl) atau yang semacamnya ini tidak sampai penuh, tapi hampir penuh. Dan kalau ember kosong, mau segede apapun, tidak dikatakan ذَنُوب. “فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ” (Maka disiramkan padanya). Jadi air itu akhirnya disiramkan di situ.
Fiqih Membersihkan Najis di Lantai Masjid
Ada pembahasan فقه di antaranya adalah ketika ada sebuah نجاسة, نجاسة ini kalau seandainya disiram pakai air yang suci, maka sekalipun tempat itu masih basah, maka basah yang itu sudah menjadi suci. Tentu pembahasannya ketika alas itu dalam bentuk tanah. Nah, kalau sekarang bentuknya (karpet) begini gimana? Ya sudah, tadi harus dipakai (cara) begini-begini itu, harus dibersihkan tempatnya. Kalau memang karpet ternyata kena air kencing, kalau tidak bisa diganti, maka dia harus dibersihkan seperti bersih-bersihnya (yang benar). Para العلماء mengatakan bahwa orang yang ingin meyakini bahwa tempat ini sudah suci, maka dia sudah bisa menghilangkan bentuknya, warnanya, baunya. Warna, bau, kemudian rasanya. Ini sekalipun tambahan “إِلَّا مَا تَغَيَّرَ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ أَوْ رِيحُهُ” (kecuali jika berubah rasa, warna, atau baunya) bahwa tambahan itu ضعيف (dha’if – lemah), tapi سبحان الله para العلماء sepakat الحديث itu dipakai, diamalkan. Ada sebuah نجاسة tidak dinyatakan suci kecuali kalau sudah selesai dari tiga sifat itu: rasa, bau, dan warna. Kalau ada (salah satunya) masih ada, berarti harus perlu dibersihkan kembali.
Kalau seandainya tidak ada karpetnya, tapi cuma lantai saja, maka itu lebih mudah. Dan النبي صلى الله عليه وسلم ketika zaman itu, kejadian ini ketika tanahnya menjadi dasar masjid. Maka جمهور العلماء (jumhur ulama) mengatakan bahwa apabila ada basah pertama karena air kencing, kemudian disiram pakai air, maka air yang kedua tetap membuat tempat itu basah, tapi basah berikutnya sudah suci. Ada sebagian mengatakan kalau najis itu tidak bisa disucikan, tidak bisa disucikan karena dia sudah basah dan sudah meresap. Kalau dicampuri air, maka bisa menyebarkan lagi. Ya kan, tadinya dia segini misalkan satu jengkal begini, karena dia mungkin tidak tahan akhirnya keluar sekeluarnya sudah. Kemudian gara-gara disiram air, maka bercampur dengan air najis itu, akhirnya tambah lebar. Berarti yang lebar itu apa? Basah karena campuran air dan kencing. Maka جمهور العلماء ingin menjelaskan, ketika basah pertama karena kencing itu berarti najis, maka basah berikutnya setelah disiram pakai air itu menjadi suci. Dan ini جمهور. الحنفية (Hanafiyah) mengatakan tidak bisa sekadar disiramkan saja, tidak cukup. Tapi harus digali atau dicangkul atau tanah itu harus di apa namanya, digemburkan. Para العلماء menukil dari الحنفية seperti ini, seperti النووي (An-Nawawi) رحمه الله dan lainnya. Akan tetapi, والله أعلم, kata beliau (penulis kitab atau ulama yang dirujuk), kalau kita baca pada referensi buku مذهب الحنفية, mereka تفصيل (tafshil – merinci). Mereka rinci, dilihat tanahnya. Kalau tanahnya gembur kemudian dibasahi dengan air kencing, maka disiram pakai air saja sudah cukup karena itu akan meresap dan selesai urusannya. Tetapi kalau tanahnya padat, gimana akan meresap? Memang air kencingnya kemana-mana ya kan. Kalau seandainya tanah itu ada kayak tanah liat begitu, bisa jadi yang sebenarnya bahaya juga karena akan menyiprat ke atas dan kena orang yang kencing sendiri. Dan oleh (karena) tidak perhatian dengan najis, dia akan kencing-kencing saja. Ada tempat kayak begitu, nanti akan kemana-mana itu air kencingnya. Sekarang orang yang membersihkan, bagaimana caranya? Kata الحنفية, kalau air kencing itu mengenai tanah model seperti itu, maka harus dicangkul, harus di apa, digemburkan dulu tanahnya, baru disiram pakai air biar betul-betul bisa meresap dan membersihkan air kencing. Perhatikan, ما شاء الله (Masya Allah), para العلماء memperhatikan seperti ini.
Kemudian di sini ada perintah secara umum untuk menjaga kebersihan masjid. Dan itu menurut kesepakatan kaum المسلمين, menjaga kebersihan masjid menjadi tanggung jawab kaum المسلمين. Dan kita bayangkan, di zaman الصحابة masih terbuka apa adanya, dia tidak ada pintunya yang rapat, tidak ada marbot yang nutup pintunya. Jadi dia terbuka terus 24 jam. Sehingga yang dibahas oleh para العلماء ketika ada anjing-anjing masuk. Ada anjing-anjing masuk, kemudian mereka bisa jadi buang air di dalam masjid itu. Para العلماء mengatakan mereka tidak memeriksa per tanah, “Jangan-jangan tadi malam dimasukin oleh anjing, ayo diperiksa.” Tidak ada seperti itu. Maka hukum asalnya seorang menghukumi secara ظاهر (zhahir – yang tampak), masjid ini tempatnya suci, tidak perlu dianggap najis kecuali kalau memang ada yang menunjukkan ini tempatnya (najis).
Hikmah dan Pelajaran dari Hadis
Kemudian di antara pelajaran penting dari الحديث ini juga adalah النبي صلى الله عليه وسلم apabila mendapatkan orang yang tidak tahu, maka memberitahunya pun dengan cara yang berbeda. Ada orang yang tidak tahu, dia melakukan kesalahan yang fatal, dan dia merasa, dia menyadari, “Kesalahan anak ini fatal sekali. Kalau orang tahu, orang bakal marah.” Ini contohnya. Bayangkan kalau ada mahasiswa sudah tidak datang, محروم (mahrum – terhalang), jadi غائب (ghaib – absen)-nya lebih banyak dari hadirnya. Itu pun sudah dihapus oleh (dosen). Jadi (misalnya dari) 14 minggu, (hanya) datang (sebentar). (Lalu) ngomong, “Ustaz, ana jauh-jauh dari rumah ana, balik ujian.” Tidak, kalau kena Ustaz yang galak, yang bilang, “Antum ngapain capek-capek ke sini? Antum itu sudah dicoret.” Itu ada orang yang memang tidak tahu diri. Tapi ada orang yang dia salah, dia tahu salahnya. Dia datang, dia sudah dalam kondisi ketakutan, “Anak ini pengen توبة (taubat) dan ana tahu salah, sekarang dia pengen mendapatkan solusi.” Kalau orang seperti ini tambah dimarahi, maka bisa jadi توبة-nya tidak jadi. Maka beberapa kejadian, النبي صلى الله عليه وسلم tidak memarahi orang yang memiliki kesalahan yang fatal karena orang ini tidak mengerti. Contoh yang lain ketika kita bahas الحديث yang berkaitan dengan pembatal puasa رمضان (Ramadhan) ya, membatalkan puasa رمضان dengan berhubungan badan dengan istri siang hari. Ada sahabat sudah mengerti ini jangan-jangan adalah kesalahan besar, “يا رسول الله, هلكت” (Ya Rasulullah, aku sudah binasa). Kata para العلماء, kalau seandainya orang itu (dikatakan), “Saya sudah binasa,” (lalu dijawab) “Ya sudah, tak siapkan kuburan,” kayak begini tidak jadi توبة. Ini disebutkan para العلماء. Jadi mereka memperhatikan kondisi orang yang pengen bertobat, maka perlu diperlakukan dengan berbeda. Kecuali orang ngeyel. Para الصحابة ketika melihat ada orang ngeyel, mereka tegaskan benar. Seorang sahabat النبي صلى الله عليه وسلم kemudian menghadapi orang ngeyel. Ini pernah, kalau tidak salah حذيفة بن اليمان (Hudzaifah bin al-Yaman رضي الله عنه), beliau dikasih suguhan atau hidangan pakai piring dari emas, dilempar. Orang zaman sekarang coba, hidangan tempat terbuka, Antum dihormati. Kemudian beliau ditanya, “Pak, Antum perlakukan seperti ini?” Beliau katakan, “Aku sudah tegur dia berkali-kali, tidak boleh menggunakan bejana pakai yang kayak gini modelnya.” Dia ngeyel. Jadi penghormatan dia dengan memberikan suguhan makanan tidak menghalangi untuk diceples (ditegur keras) kenakalannya. Memang ada orang yang berbeda-beda.
Kemudian di sini disebutkan juga oleh ابن القيم رحمه الله (Imam Ibnul Qayyim) bahwa seseorang dibolehkan untuk melakukan tindakan (yang) dibenarkan secara umum sekalipun ternyata ada hukum khusus. Contohnya bagaimana? Dalam kondisi seperti ini, para الصحابة النبي صلى الله عليه وسلم mengerti najis itu harus dibersihkan. Dan ini menunjukkan bahwa sesuatu yang sudah mendarah daging di kalangan para الصحابة, najis itu harus dibersihkan, kemudian masjid harus dimuliakan. Ketika mereka melihat ada orang seperti itu, mereka langsung menghukumi seperti apa adanya, langsung mereka menghardik, melarang, marahi, dan sebagainya. Akan tetapi ternyata jawaban النبي صلى الله عليه وسلم dalam riwayat disebutkan, “لَا تُزْرِمُوهُ” (Jangan kalian ganggu dia, jangan kalian tahan dari aktivitas kencingnya). Berarti ini ada perlakuan khusus. Tapi hukum asalnya, seseorang tidak disalahkan ketika dia mengambil sikap umum, karena hukum asalnya orang mau menajisi (tempat suci) harus dihalangi ya kan. Kemudian ada orang mau tidak menghormati masjid juga harus ditegur. Ternyata ada perlakuan khusus, maka ini dilakukan yang lebih baik seperti itu.
Sedikit ada tambahan dari فائدة (faedah) yang disebutkan, setelah itu kita selesai إن شاء الله. Kalau ada yang mau disampaikan pertanyaan, silakan. Di antaranya seperti kita sebutkan bahwa النبي صلى الله عليه وسلم secara umum beliau menjadi orang yang lembut sekali, dan beliau memperlakukan orang yang memang ingin bertanya, orang tidak tahu, dengan perlakuan yang berbeda. Tapi tidak seterusnya. Kita sudah sebutkan bahwa النبي صلى الله عليه وسلم pun demikian, kalau sudah marah, marah besar. Nyesal-nyesal itu yang dimarahi oleh النبي صلى الله عليه وسلم. Di antaranya adalah أسامة (Usamah bin Zaid رضي الله عنهما). Ketika beliau menjadi orang paling dicintai النبي صلى الله عليه وسلم, tapi ketika ada orang كافر di pertempuran lagi menyerang, أسامة berhasil mengalahkan dia, hampir ditusuk, dia mengatakan (لا إله إلا الله), tetap ditusuk oleh أسامة. Rasulullah صلى الله عليه وسلم marah besar sampai أسامة mengatakan, “Ya Allah, seandainya (aku) belum masuk الإسلام waktu itu,” karena betul-betul marah luar biasa.
Contoh yang kedua adalah ketika إمام (imam) kelamaan (shalatnya). Sampai ada orang mengatakan, “يا رسول الله, إني لأتأخر عن صلاة الصبح من أجل فلان مما يطيل بنا” (Ya Rasulullah, aku tidak mau shalat (bersama dia) shalat Subuh karena dia selalu kepanjangan). Ini dalam صلاة الفجر (shalat Fajar) memang disebutkan di situ صلاة الفجر, tapi dalam riwayat yang lain adalah صلاة العشاء (shalat Isya), karena معاذ بن جبل (Mu’adz bin Jabal رضي الله عنه) shalat dulu bersama النبي صلى الله عليه وسلم, padahal beliau إمام kampungnya. Setelah pulang ke kampungnya, صلاة العشاء panjang lagi. Kemudian ada orang yang punya kebutuhan, dia pengen keluar, memisahkan diri, kemudian keluar. (Dimarahi) sama معاذ, dikatakan منافق (munafik) karena memisahkan diri dari جماعة (jamaah). Tidak marah gimana? Marah dia. Saking marahnya, sebelum didahului, dia lapor dulu (kepada Nabi ﷺ). (Nabi ﷺ) marah luar biasa (kepada Mu’adz), “أَفَتَّانٌ أَنْتَ يَا مُعَاذُ؟” (Apakah engkau pembuat fitnah wahai Mu’adz?). Kata أبو مسعود (Abu Mas’ud رضي الله عنه), “ما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم غضب في موعظة أشد مما غضب يومئذ” (Aku tidak pernah melihat Rasulullah ﷺ marah dalam nasehat lebih parah daripada saat beliau marah saat itu), gara-gara kepanjangan mengimami صلاة. Kita bayangkan kalau seandainya ada orang yang sok tahu, ditanya orang, ngasih jawaban yang berat sekali, sampai orang kapok-kapok mau mengaji. “Tidak mengaji, dosa. Ternyata susah mau هجرة (hijrah),” kata mereka, gara-gara jawabannya ngawur. Dan ini harus diperbaiki karena biasanya ada beberapa tindakan yang kurang bijak muncul dari orang-orang yang baru mengaji. Setelah ngaji, semangat praktiknya kayak gini, akhirnya membuat orang إلفيل (ilfeel – hilang perasaan suka) itu kan karena tidak mengerti artinya itu. Jadi mereka menyangkanya kalau ngaji nanti anak jadi kayak begitu. Penilaian orang عوام sampai sekarang seperti itu. Ana pernah naik kereta, ditanya, “Antum tinggal di mana?” Ana bilang di sanalah, sebutkan tempatnya. “Oh, itu (yang orangnya kaku ya)?” Ini bukan ana, bilang, “Bukan, bukan.” “Iya, memang di sana itu ada tempat, orangnya itu begitu, tidak mengerti dah, pokoknya beda sama orang kampung gitu.” Akhirnya sudah, mereka merasa itu trauma sekali mungkin melihat penampilan ana agak sama begitu ya.
Seperti ini إخواني sekalian. Jadi دعوة kepada السنة (sunnah) itu berat sekali, jangan diperberat dengan kejelekan أخلاق (akhlak) kita. Jadi kita ingin menerapkan حديث النبي صلى الله عليه وسلم, bukan berarti kita apa namanya, meremehkan. Kita ingin memberikan keringanan tapi sesuai dengan الشريعة. Akan tetapi jangan membuat orang justru trauma dengan ajakan السنة seperti itu. Maka النبي صلى الله عليه وسلم memerankan itu. Beliau ingin memberikan sebuah keteladanan. Saking lemah lembutnya, dasar orang Arab (Badui) dia sampai mengatakan ketika berdoa, “اللهم ارحمني ومحمدا ولا ترحم معنا أحدا” (Ya Allah, kasihi aku dan Muhammad, dan jangan Engkau kasihi seorang pun selain kami berdua). Sampai kata النبي صلى الله عليه وسلم, “لقد حجرت واسعا” (Sungguh engkau telah mempersempit sesuatu yang luas). Tempat luas begitu kamu booking sendiri begitu. Tempat masih banyak, رحمت الله (rahmat Allah) luas, tidak usah sendiri. Artinya النبي صلى الله عليه وسلم seperti itu, sampai orang bisa menerima. Antum bayangkan Antum diutus KKN (Kuliah Kerja Nyata) di tempat yang orangnya kayak monster semua, tapi ketika Antum lolos KKN, mereka nangis Antum tinggalkan. ما شاء الله, luar biasa. Memang kenapa Antum? Ngapain saja di sana? Kalau Antum benar mendakwahi mereka dengan lemah lembut sampai akhirnya mereka صلاة semua, sampai mereka bisa mengaji القرآن semuanya, luar biasa. Antum kalau apa, mendengar cerita orang-orang yang sampai begitu, سبحان الله, luar biasa. Kadang ada santri di pesantren dia tidak menjadi orang yang terkenal prestasinya, صلاة-nya tidak duluan, bahkan dia suka melanggar giliran. Dia dikirim ke beberapa tempat, سبحان الله, kata dia, “Terpaksa ana مراجعة (muraja’ah – mengulang hafalan) lagi karena orang-orang kampung semangat sekali. Sampai jam 10 mereka minta kajian, orang-orang muda itu, anak-anak muda.” Beritahu teman Antum kayak begitu. Dia sampai di satu tempat di pedalaman, di kampung begitu, dia katakan tengah malam ana diajak untuk mengisi pengajian karena orang-orang kampungnya yang minta. Tengah malam itu kok mereka minta malam-malam? Karena mereka siangnya masih kerja, kemudian masih ronda apa segala macam, terus mereka mau belajarnya malam-malam. Ngaji dari awal. Antum bayangkan, tidak terharu gimana? Terus semangat Antum, sebenarnya sudah capek tapi melihat orang semangat begitu, semangat lagi dia begitu. Dan ada orang mengaji dari awal, إقراء (Iqra’) itu sampai bisa mengaji betul-betul, pahala besar sekali, pahala besar sekali. Dan banyak orang-orang seperti itu. Artinya النبي صلى الله عليه وسلم mengutus para الصحابة itu berhasil semua. Di antaranya مصعب بن عمير (Mush’ab bin Umair رضي الله عنه) datang ke المدينة, sempat mau dibunuh dia, sempat mau ditolak, diusir, tapi akhirnya lulus semua orang-orang أنصار (Anshar). Tapi bukan berarti beliau, “يا أنصار, antum biasa apa di Madinah? Aku tak ikutan.” Tidak kayak begitu. Beliau tetap sampaikan رسالة النبي صلى الله عليه وسلم (risalah Nabi ﷺ) tapi dengan cara yang lemah lembut. Tapi bukan berarti dia membaur sampai kayak mereka, tidak seperti itu. معاذ بن جبل dikirim ke اليمن (Yaman), menghadapi orang أهل الكتاب (Ahlul Kitab), sukses juga. Para الصحابة banyak yang sukses seperti itu. Dan دعوة mereka juga توحيد (tauhid). دعوة mereka توحيد. Bukan berarti, “Biar aku diterima oleh masyarakat, aku akan bicara tentang أخلاق dulu, أخلاق-أخلاق yang katanya diunggul-unggulkan itu.” Betul, ini jangan lupa, أخلاق orang kepada الله itu paling penting. Orang senyum-senyum begitu tapi ternyata dia melakukan شرك (syirik), sama sekali (tidak baik). Tapi maksud ana, maksud ana, orang yang hanya mengedepankan أخلاق saja tapi dia lupakan masalah توحيد, nanti begitu kena sentil saja, marah dia, kelihatan aslinya. Maka orang ingin belajar harus dari dasarnya, dari pondasinya.
طيب, ini pelajaran yang disebutkan adalah ketika sebuah sebab yang melarang agar kemungkaran itu tidak segera ditegur, begitu sebab itu sudah tidak ada, maka segera ditegur. Contoh yang ada dalam kasus ini, النبي صلى الله عليه وسلم ketika orang tadi kencing, para الصحابة akan marah, “Eh jangan, jangan, jangan!” Begitu kencingnya berhenti, selesai, langsung habis (itu Nabi ﷺ) perintahkan, “Ayo ambil cepat air!” Kata الحافظ ابن حجر, ini menunjukkan bahwa sebuah kerusakan ketika akan dihalau kok bisa ada mudharat lebih besar, nah kita tunda. Begitu penyebabnya hilang, segera diselesaikan.
Kemudian yang berikutnya, terakhir adalah beliau menyebutkan bahwa alat untuk atau sarana untuk bersuci itu banyak. Akan tetapi di sini النبي صلى الله عليه وسلم perintahkan dengan sarana yang paling kuat, yaitu air. Padahal sebuah tempat, apalagi di tanah, dia disebutkan oleh para فقهاء (fuqaha – ahli fikih) bisa suci dengan sendirinya. Yang dikatakan استطابة (istithabah) atau طهارة بالاستحالة (thaharah bil istihalah – suci karena berubah wujud). Itu bukan berarti imposible atau artinya tidak mungkin, bukan. استحالة artinya berubah menjadi suci sendiri karena tempatnya kering, terkena matahari, menguap, kemudian dia kena angin sampai betul-betul نجاسة bentuknya itu hilang, tidak baunya, warnanya, dan juga rasanya. Akan tetapi itu sudah disebut dengan para العلماء, dia bisa hilang dengan sendirinya dengan cuaca, hawa, cahaya, angin, dan sebagainya. Terutama di المسجد النبوي kan terbuka, kemudian panas luar biasa, tidak ada AC, tidak ada kipas angin, tidak ada apa. Kemudian ketika kena panas, dia bisa menguap, kemudian betul-betul kering. Keringnya sudah ya itu, tidak ada istilah kerupuk melempem itu tidak ada karena memang di sana tingkat kelembabannya rendah. Jadi kita bertahun-tahun di sana kalau punya kerupuk itu ما شاء الله, tidak usah ditutup, tidak jadi (melempem). Tutup, lupa. Sampai Indonesia punya kerupuk banyak, sampai melempem semuanya. Maksudnya saking panasnya sampai seperti itu. Orang kelupaan telurnya ditinggal di bagasi mobil, “Oh iya, ana barusan beli telur.” Sampai ke sana sudah setengah matang. Ya diambil itu, satu (tray) gratis setengah matang semua. Nah, itu kejadian teman saya seperti itu. Maksud ana, kalau kondisinya seperti ini, نجاسة yang tadi di tanah kena angin, kena matahari, kena apa, itu bisa suci sendiri. Tapi النبي صلى الله عليه وسلم tidak mau spekulasi, mengatakan, “Ambil air, bersihkan.” Dan itu lebih membersihkan. Kalau ada air, maka tidak dicari yang lain.
Tanya Jawab
- Pertanyaan: Apakah air kencing anak laki-laki itu cukup dipercik atau diperciki dan juga disiram?
- Jawaban: Pembahasannya kemarin ya. Jadi air kencing anak kecil laki-laki yang belum makan (makanan pokok) sebagai gizi, maka dia (cukup) di-نضح (diperciki) kemudian disiram. Kalau disiram saja sudah cukup karena memang riwayat-riwayat ada yang mengatakan “فَرَشَّهُ” (maka beliau memercikinya), kemudian ada riwayat lain mengatakan “فَصَبَّ عَلَيْهِ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ” (maka beliau menyiramkan padanya seember air). Kemarin kita bahas, artinya disiram, tapi tidak harus dicuci, tapi disiram sudah cukup.
- Pertanyaan: Terkait tema pekan lalu, tersimpan masih… Oh, sudah lalu sekali itu. Apabila kita keluar air madzi, kemudian kita berwudhu dan membersihkannya, namun air madzinya nempel di pakaian kita, bolehkah bagian tersebut kita gunakan untuk shalat atau harus diganti?
- Jawaban: Harus diganti (atau dibersihkan bagian yang terkena madzi). Karena kita katakan kemarin bahwa air المذي (madzi) itu نجاسة. Kalau المني (mani), kalau air mani suci. Air mani suci, dan النبي صلى الله عليه وسلم pernah shalat di sarungnya ada bekas (mani kering yang dikerik) itu, maka tidak mengapa kalau air mani. Tapi kalau المذي harus dibersihkan. Kalau dia tidak tahu, dia shalat, kemudian setelah selesai shalat (baru sadar), “Ini kan bekasnya tadi belum selesai pencuciannya,” maka shalatnya إن شاء الله (sah) karena dia tidak sengaja. Tapi kalau dia tahu ini masih ada bekas المذي yang belum suci dan dia tetap paksakan shalat di situ, maka shalatnya tidak sah karena dia tidak menggunakan (pakaian) bagian (yang) suci.
- Pertanyaan: Pakaian yang terkenal najis sudah dibersihkan tapi ada warna yang tidak hilang, bagaimana?
- Jawaban: Dihilangkan, diusahakan dihilangkan biar lebih selamat ya, dihilangkan ya. Karpetnya dicuci karpetnya. Kalau memang tidak bisa di apa, tidak bisa digosok-gosok pakai apa begitu ya, sudah dicuci.
- Pertanyaan: Apakah benar ada sahabat yang bernama نعيمان (Nu’aiman)? Tersebar di masyarakat adalah sahabat yang jenaka namun tidak beradab kepada Rasulullah.
- Jawaban: نعيمان بن عمرو الأنصاري (Nu’aiman bin Amr al-Anshari رضي الله عنه) memang ada, dan beliau terkenal dengan kejenakaannya. Namun, riwayat-riwayat tentang beliau perlu diteliti keshahihannya, terutama yang menggambarkan seolah-olah beliau tidak beradab kepada Rasulullah ﷺ. Kejenakaan sahabat tidak berarti melampaui batas adab kepada Nabi ﷺ.
- Pertanyaan: Tidak bisa dipungkiri orang-orang zaman sekarang senang dengan orasi dan cara penyampaian yang baik. Maka apakah dari sunnah kami yang menjadi da’i atau akan menjadi da’i harus belajar orasi dan diksi yang baik?
- Jawaban: Ana katakan yang paling penting adalah ilmu yang Antum sampaikan. Kadang orang mengatakan, “Ana tidak pede.” Kerugian orang sampai belajar gimana apa istilahnya itu, public speaking. Antum kira orang-orang yang sukses itu pada mempelajari itu? Mereka yang akhirnya mempelajari atau mengajarkan itu, ternyata mereka (sendiri kadang) tidak bisa sendiri. Artinya, kalau Antum mau belajar dan ada waktu untuk itu, silakan, itu tidak apa-apa. Artinya Antum bagaimana membawa audien biar bisa lebih menerima ilmu yang akan Antum sampaikan. Tapi sangat salah besar ketika justru perhatian utama pada pembahasan itu. Dan ini yang sering salah kaprah dipahami oleh orang. Karena lebih belajar itu, دورة (daurah – pelatihan) ikhlas, ikut latihan apa segala macam diikutin terus agar bisa menyampaikan. Begitu sukses, lupa dia belajar (ilmu agamanya). Akhirnya dia senang, “Wah ini lagi viral,” atau kalau istilah orang kampung namanya “da’i lagi laris.” Nanti kalau tidak laris namanya “da’i sepi,” katanya begitu. Nah, kayak begini bahaya sekali. Yang penting Antum siapkan ilmu Antum, yang Antum sampaikan benar, ada dalilnya. Orang mau ngantuk, tidak apa-apa, kan sudah sampaikan. Mahasiswa ngantuk, ana biasa ya kan. Tapi kalau makan atau ngobrol, ana tidak bisa kayak gitu. Tapi kalau ngantuk itu sudah biasa, إن شاء الله dapat pahala semua, yang ngomong sama yang ngantuk-ngantuk إن شاء الله dapat pahala. Artinya, terkadang ada seorang عالم yang tidak pandai menyampaikan. Dan ini disebutkan oleh para مشايخ kita seperti (dalam bentuk) أسئلة وأجوبة (pertanyaan dan jawaban). Jadi buku-buku itu ternyata ditulis karena mereka bertanya kepada gurunya. Terkadang seorang guru tidak bisa menyampaikan, tetapi ketika ditanya, jawabannya bisa berbobot sekali. Nah, jawaban beberapa itu disusun, dibukukan, manfaatnya besar sekali. Dan para العلماء, mereka jarang sekali berbicara kalau tidak ditanya. Mereka tidak berbicara. Kalau berbicara, sedikit sekali. Maka ketika ditanya, pertanyaan-pertanyaan itu dijadikan landasan untuk ilmu. Seperti banyak sekali Antum kalau perhatikan buku-buku yang disusun dengan gaya soal-jawab, pertanyaan-pertanyaan مسائل أبي داود عن الإمام أحمد (Masail Abi Dawud ‘an Al-Imam Ahmad), kemudian pertanyaannya (Abdullah bin Ahmad) kepada (ayahnya, Imam Ahmad), kemudian pertanyaan yang disampaikan kepada يحيى بن معين (Yahya bin Ma’in) oleh murid-muridnya, pertanyaan kepada الإمام مالك. Bahkan ada buku kumpulan pertanyaan yang disampaikan oleh murid الإمام مالك (kepada gurunya). Jadi, murid-murid ditanya (oleh generasi setelahnya), “Ibnu Qasim, ini antum pernah dengar tidak الإمام مالك ngomong apa dengan masalah ini?” “Oh, beliau ngomong seperti ini.” Karena jarang, kadang-kadang tidak ngomong sama sekali, disimpulkan sendiri sama beliau begitu. Artinya, tidak apa-apa ada orang pengen menyampaikan ilmu tapi caranya memang membosankan, yaitu perlu diperbaiki, mengerti ya. Kalau yang itu ngisi, sepertinya yang semangat juga ngantuk begitu. Kalau mau diperbaiki, tidak ada masalah, tidak ada masalah. Tapi jangan kembali jadi perhatiannya lebih banyak kepada retorika. Akhirnya ketika berhasil, dia pengen tampil. Kan ada orang pengen tampil, “Pokoknya ana pengen ngomong, ada event apapun ana harus tampil.” Ada orang kayak gitu. Kalau tidak tampil, kan minimal sambutan. Ada orang (lebih suka) di balik layar.
- Pertanyaan: Apakah shalat witir harus diakhiri dengan rakaat ganjil? Apakah boleh shalat witir satu atau tiga rakaat kemudian diakhirkan dengan dua (rakaat shalat sunnah lain)?
- Jawaban: Boleh (shalat sunnah setelah witir), boleh. Tapi yang bagus kalau Antum mau jadikan witir itu (penutup), bagus. Karena النبي صلى الله عليه وسلم mengatakan, “اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا” (Jadikanlah akhir shalat kalian di malam hari itu witir). Kemudian رسول الله صلى الله عليه وسلم menyatakan, “صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى، فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى” (Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat.1 Apabila kalian takut (masuk waktu) Subuh, maka shalatlah satu rakaat untuk mengganjilkan semua bilangan shalat malamnya). Tapi bukan berarti kalau ada orang pengen nambah lagi dua rakaat tidak boleh, boleh saja. Contoh, ada orang witir habis صلاة عشاء begini, kemudian mau nambah 2 rakaat nanti malam, boleh, tidak ada masalah. Atau sudah shalat malam ini, kayaknya sudah mau (Subuh), “الصلاة والسلام عليك…” biasanya begitu kan (tanda akan iqamah Subuh). Segera dia shalat satu rakaat (witir). Ternyata takmir masjidnya salah setel (alarm), ternyata dilihat masih satu jam (sebelum Subuh). (Mau shalat lagi) boleh.